Ayu terkesiap saat ada mobil berhenti di depan rumah, ia mengamati mobil itu, bukan milik Pak Bima. Matanya memicing saat melihat sosok yang turun adalah seorang pria berbadan besar dan bertattoo. Orang itu, seperti yang mengantarkan Nyonya semalam? Ia bertanya dalam hati.
"Sasa ada?" Suaranya membuyarkan Ayu dari lamunan.
"Oh, Nyonya Sasa?" Gumamnya teringat akan ucapan Sasa tadi, katanya jika ada yang datang tuan rumah ada di kamarnya. Seketika Ayu membelalak mengingat pesan itu, akankah itu artinya tamu ini akan langsung mencari sasa di kamarnya?
"Iya, Sasa. Majikan kamu, dia ada, kan? Ditanya kok malah bengong?" Pria itu bertanya heran, tetapi dengan tatapan menjarah di hadapan Ayu yang membuatnya gusar dan tak nyaman.
Maka, daripada mendapatkan tatapan jahat itu terlalu lama, lebih baik ia segera menjawab. "Iya, Nyonya ada."
"Sekarang di mana?"
"Di kamarnya."
"Oh, makasih, ya." Pria itu tersenyum lebar, tangannya terangkat hampir menyentuh pipi Ayu jika ia tak segera menghindari. Entah sengaja atau tidak, tetapi pria itu kembali tersenyum nakal dan berlalu dari sana.
Ayu minggir dari pintu, setelah memastikan pria itu benar-benar mengetuk pintu kamar Sasa, ia pergi ke dapur. Mengambil uang yang tadi diberikan oleh sasa. Daripada sibuk memikirkan apa yang akan dilakukan dua orang tadi, lebih baik segera pergi saja.
Ia tak mau jadi saksi atas kejadian itu, jika sewaktu-waktu majikannya kembali bertengkar. Ayu pergi ke pasar desa yang terletak tak jauh dari puskesmas tempat Bima bekerja. Di tempat ramai itu, ia sengaja berlama-lama, agar saat tiba di rumah, dua orang tak tadi telah tak ada di sana.
Bahkan hingga siang ia baru selesai dari berbelanja. Bahkan juga, ia sampai melihat Bima yang berada di sekitar pasar. "Kamu ngapain di sini?" Tanya pria itu melepas kaca matanya, yang membuat Bima terlihat lebih keren dari biasanya.
"Belanja, Pak. Disuruh nyonya tadi," Jawab Ayu apa adanya.
"Sekarang, belanjanya sudah apa belum?"
"Sudah, pak." Ayu menunjuk tas kain cukup besar yang ia letakkan di teras toko.
"Sebanyak itu, kamu tadi jalan kaki?"
"Iya, Pak. Memang apa lagi?"
"Kalau gitu, ayo saya antar kamu pulang. Sekalian saya mau makan, daripada tiap hari beli."
"Eh, nggak usah, Pak." Ayu menolak cepat, sesungguhnya ia tak ingin pria itu mengetahui kelakuan tak baik sang istri di rumah sana. Jika Bima sampai tau, dan Ayu diam saja malah pergi ke pasar, bisa-bisa ia dituduh sengaja menyembunyikan kebejatan sasa.
Ah, rumit sekali menjadi pembantu dua orang ini!
"Loh, kenapa? Daripada kamu jalan kaki bawa barang sebanyak itu. Saya juga mau makan siang di rumah."
"Em, tapi, Pak .... "
"Kenapa, sih? Kamu kok panik begini? Apa masih dimarahin sama istri saya gara-gara tadi pagi?"
"Bu, bukan itu, Pak. Eh, iya deh."
"Kamu ini. Tunggu di sini bentar, saya ambil mobil dulu." Bima pergi meninggalkan ayu yang masih bingung sendiri. Bingung jika sasa tadi masih bersama temannya di kamar, apa yang harus ia katakan jika Bima sampai tau?
Di tempat ini, ia bingung antara mau memberitahu Sasa bahwa suaminya akan pulang, atau diam saja agar pria itu tau kelakuan istrinya. Gawai dalam saku baju telah ia genggam, dengan langkah mondar-mandir tak menentu.
Bahkan saat ini nomor Sasa telah ia siapkan, tetapi hatinya masih ragu untuk menyentuh tanda panggilan.
"Ayu, ayo naik." Kemudian suara sang majikan itulah yang membuatnya terperangah seperti melihat makhluk astral.
"Ayo naik, kenapa malah bingung begitu. Lihat, belanjaanmu sudah saya naikkan, kamu nggak tau, kan?" Benar, ia baru menyadari tas kain besar telah tak ada di tempatnya.
"Iya, Pak." Menepis rasa ragu, ayu kemudian masuk mobil di pintu belakang, mengabaikan pintu depan yang telah Bima siapkan untuknya. Melihat Ayu duduk di jok belakang, Bima memandang heran. "Kok di sana?"
Pertanyaan tadi juga membuat ayu memicing heran, "memang saya harus di mana, Pak?" Tak menjawab, ia justru ikut bertanya tak habis pikir.
