"Mau kemana, Nduk? Kok udah siap?" Tanya Ibu saat Ayu telah rapi. Usai memasak pagi ini, gadis dua puluh tahunan itu segera membersihkan badan dan ganti baju, seperti hendak bepergian.
"Iya, Bu. Ayu harus segera berangkat ke rumah mantri. Katanya, siang nanti akan ada mantri baru yang menggantikan Pak Surya kemarin," Jawab sang gadis berwajah Ayu, secantik parasnya yang menawan.
"Apa kamu masih dipercaya Pak Lurah untuk bekerja di rumah itu, nduk?" Ibu menatap gelisah, selain tak ada tempat bersandar sebagai seorang istri, wanita empat puluh lima tahunan itu juga tak memiliki pekerjaan.
Sejak ditinggalkan sang suami sepuluh tahun lalu, ia hanya bisa menjadi buruh cuci di rumah tetangga. Untuk menyekolahkan Ayu hingga lulus SMA. Setelahnya, gadis manis itu tak mau lagi menjadi beban sang Ibu. Ia memutuskan untuk bekerja saja.
Sejak lulus SMA, ia menjadi pembantu rumah dinas mantri di Desa itu.
"Iya, Bu. Semoga ayu nggak digantikan oleh yang lain ya, Bu," Sahutnya dengan senyum khas seorang Sekar Ayu Kinasih.
Senyum hangat meneduhkan yang ia wariskan dari sang Bapak. Senyuman indah yang membuat mata manapun terpana melihatnya.
"Iya. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Yang penting kerjamu bagus dan nggak neko-neko," Ucap sang Ibu mengulas senyum.
"Doakan ayu nanti bisa kuliah ya, Bu."
"Tentu, nak. Maafkan Ibu ya, yang nggak bisa memenuhi keinginanmu."
"Ibu nggak perlu bicara seperti itu. Ayu memang ingin mandiri, nanti kalau uang sudah terkumpul, Ayu akan kuliah."
"Iya. Ya sudah, ayo makan dulu. Nanti kamu ditungguin sama Pak lurah, lagi."
Jam tujuh pagi, Ayu telah siap di rumah dinas untuk mantri. Rumah yang agak menyendiri, karena terletak dipinggir sawah milik Desa. Tempat yang paling dekat adalah Puskesmas, tempat kerja bidan Desa dan mantri di sana.
Di rumah ini sudah ada Pak lurah, juga Pak kasun yang siap menyambut kedatangan mantri baru itu. Rumor yang telah beredar adalah, bahwa Mantri baru itu cukup tampan. Meski telah beristri, wajah rupawannya tak jarang membuat kaum hawa terpikat.
Ayu mendesah lirih, teringat pesan Ibu sebelum ia berangkat tadi. "Ingat ya, nduk. Niatmu di sana untuk bekerja, bukan yang lain." Ibu mengatakan itu, mungkin karena telah mendengar rumor tersebut.
Ia terkesiap saat Pak lurah, Pak Kasun dan dua orang lain mulai riuh, kemudian muncul mobil yang jadi pusat perhatian semua orang di situ. Ayu penasaran, ia ikut mendekat ke arah mobil berhenti. Menurut Pak Lurah dan Pak Kasun tadi, mantri baru itu telah beberapa tahun tinggal di kecamatan menjalankan tugasnya di sana. Mulai hari ini, Mantri itu akan menggantikan Mantri sebelumnya yang telah purna tugas.
Ayu ikut melihat bagaimana saat pak kasun dan Pak lurah membukakan masing-masing pintu mobil. Dari arah kemudi, turun seorang pria berusia tiga puluh tahunan. Namun dari wajahnya, jelas terlihat lebih muda dari usianya.
Pakaian dinas melekat pas di badan tinggi. Dada bidangnya memperlihatkan bahwa ia memanglah pria gagah penuh pesona. Juga membuat wanita manapun pasti berlomba-lomba ingin menyandarkan wajah di sana.
Itu dari bentuk badannya, belum lagi keindahan di wajah. Wajah rupawan dengan tatapan tegas berada di bawah alis tebal yang saling bertautan di atas hidung mancung.
Ayu menarik nafas perlahan, rumor itu benar adanya. Dan ia harus tau diri. Sekali lagi teringat pesan ibu, lagipula kenapa harus berfikir senakal itu. Pak Mantri telah beristri, dan Ayu hanyalah seorang pembantu yang hanya lulusan SMA.
Usai mengagumi mantri baru yang menjadi majikannya, ia mengalihkan pandangan ke arah pintu sebelah. Di sana turun seorang perempuan cantik berpenampilan seksi dan tentu saja segera menarik perhatian Pak lurah, Pak kasun dan dua perangkat lainnya.
Para pria itu kemudian dengan cepat saling mengalihkan tatapan dari memandang istri pak mantri. "Mari, Pak. Silahkan, rumahnya sudah kami siapkan. Semoga Pak Mantri betah bekerja di sini, Pak," Ucap Pak lurah.
Mantri ganteng itu masih belum terdengar suaranya. Hanya memamerkan senyum tipis yang sungguh memikat, sementara sepasang matanya masih sibuk mengamati sekeliling. Mungkin tempat ini masih asing baginya.
