Aneh sekali pasangan suami istri itu? Ia kembali setelah mobil Bima tadi menghilang. Kembali ke meja makan dan menemukan ponsel milik Pak Bima, tertinggal di sana.
"Ini kan, milik Pak Bima?" Ayu bergumam dengan menyentuh benda pipih itu, dibawanya ponsel Bima ke depan pintu. Siapa tau mobil tadi belum bergerak jauh, atau saat menyadari ponselnya tertinggal, mantri itu kembali.
Namun, beberapa menit Ayu menunggu di teras, tetap tak ada tanda-tanda mobil kembali. Ia bawa masuk dan meletakkannya di tempat tadi, di atas meja makan.
Tak ingin memikirkan ponsel itu, karena pekerjaan dapur masih banyak. Tak hanya di dapur saja, melainkan semua ruang yang ada di rumah itu. Karena sejak Mantri yang sebelumnya kembali ke Kota asal, ayu pun kembali ke rumah Ibu.
Jam sembilan pagi, ia telah usai membereskan rumah. Saat kembali ke dapur, ia dikejutkan oleh suara dering ponsel di atas meja makan. "Aduh, gimana ini? Ada yang menelepon Pak Bima. Masa harus aku angkat, sih?" Gumamnya kebingungan. Apalagi telah terlihat panggilan itu beberapa kali.
Namun, saat melihat nama Bu Bidan yang tertera di layar kecil itu, ia jadi berfikir, mungkin saja ada pesan dari Pak bima. Maka, perlahan ia sentuh benda mahal itu, menggeser tanda hijau dan menempelkan ke telinga.
"Ayu?" Ia memicing, itu suara Pak Bima.
"Iya, Pak Bima, kan?"
"Iya. Kamu bisa nggak anterin hape aku ke sini? Lupa tadi, mau ngambil di sini banyak orang periksa."
"Oh, iya, Pak. Saya akan antarkan sekarang juga."
"Oke. Makasih ya, Ayu."
"Iya, Pak. Sama-sama." Sambungan telepon berakhir. Ayu segera bersiap untuk mengantarkan gawai Pak Bima ke puskesmas.
Karena hanya berjarak satu kilo meter dari rumah itu, ia hanya berjalan kaki. Sebab tak ada kendaraan apapun yang bisa ia bawa. Lagipula, ia memang tak memiliki kendaraan seperti yang lain.
Ia berjalan cepat, melewati jalan aspal rusak di pinggir persawahan. Tak ingin sang majikan menunggu terlalu lama, sesekali langkahnya dibuat berlari kecil.
Ayu baru mendapatkan setengah perjalanan, entah kenapa rasanya terlalu lama saat mendesak seperti ini. Menyadari perjalanan masih panjang, ia berlari. Berlari makin cepat dan kencang, hingga tak menyadari ada sesuatu menghalangi langkah kaki.
Ia terjatuh akibat salah satu kaki tersandung batu kerikil agak besar di tengah jalan.
"Aduh .... " Rintihnya memegangi kaki kiri yang terasa sangat sakit. "Kok malah jatuh, sih? Gimana ini?"
Ayu berdiri. Namun, niatnya untuk kembali melangkah harus gagal karena kaki itu sakit sekali saat digerakkan.
Akibatnya, ia berjalan dengan satu kaki, dan satu yang lainnya diseret, juga dipegangi dengan kedua tangan. Ayu tetap menyeret satu kaki itu, hingga muncul sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di dekatnya.
"Ayu, kamu kenapa?" Ayu kaget, karena ternyata pemilik mobil itu adalah Bima. Sosok yang langsung turun saat mengetahui kondisi Ayu saat ini.
Pria itu langsung berjongkok, ikut menyentuh kaki Ayu yang dipegangi sejak tadi. "Kenapa bir jadi kayak gini?" Tanya Bima lagi.
"Hhee, jatuh tadi, Pak."
"Kenapa bisa jatuh?"
"Saya lari, Pak. Takutnya bapak butuh banget sama hapenya, saya khawatir bapak nunggu terlalu lama," Jawab Ayu apa adanya.
"Ya ampun, Ayu. Ya nggak usah begini juga, kali. Coba lihat, kalau kakimu sakit begini, jadinya gimana?" Tak menjawab, Ayu hanya tersenyum serba salah.
Saat reaksinya itu belum usai, ia harus kaget saat tiba-tiba badannya menempel tanpa jarak dengan mantri Bima. Pria itu menggendongnya menuju mobil, dan membantunya duduk di sana.
"Tapi, Pak. Kenapa saya di ajak kesini?" Tanya Ayu memamerkan wajah polos, yang langsung dijawab terkekeh oleh Bima.
"Kamu ini, kaki nggak bisa jalan begini kok malah bingung mau ditolong."
"Hah?" Pekik gadis itu saat melihat Bima akan menyentuh kakinya, spontan Ayu menarik kaki dan menyembunyikan ke bawah jok mobil. "Jangan, Pak. Bapak mau apa?" Teriaknya menatap waspada.
