Chereads / Tak Ingin Jadi Pelakor / Chapter 4 - Tukang Pijat

Chapter 4 - Tukang Pijat

Ayu," Suara seorang pria memanggil, ayu menoleh. Rupanya, sang majikan mendekat dengan telanjang dada, hanya mengenakan celana boxer bawah lutut.

"Saya masuk angin. Tolong kerokin, ya." Pria itu mendekat dengan membawa botol kecil dan koin di tangan, membuat ayu tercengang bukan kepalang. "Kok malah bengong?" Tanya Bima lagi, karena yang diminta malah melamun.

Maka, sesaat setelah Bima kembali bertanya, gadis itu terkesiap. Kesadarannya kembali dengan mengerjap beberapa kali.

"Eh, maaf, Pak. Tapi, kenapa harus saya? Kan ada ibu." Bukan tak bersedia, tetapi ia merasa tak etis jika melakukan itu. Andai saja yang meminta tolong itu adalah Nyonya Sasa, ia pasti tak akan berfikir dua kali. "Lagipula, Bapak kan Mantri. Kenapa nggak minum obat saja?"

"Sasa kecapekan, dia masih tidur. Dan meskipun saya ini Mantri, tapi kalau masuk angin sudah terbiasa dikerok. Jadi kalau nggak dikerok nggak bisa sembuh. Makanya saya minta tolong sama kamu. Mau, kan?" Bima kembali meminta dengan wajah memelas, membuat Ayu pun mengerjap iba.

Bukan mudah goyah, tetapi sejak kecil ia telah dididik untuk berbuat baik pada siapapun. Membantu semampunya pada orang lain yang membutuhkan. Maka dengan ajaran yang telah melekat dalam hati itu, ia sebenarnya bersedia. Hanya saja berat mengatakan iya.

"Ayolah." Tanpa permisi, Bima menarik tangan ayu, mengajaknya duduk di dekat meja makan. "Pagi ini saya sudah harus ke Puskesmas, sudah harus bekerja. Ayolah, tolong saya." Seperti tak mau menerima alasan apapun, Bima tetap meletakkan botol kecil dan koin ke tangan Ayu. Pria itu bersiap, mendekatkan punggungnya ke depan wajah si gadis desa.

Maka, mau tak mau ayu pun membuka tutup botol itu. Mengeluarkan minyak ke jari, dan akan dioleskan pada permukaan punggung lebar dan kuat itu. Jangan ditanya bagaimana jantung Ayu saat ini. Jika diminta memilih, ia pasti lebih memilih di dapur saja.

Aroma wangi maskulin bercampur keringat membuat harinya kian gelisah saja. Tangan yang sudah mendekat itu mendadak tak mau bergerak lagi.

"Ayo, cepat. Jam enam saya sudah harus berangkat," Suara Bima lagi membuyarkan lamunan Ayu tentang mendeskripsikan badan Bima. Itu artinya, ia memang harus melakukannya dengan cepat, karena ini sudah jam lima pagi. Dan masakan pun belum siap.

"Iya, Pak." Mau tak mau, ia gerakkan tangan. Mengoleskan perlahan pada kulit sang pria.

Ia sangat berhati-hati saat menggoreskan koin itu di sana, hingga bekas merah pun tak lantas terlihat. "Yang keras sedikit, ya." Pinta sang majikan, dan Ayu pun menurut.

Lima belas menit, Ayu harus bekerja dengan menahan debaran jantung yang semakin lama semakin hilang dengan sendirinya. Goresan demi goresan pun menyisakan warna merah menghitam di punggung itu.

"Sudah, Pak," Ucap Ayu saat dirasakan tugasnya telah usai.

"Kok nggak dipijat?" Tanya Bima, Ayu pun memicing tak habis pikir. Bukankah tadi perintahnya hanya itu, kenapa malah ditambah lagi.

"Memang harus dipijat juga?" Tanya Ayu tak mengerti. Jantung yang telah normal kembali berdetak tak teratur, membayangkan tangannya menyentuh secara langsung punggung itu.

"Iya. Biar lebih cepat sembuhnya," Jawab Bima. Ayu menarik nafas panjang, serasa sedang dikerjai saja oleh pria itu. Jika bukan majikannya, tentu sudah ia tinggal sejak tadi.

"Iya, Pak." Maka pijatan demi pijatan lembut, ia berikan pada sang majikan.

"Kayaknya kamu cocok deh jadi tukang pijat?" Celetuk Bima, alAyu pun terhenyak kaget.

"Tukang pijat?" Gumamnya. Jujur saja ia merasakan suaranya itu bergetar, dan berharap sang majikan tak menyadari.

"Iya. Tukang pijat. Pijatanmu enak, beda sekali sama sasa." Sesaat setelah berucap demikian, Bima malah memandang Ayu sejenak dan melemparkan senyuman memuji. Hal itu tentu saja membuat Ayu menahan nafas.

"Bapak ini, ada-ada aja." Balasan ayu membuat Bima meresponnya dengan terkekeh pelan.

"Kamu udah lama kerja di sini?" Bima kembali bertanya, seakan sengaja menghilangkan kesan formal diantara keduanya.