"Mari, Pak, Buk. Kita masuk, istirahat dulu di dalam," Pak lurah kembali berkata, Mantri itu kembali tersenyum. Mengangguk dan menggandeng tangan sang istri, masuk mengikuti Pak lurah dan yang lain.
Ayu yang berjalan paling belakang, ia masih sibuk mengagumi paras Pak Mantri dan istrinya tadi. Juga, sikap romantisnya pada sang istri itulah yang menarik perhatian hati Ayu.
Mereka semua kini telah duduk mengitari meja ruang tamu. Dengan Pak Mantri yang masih sibuk meneliti setiap sudut ruangan yang terlihat dari sini.
"Ayu, tolong buatkan minuman dulu untuk Pak Mantri dan istri. Juga kami semua," Pinta Lak Lurah, Ayu yang masih berdiri di belakang segera mengangguk. Melangkah ke dapur demi mengerjakan apa menjadi tugasnya.
Suasana di ruang tamu lebih mencair saat Ayu kembali dengan membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Terdengar pula suara Pak Mantri yang ramah dan banyak senyum. Sangat cocok menjadi pelayan kesehatan bagi masyarakat di Desa ini.
Saat Ayu datang dan menyuguhkan satu persatu minuman itu, ia buru-buru menundukkan pandang. Sebab baru saja melihat Pak Mantri sekilas menatap ke arahnya. Meski tak ada reaksi apapun, tetap saja ia harus tau diri.
"Nah, ini Ayu, Pak Mantri. Salah satu anak desa ini, yang sudah dua tahun menjadi asisten rumah tangga di sini." Pak lurah mengenalkan namanya pada Pak Mantri.
Ayu mengangguk santun saat yang diberi tau kembali menatap dengan senyuman singkat.
"Ayu, Pak Mantri ini namanya Pak Bima. Dan istrinya, Bu Sasa. Mereka adalah majikan kamu yang baru, ya."
"Iya, Pak.
Ayu kembali ke belakang, tempat paling pantas bagi seorang pembantu. Sementara setelah bercakap-cakap beberapa saat, Pak Lurah dan yang lain berpamitan. Maka tinggallah pak mantri dan sang istri yang saling sibuk meneliti seisi rumah baru mereka.
" Mas, rumah dinasnya kok nggak seperti yang di kecamatan, sih?" Tanya Sasa setelah beberapa kali menyentuh semua barang di rumah ini.
"Nggak sama gimana?" Tanya si pria yang kini telah mengalihkan fokusnya pada benda kecil di tangan.
"Rumahnya kumuh. Dan, lihat itu. Masa masih banyak debu di atas meja dan kursinya? Pembantu tadi beneran kerja nggak, sih? Kok jorok begitu?" Rutuk perempuan cantik yang beberapa kali menjingkit merasakan jijik tiap kali memegang benda yang katanya masih berdebu.
"Nggak apa-apa lah, namanya juga rumah dinas," Sahut suaminya tanpa menoleh, Sasa hanya berdecih. Kembali fokus pada penilaiannya terhadap kebersihan rumah itu.
"Mbak, Mbak pembantu! Kesini bentar," Teriak Sasa, dan Ayu yang yang sedang menata sayuran di dapur segera tanggap, bahwa pangggilan mbak pembantu tadi ditujukan padanya. Memang siapa lagi?
"Iya, Ibu. Ada apa?" Tanya Ayu setelah tiba di ruang tamu, tak lupa membungkukkan badan menghormati mereka.
Tak segera bicara, wanita cantik tadi justru memindai penampilan ayu dari atas ke bawah. "Siapa namamu tadi?" Tanya Sasa bersedekap tangan, menatap sinis ke arah Ayu. Entah apa yang salah.
"Ayu, Bu."
"Berapa usia kamu?"
"Dua puluh tahun."
"Oh, cantik juga kamu. Kenapa masih muda begini malah pilih jadi pembantu, kenapa nggak sekolah?" Mungkin Nyonya cantik itu telah lupa dengan tujuannya memanggil ayu, ia justru menyerang pertanyaan seperti petugas sensus saja.
"Saya kerja dulu, Bu. Mengumpulkan uang untuk kuliah," Jawab Ayu apa adanya. Memang sejak awal niatnya demikian, bekerja apapun untuk mengumpulkan uang demi bisa kuliah.
"Oh, jadi gitu?"
"Iya, Bu."
"Lihat deh, Mas? Dia cantik, ya? Kasihan juga, mau kuliah aja sampai dibela-belain kerja dulu," Ucap Sasa meminta sang suami untuk membenarkan pendapatnya.
Bima yang sejak tadi menatap layar gawai itu, kini beralih ke arah Ayu. Untuk yang kedua kalinya Pak Mantri itu menatap serius wajah Ayu, kemudian tersenyum manis menegangkan.
"Ih, Mas. Natap pembantu kok gitu, sih?" Gumam Sasa membuyarkan fokus Bima, juga Ayu.
Bersambung ....
Selamat datang di buku baruku, selamat membaca, semoga suka.