"Kamu ini kok kayak mau diperkosa aja, sih? Lihat, kaki kamu itu terkilir, harus diurut agar sembuh. Emang mau kakinya sakit terus?" Tanya Bima beruntun untuk memberikan pengertian pada pembantunya. Ia merasa bertanggung jawab atas hal itu, karena kecelakaan Ayu terjadi karena dirinya.
Saat melihat si gadis tak lagi tegang seperti tadi, Bima kembali menyentuh kaki yang dibalut rok bawah lutut itu. Nampaknya, Ayu memang suka mengenakan rok saat dimanapun. Menjadikannya terlihat cantik dan anggun alami, tanpa polesan make-up berlebihan seperti sasa.
Apalagi rambut panjangnya selalu terurai, ada poni tipis menutup sebagian kening. Membuatnya terlihat seperti artis Korea yang cantik. Bima kembali membawa kaki ayu ke atas jok mobil, memijatnya perlahan.
Kadang merasa iba ketika melihat wajah gadis itu memerah, disertai bibir meringis menahan sakit. Kadang juga gadis itu sampai menutup wajah untuk menutupi rasa sakitnya.
"Sakit, ya?" Tanya Bima, dan yang ditanya hanya mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Gadis itu mungkin tak menyadari, hal itu bisa saja membuat lawan jenis merasa gemas melihatnya.
Termasuk Bima saat ini, ia cepat-cepat memalingkan wajah yang mulai dikuasai pikiran aneh. Ia adalah pria dewasa yang telah memiliki istri. Namun, pernikahan yang telah berjalan lima tahun itu kadang telah di ujung tanduk.
Sasa yang tak kunjung hamil, setiap hari keluar bersama teman-teman sosialitanya entah kemana. Bahkan ada hal buruk yang tak disukai Bima dari sang istri, yaitu hobinya dalam mengoleksi benda mahal. Pakaian, tas, sepatu perhiasan, dan pernak-pernik lainnya.
Lalu uangnya, darimana lagi? Karena wanita itu tak bekerja sendiri.
"Pak, udah, Pak." Suara Ayu mendadak menyadarkan lamunan Bima yang menerawang kemana-mana.
"Eh, udah lebih baik?" Tanya Bima salah tingkah, ia merutuk dalam hati. Bisa-bisanya gugup di depan pembantu sendiri.
"Iya. Udah sembuh," Jawab gadis itu menarik cepat kakinya dari hadapan Bima.
"Eh, itu kan ada yang lecet. Diobati dulu, ya."
"Nggak usah, Pak. Saya punya obatnya, nanti saya bisa obati sendiri."
"Beneran?"
"Iya."
Keduanya tertegun sejenak, bingung dengan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Demikian halnya dengan Bima, ia mendadak lupa, kenapa bisa kembali kemari, dan menemui gadis itu.
"Pak, ini hapenya." Gadis itu mengulurkan benda pipih milik sang majikan yang tertinggal di rumah tadi. Dari situ, barulah Bima tersadar. "Oh, iya. Makasih, dan maafkan saya, ya," Ucap pria itu mengambil barang miliknya.
"Karena mengantarkan benda ini, kamu sampai terjatuh dan kaki kamu terkilir," Ucapnya lagi.
"Nggak apa-apa, pak. Yang penting sekarang udah sembuh. Ya udah, kalau gitu saya pulang dulu, Pak."
"Tunggu, tunggu." Bima menghalangi niat Wyu yang akan membuka pintu mobil, gadis itu menoleh heran. "Biar saya antarkan sebentar."
"Tapi, kerjaan bapak gimana?" Tanya Ayu tak habis pikir. "Ini kan hari pertama bapak kerja di sini."
"Iya. Saya tadi sudah minta ijin untuk mengambil hape, karena ini sangat penting untuk menunjang pekerjaan kami." Ayu tak menanggapi, ia diam saja saat mobil perlahan berjalan.
Mobil membelah jalanan aspal rusak yang sepi, tanpa ada kendaraan lain yang lewat di sana. Kalaupun bertemu orang, hanya satu dua orang pergi ke sawahnya.
Tak sampai lima belas menit, mobil telah tiba di depan rumah. Bima keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu sebelah untuk memudahkan Ayu turun. Pria itu menatap awas saat pembantunya turun dengan hati-hati.
Saat Ayu akan menapakkan kaki ke tanah, mendadak tubuhnya oleng. Hampir saja ambruk ke tanah, jika Bima tidak secara sigap menangkapnya. Kejadian itu berlangsung cepat dan membuat keduanya berada dekat tanpa jarak.
Kejadian itu membuat mereka seolah terbius untuk beberapa saat, dan Ayu yang lebih dulu menyadari. "Maaf, Pak."
"Iya, saya juga minta maaf," Ucap pria itu melepas badan Ayu perlahan, tetapi tetap memegangi tangannya dari samping.
"Saya bisa sendiri, Pak."
"Daripada jatuh lagi, saya antar kamu ke kamar."
Entah apa yang terjadi, Ayu kembali memegangi kakinya dan merosot ke tanah. Bima pun tak menundanya, kembali mengangkat badan ramping itu. Mengabaikan tatapan aneh dari sang gadis.
***