"Kan pintunya sudah saya bukankan di sini, kamu duduk di sini aja daripada kosong."
"Eh, enggak usah, Pak." Ayu menggeleng cepat. Tiap kali majikan itu berbaik hati padanya, hati itu mendadak merasa tak baik-baik saja.
Seperti menangkap maksud di balik kepanikan Ayu, Bima menatap dengan senyuman geli. "Nggak usah khawatir," Ucapnya membuat ayu mendongak kaget. Saat bertemu pandang, pria di depan kembali tersenyum.
"Meskipun istri saya seperti itu, tapi saya nggak akan berbuat jahat pada perempuan lain di dekat saya. Itu kan yang bikin kamu takut?" Ayu tak menjawab, ia hanya membenarkan dalam hati.
"Jadi, kamu nggak perlu khawatir. Kemarilah, temani saya di sini." Ayu mengangguk kalah, ia menurut apa kata Bima. Duduk di jok depan, di sebelah pria itu. Dalam hatinya masih heran, mendapatkan suami seromantis itu, kenapa sasa masih mencari pria lain di luar? Benar-benar wanita yang aneh, sebenarnya apa yang dicari sasa dari pria bertato itu.
Secara garis wajah, masih kalah jauh dari Bima. Kendaraannya? Masih tak lebih baik dari Bima, hanya satu yang menonjol dari pria bertato itu. Tatapan nakalnya. Lalu mana mungkin itu yang membuat Sasa selalu hanyut?
"Apa Nyonyamu tadi pergi lagi?" Suara Bima kembali menyadarkan Ayu dari perjalanan pikirannya tentang kehidupan pria itu.
"Nyonya?"
"Iya. Dia di rumah atau keluar lagi?" Ayu kembali bingung, bagaimana bisa pria itu tak mengerti apa yang dilakukan istrinya.
"Kenapa tanya saya, Pak? Bapak kan istrinya," Jawab Ayu, dengan berharap mendapatkan Jawaban dari apa yang ada di hatinya.
"Yah, kamu pasti tau sendiri. Sejak dulu, kami memang jarang berkomunikasi saat sedang tak bersama-sama. Bahkan nggak pernah sama sekali. Itulah kenapa saya tanya sama kamu."
"Em, Nyonya, dia, tadi di rumah, Pak." Dengan suara bergetar saat Ayu memberikan jawaban, sementara ia tau betul, sang Nyonya sedang berada di rumah bersama pria asing.
Semakin dekat dengan rumah, semakin riuh benak Ayu. Bahkan saat pekarangan rumah mulai nampak, ia menajamkan penglihatan. Memastikan mobil pria tadi sudah tak lagi ada di sana.
Namun perkiraannya salah, mobil tadi masih terparkir Indah di sana. Membuat mobil yang Ayu tumpangi berhenti mendadak, hingga keningnya menabrak dashboard mobil.
"Aduh!"
"Oh, ayu? Maaf, maaf. Kamu nggak apa-apa, kan?" Bukannya segera turun dan memastikan siapa yang ada di rumah, Bima malah membantu Ayu menegakkan badannya.
"Sakit, ya?" Tanya pria itu menampilkan wajah paniknya.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya nggak apa-apa." Ia memilih turun lebih dulu, disusul Bima kemudian yang langsung memasang wajah kaget.
"Ayu?"
"Iya, Pak."
"Kamu tau siapa tamu istri saya?" Tanya Bima, pria itu mengeraskan rahangnya, pertanda sedang menahan amarah.
"Saya nggak tau, Pak. Tadi nyonya sendirian saat saya berangkat ke pasar tadi."
"Yang benar?"
"Hah?" Ayu menyusul Bima yang berjalan cepat menuju pintu rumah, tiba di depan pintu pria itu berpapasan dengan pria lain yang akan keluar dari pintu.
Ayu terperangah, menyiapkan mental untuk menyaksikan drama yang akan dimulai sesaat lagi. Dua pria di depan pintu itu saling menatap ganas, Bima yang mengamati penampilan pria di depannya dari ujung atas ke bawah, dan sosok bertato dengan santainya bersedekap tangan. Matanya pun tak menatap lawan bicara, seperti sedang sangat merendahkan.
"Anda siapa? Kenapa ada di rumah saya?" Tanya Bima dengan suaranya yang tegas. Bahkan Ayu yang ada di belakang pun ikut tegang dibuatnya.
"Saya teman Sasa, memang kenapa? Apa anda berhak melarang kami berteman?" Sosok itu malah bertanya menantang.
"Tentu saja, karena saya suaminya."
"Oh, iya? Suami yang nggak pernah bisa memberikan kepuasan batin pada istri anda? Suami macam apa itu?" Pertanyaan pria itu disuarakan dengan berbisik di dekat telinga Bima. Membuatnya makin mengeratkan kepalan tangannya.
Bima diam membisu, saat pria tadi tersenyum miring, menepuk pundaknya kemudian berlalu dari sana.
***