"Sudah dua tahun, Pak."

"Kenapa mau jadi pembantu?"

"Saya mau kerja apapun, yang penting baik. Demi bisa mewujudkan keinginan Ibu, Pak. Saya ingin kuliah."

"Hm, mulia sekali cita-citamu? Semoga bisa terwujud, ya."

"Terimakasih, Pak."

Beberapa menit berlalu, tak terdengar lagi suara Bima. Yang ada kini adalah suara nafas bergerak teratur. Pria itu sampai tertidur di kursi depan meja makan.

Karena sudah setengah enam, Ayu meninggalkan sosok tak bergerak itu. Kini ia harus segera memasak, apalagi jika nanti Nyonya Sasa bangun dan melihat suaminya sedang dipijat pembantu, pasti ia kena marah.

Saat sibuk di dapur, Ayu bisa melihat dengan jelas, istri Pak Mantri itu mendekat dengan wajah penuh tanya.

"Mas, bangun!" Suara Sasa dengan tangan menggoyangkan pundak sang suami. Anehnya, perempuan itu tak bereaksi apapun saat mengetahui ada bekas merah di sekujur punggungnya.

Sementara Bima hanya menggumam sambil menggeliat pelan. "Hm, kamu? Udah bangun?" Tanya Bima saat mengetahui ada istri di dekatnya.

"Iya. Kamu kok malah tidur di sini, sih?"

"Aku tadi masuk angin, mau bangunin kamu nggak tega. Jadinya aku minta tolong sama Ayu."

"Oh, ya udah. Cepat mandi sana, udah hampir jam enam loh."

"Hah, iya deh."

"Ayu!" Panggil sang Nyonya, saat suaminya telah pergi. Kali ini, ayu harus kembali menyiapkan mental untuk menghadapi majikan perempuan. Berbeda dengan yang pria tadi, majikan yang satu ini gayanya benar-benar seperti atasan.

Atasan yang tak akan segan menegur, atau bahkan meminta ulang jika hasil kerjaan belum sesuai yang diinginkan. "Makan pagi udah siap belum?" Tanya wanita itu.

"Iya, Bu. Bentar lagi," Jawab Ayu sambil menuangkan masakan ke dalam mangkuk. Dalam keadaan masih panas, ia bawa ke meja makan beserta yang lain.

"Lama banget, sih? Suami saya harus berangkat pagi. Bisa telat kalau punya pembantu lelet kayak kamu!"

Ini adalah ocehan kedua, dan selanjutnya akan ia rasakan membersamai aktivitas di rumah dinas ini. Tanpa menjawab, nafasnya tterlepas perlahan, disertai harapan semoga betah.

"Sudah, Bu."

"Dan jangan panggil saya Ibu. Saya bukan ibu kamu, panggil saya Nyonya!" Titahnya dengan gerakan jari mengibaskan ujung rambut ke belakang bahu.

Ayu baru benar-benar paham, majikan perempuannya itu adalah wanita glamour. Terlihat dari penampilannya pagi ini, yang tak bisa membedakan sedang berada di kota atau desa.

"Baik, Myonya." Ayu menunduk takzim, tetapi yang diberi hormat malah mengalihkan perhatian, karena suaminya muncul dengan seragam dinasnya.

"Sayang, kok lama banget, sih? Katanya mau berangkat pagi?" Tanya Sasa mengerucutkan bibir merah merekah.

"Iya, ayo makan."

"Kamu kan masih harus anterin aku dulu."

"Lho, emang kamu mau kemana?"

"Kamu gimana, sih? Ini kan jadwal aku pertemuan dengan teman-teman kecamatan, sayang."

"Apa? Kamu minta aku anterin kamu ke kecamatan?" Tanya Bima membulatkan mata ke arah sang istri. Mau tak mau, Ayu yang mondar-mandir menyiapkan peralatan makan pun jadi mendengar jelas perdebatan mereka.

"Enggak. Ke dekat balai desa aja, nanti ada temen yang jemput."

"Kamu kok nggak berubah sih, sa?" Wajah bertanya si Bima mendadak berubah serius. Seperti sedang memprotes sikap sang istri yang kurang berkenan di hatinya.

"Kamu gimana, sih? Bukannya dulu kamu yang minta aku gabung sama mereka, daripada di rumah sendiri malah bikin stress."

"Iya, tapi udah berapa kali aku bilang, kamu sekarang malah berlebihan. Sukanya koleksi barang mahal yang belum tentu jelas gunanya."

"Udah, udah. Pokoknya aku nggak mau tau, kamu harus anterin aku ke dekat balai desa, titik!"

Makan pagi belum usai, mereka berdua telah meninggalkan meja makan dengan gumaman dari sang mantri. Ayu diam-diam mengintip kepergian mereka di jendela ruang tamu, ikut bergumam dalam hati.

Aneh sekali pasangan suami istri itu? Ia kembali setelah mobil Bima tadi menghilang. Kembali ke meja makan dan menemukan ponsel milik Pak Bima, tertinggal di sana.

"Ini kan, milik Pak Bima?"

***