"Jam berapa sekarang?" Tanya Bima lagi, pria itu bukannya segera keluar, malah sibuk bertanya ini dan itu, membuat Ayu makin salah tingkah.
"Sudah hampir jam enam, Pak. Makanan juga sudah siap di meja makan."
"Hey! Ngapain pada di sini?" Sebuah suara lantang membuat keduanya menoleh serentak. Melihat terperangah sosok wanita yang tiba-tiba telah berada di ambang pintu kamar Ayu.
"Nyonya?" Gumam Ayu spontan langsung berdiri, menatap khawatir wanita yang kini mengamatinya dan Bima secara bergantian. Seperti sedang menyimpulkan bahwa mereka sedang melakukan hal buruk di kamar ini.
Sementara Bima masih tak menanggapi, hanya menatap santai dua perempuan di depan pintu.
"Pembantu nggak tau diri kamu, ya? Kamu mau menggoda suamiku, ngapain juga dia ada disini?" Suara Sasa dengan nada menuntut.
"Ah, Nyonya, bukan begitu. Saya bisa jelaskan, ini bukan seperti yang Nyonya lihat, ini .... "
"Halah, nggak usah banyak alasan! Buktinya suamiku ada di sini, di kamar kamu. Kalian lagi berdua-duaan di sini. Mau jelaskan apalagi kamu, hah?" Sasa menggertak, mengabaikan suaminya yang bergerak mendekat.
Saking geramnya dengan pembantu itu, Sasa mengangkat tangan tinggi, bersiap untuk melayangkan tamparan pada wajah Ayu. Tamparan pasti terjadi, jika Bima tak segera menangkap tangan sang istri.
Menghentikan aksi wanita itu dengan menatap datar matanya. "Apa-apaan kamu?" Teriak Sasa pada sang suami.
"Kamu yang apa-apaan!" Bima membalas tak mau kalah. "Sasa, kalau kami emang berduaan di sini kenapa, apa kamu cemburu, hm?" Tanyanya lagi.
Tak segera menjawab, sasa malah melebarkan mata. Menatap tak percaya suaminya sendiri akan bersikap demikian, padahal sebelumnya pria itu selalu menurut apa katanya. "Kamu .... "
"Kenapa? Kamu mau bilang aku atau Ayu yang salah? Sementara kamu biarkan aku tidur di luar semalaman tanpa alas apapun. Di mana lagi aku bisa numpang tidur kalau bukan di kamar Ayu?"
"Apa?" Sasa makin geram, tak menyadari bahwa Bima memang sedang memancingnya untuk marah. Seperti marah dirinya selama ini saat menghadapi tingkah sang istri. Istri yang tak pernah menghargai dirinya sebagai seorang suami.
"Ngaco kamu, Mas!" Desis sasa kehabisan kata untuk mengumpat pada suaminya.
"Kamu itu yang ngaco, punya suami tapi masih sering keluyuran sampai lupa waktu!"
"Terserah! Capek ngomong sama lelaki nggak peka kayak kamu!" Sasa kalah, perempuan itu menghentakkan kakinya dan kembali ke kamar.
Sepeninggal istrinya itu, Bima bukannya segera menyusul, malah kembali mendekati ayu yang mundur panik. "Pak, itu, Nyonya marah. Lebih baik bapak kejar saja sana."
"Hm, iya. Saya cuma mau bilang, aku susul istri saya dulu, ya."
"Iya." Ayu bahkan mendorong badan Bima dari belakang, agar lekas berlalu dan ia bisa menutup pintunya rapat-rapat.
Cukup lama ia berdiam diri di kamarnya, tak ingin melihat pasangan suami istri itu di meja makan. Ia baru keluar saat jam tujuh pagi, saat mobil Bima telah keluar sejak beberapa saat yang lalu.
Berjalan mengendap menuju meja makan yang ternyata ada satu piring dengan nasi sisa cukup banyak. Ia memicing melihatnya, kenapa hanya ada satu piring di meja ini? Nasinya masih banyak lagi.
Ayu terkesiap, karena dari kamar Bima terbuka kasar. Sasa keluar dari sana dengan pakaian super seksi, juga dandanan yang membuat mata membelalak. Wanita itu melangkah kemari, membawa tatapan aneh.
"Ngapain kamu di situ? Lihat saya kayak lihat hantu lagi!" Ungkap sasa bernada sinis, mendengar suara itu tentu saja Ayu segera memalingkan wajah tak habis pikir.
"Siapin saya minuman sana," Perintah wanita itu seraya menjatuhkan badan ke kursi di depan meja makan. Ayu jadi paham, rupanya wanita itu belum makan pagi. Rupanya ia tadi hanya menemani suaminya dengan omelan, hingga Bima kekenyangan kalimat sang istri. Dan menyisakan banyak nasi di piringnya.
"Hey, kok malah bengong? Dengar saya, nggak?" Sasa menghardik, kesal dengan sikap polos pembantunya itu.
"Iya, Nyonya." Ayu pergi. Ke dapur dan membuatkan minuman seperti yang dipesan majikannya tadi.
Saat ia kembali, terlihat sasa telah lahap menyantap makanannya, seperti tak peduli dengan kejadian tadi bersama suaminya. Juga saat Ayu meletakkan gelas di depannya, wanita itu tetap bersikap biasa saja.
Malah Ayu di sini yang merasa tak enak hati. Kejadian tadi, secara tak langsung dirinya telah masuk dalam sebab pertengkaran mereka. Meskipun ia tau bagaimana sikap wanita itu, yang suka bermacam-macam dengan pria asing.
"Nyonya, saya mau bicara," Ucapnya perlahan, dengan kepala menunduk takzim. Sasa senang melihat sikap pembantu yang seperti ini. "Apa?" Tanyanya tanpa menatap lawan bicara, masih sibuk mengunyah makanan dalam mulut.
"Saya, saya minta maaf atas kejadian tadi, Nyonya. Pak Bima tidak dari tadi malam berada di kamar saya, tapi dari jam empat tadi, ketika saya sudah beraktivitas di dapur. Pak Bima meminta ijin pada saya untuk meminjam kamar," Jelas Ayu dengan harapan tak ada lagi kecurigaan yang tertuju padanya.
"Terus?" Tanya Sasa masih tanpa melihat lawan bicara, bahkan terkesan tak mengindahkan penjelasan Ayu tadi.
"Hanya itu, Nyonya. Maka, saya minta maaf."
"Nggak perlu khawatir, Ayu. Saya nggak benar-benar marah sama kamu."
"Benar, nyonya?" Gumam Ayu setengah tak percaya.
"Iya. Yang penting, ketika suami saya mau mendekati kamu dengan alasan apapun, tolong, jangan kasih kesempatan! Karena kamu tau apa sebutan perempuan yang merusak rumah tangga orang lain, kan?" Kali ini pertanyaan Sasa disertai tatapan menghunus lurus kearah Ayu. Ia lantas menunduk dalam.
Mengangguk tajzim, tanpa berani menyangkal apapun. Karena yang dikatakan majikannya itu sangat benar. Apa jadinya jika ia berada di posisi istri seseorang, dan ada perempuan lain yang masuk dalam pernikahannya? Yang pasti ia pun tak bisa menerimanya.
"Ya udah, nggak usah dibahas. Kamu tadi sudah makan pagi belum?" Tanya Sasa memang sengaja mengalihkan percakapan, karena wajah pembantu itu makin nampak terpuruk.
"Belum, Nya," Ayu menjawab apa adanya, karena setelah memasak tadi ia memang langsung mengunci dirinya di dalam kamar.
"Sini, makan bareng saya." Wanita itu mengambilkan sebuah piring kosong, dan meletakkan di sebelah kursi di dekat Ayu. "Ayo, duduklah."
"Em, tapi Nyonya? Saya makan di belakang saja."
"Eh, eh!" Sasa memukul tangan Ayu yang akan meraih piring di atas meja, berniat untuk membawanya ke dapur. Karena merasa tak pantas makan bersama dalam satu meja bersama majikan. "Saya ngajakin kamu makan di sini, bukan meminta kamu makan di dapur. Udah, duduk aja dan makan." Titahnya lagi, dan kini Ayu pun tak bisa menolak.
Mereka makan pagi hingga piring keduanya bersih dari sisa-sisa nasi. Ayu yang bertugas membereskan meja makan segera bertindak. Ia lega karena nyonya kembali ke kamar, dalam hati berharap wanita itu tak ada jadwal keluar lagi.
Karena rasanya trauma saja berada di rumah berdua dengan Pak Bima. Semoga hari ini nyonya ada di rumah, batin Ayu penuh permohonan. Ia menoleh saat majikannya itu membuka pintu kamar.
"Ayu," Panggilnya dari sana.
"Iya, Nyonya?"
"Nanti kalau ada orang yang datang nyariin saya, bilang saya di kamar, ya."
"Iya, Nya."
"Oh iya. Ini, kamu nanti ke pasar, beli bahan dapur." Sasa meletakkan beberapa lembaran uang merah di meja makan. Ayu mengangguk saja tanpa banyak tanya.
Sasa kembali masuk kamarnya, dan ia kembali dengan kerjaan di dapur. Hingga selesai, hingga ia pun menyapu lantai di setiap ruangan. Orang yang dimaksud Nyonya tadi tak juga datang.
Ingin segera berangkat saja ke pasar, tetapi telah diamanati Sasa untuk menunggu tamunya lebih dulu. Maka, kini ia duduk melepas lelah di kursi teras. Memandangi sejuknya udara di luar sana. Udara yang jauh dari polusi seperti di kota-kota besar.
Ayu terkesiap saat ada mobil berhenti di depan rumah, ia mengamati mobil itu, bukan milik Pak Bima. Matanya memicing saat melihat sosok yang turun adalah seorang pria berbadan besar dan bertattoo. Orang itu, seperti yang mengantarkan nyonya semalam? Ia bertanya dalam hati.
"Sasa ada?" Suaranya membuyarkan Ayu dari lamunan.
***