Chereads / Menikah Dengan Tuan Muda / Chapter 1 - Pria Aneh

Menikah Dengan Tuan Muda

Yuraa_Yumi
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pria Aneh

Hujan deras tak kunjung reda membuat beberapa orang akhirnya harus menunggu hujan berhenti agar bisa pulang ke rumah mereka. Dingin tentu membuat bulu kuduk berdiri ditambah ada angin kala itu membuat salah satu wanita dengan hijab serta jaket yang ia kenakan seakan tak cukup membuat dirinya tetap hangat.

"Ahh, dingin sekali," keluhnya sambil menggosokkan kedua tangannya untuk menambah hangat yang akan mengurangi dingin yang terasa masuk ke tulangnya. Ia tengah menunggu bus yang akan berhenti di halte yang sedang menjadi tempat pertemuannya dari hujan lebat ini. Kala itu ia hanya menunggu seorang diri tidak seperti biasanya, mungkin karena hujan yang lainnya berteduh di tempat lain.

"Ini sudah jam berapa? Gawat! Sudah hampir jam 8!"

Wanita itu menjadi panik setelah memperhatikan jam yang bertengger di pergelangan tangannya. Ia sudah menunggu kurang lebih satu setengah jam di sana. Pulang dari kerja ia berharap bus akan datang, rupanya sudah lama ia menanti bus tak ada yang datang untuk membawa ia pulang ke rumahnya.

"Aish! Kemana semua bus itu!" Kakinya ia hentakkan karena merasa kesal. Ia ingin segera pulang dan merebahkan dirinya ke kasur empuk apalagi hujan seperti ini memang paling mantab untuk tidur lebih awal. Sayangnya, takdir berkata lain untuknya.

Tak lama, sebuah cahaya membuat ia harus memejamkan matanya karena silau. Sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Wanita itu memalingkan wajahnya saat kaca mobil yang ada di depannya itu terbuka. Ia mulai merasa takut apalagi tak ada orang yang menemaninya. Seakan ia akan bertemu dengan hantu, semua bulu di kulitnya terasa berdiri karena merinding.

"HANA!"

"Tunggu, aku kenal suara itu sepertinya," ucapnya dalam hati saat telinganya malah mendapat suara yang memanggil namanya. Wanita itu--Hana mulai menoleh kembali untuk memastikan bahwa ia benar-benar mengenal suara yang baru saja ia dengar.

"Bara?" Lelaki dengan bola mata besar itu mulai melambaikan tangannya ke Hana sembari tersenyum. Hana membalasnya pula dengan senyuman.

"Kamu mau pulang?"

Hana mengangguk. Bara membuka pintu mobilnya sambil membawa payung untuknya. Ia berjalan ke arah Hana yang merasa keberuntungan berpihak padanya.

"Semoga saja dia akan menawarkan tumpangan untukku."

"Kamu pesen taksi aja, bus udah gak datang kalau udah jam segini. Udah jam setengah 10 malam, loh."

Hana perlahan membuka mulutnya sedikit. Ia terkejut dengan respon Bara yang malah menawarkan untuk memesan taksi daripada menawarkan tumpangan untuknya. Hatinya dipenuhi rasa kecewa. Namun, detik selanjutnya Bara menjelaskan sesuatu yang membuat ia mengerti.

"Sorry gak bisa kasih tumpangan, gue aja numpang sama teman gue. Dia agak gak suka sama cewek soalnya, jadi---"

"Dia homo?" sambung Hana cepat membuat Bara tertawa kecil.

"Enggak, dia gak homo. Cuma ada trauma sama wanita aja."

Kepala Hana mengangguk. Ia sedikit berdecak kesal dengan situasi yang tidak mendukungnya. Benar-benar situasi yang sial untuknya hari ini.

"Kamu gak pesen taksinya?" tanya Bara lagi.

"Aku---"

Pip! Pip! Pip!

Klakson mobil temannya Bara mulai berbunyi. Nampaknya temannya Bara sudah tidak sabar. Hana merenggut kesal dengan suara klakson itu.

"Yah, sorry gue keknya harus balik ke mobil, Han. Lo pesen taksi aja, ya? Jangan kelamaan, udah mau larut. Nih, payung buat lo nanti keluar dari taksi biar gak kena hujan."

Bara kembali ke mobil setelah memberikan payung pada Hana. Wanita itu hanya memanyunkan bibirnya karena Bara yang tidak peka padanya.

"Mau pesen taksi gimana, Bar? HP gue mati." Hana menatap layar ponselnta yang hitam karena sudah lowbat. Seandainya ponselnya tidak lowbat, tentu saja ia akan segera memesan taksi sesuai dengan saran Bara padanya.

"Apa gue jalan aja, ya? Di depan sana kayaknya ada Ojek yang bisa bawa aku pulang."

Hana membuka payung yang Bara berikan padanya. Ia berjalan menembus di bawah hujan yang lebat. Tak ada jalan lain, ia harus bisa pulang cepat meski tak ada yang menunggunya di rumah.

Di tempat lain, Bara sudah sampai di rumahnya. Temannya membawa mobil cukup cepat sementara hujan sedang lebat.

"Lo gila, ya? Bahaya tau bawa mobil kek gitu tadi anjir!"

Pria yang bersama dengan Bara hanya menoleh dan menyuruh Bara lekas keluar dari mobilnya.

"Lo ada urusan? Buku-buku amat usir gue." Bara malah curiga dengan temannya ini.

"Lo sadar gak? Dia mirip."

Baru saja Bara ingin membuka pintu mobil, tetapi perkataan temannya membuat ia mengurungkan tindakannya. "Maksud lo? Gak paham gue."

"Tidak ada. Lo turun aja sekarang."

"Idih, setengah-setengah amat!" protes Bara membuat Pria itu menoleh dengan tatapan tajamnya.

"Iya-iya gue keluar, bye!" Bara keluar sambil menutup pintu mobil dengan kuat membuat pria di dalamnya berdecak.

Mobilnya melaju meninggalkan area rumah Bara. Cuaca sendiri masih hujan lebat yang tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti malam ini.

Kembali dengan Hana yang masih berjalan dengan perasaan kesal. Tak henti ia merutuk hujan dalam benaknya. Ia pun menatap sekeliling dan melihat jalanan yang amat sepi.

"Loh? Gak ada abang ojeknya?" Mata Hana membulat karena panik tak menemukan satu pun Kang Gojek yang akan mengantarnya pulang.

"Kok abangnya gak ada, sih!" protesnya sambil menghentakkan kakinya kesal. Ia mulai memeluk tubuhnga sendiri sambil tetap mempertahankan payungnya agar tidak jatuh dan tambah membuat badannya kedinginan.

"Mana dingin lagi. Gimana cara gue pulang? Masa balik ke kantor, sih. Capek banget ya Allah!"

Tidak ada pilihan lain, Hana memutar badannya kembali ke arah halte agar bisa memastikan bahwa akan ada seseorang yang bisa meminjamkan ponselnya hanya untuk meminta pesan gojek online untuknya.

"Kakiku keram...."

Hana berjongkok saat ia merasakan kaku pada pergelangan kakinya. Ia mendesis sakit saat ia menggerakan kakinya.

"Duh, hari ini buruk sekali."

Tepat saat itu, angin datang dengan kencang. Payung yang Hana pegang terbawa angin membuat badannya akhirnya terkena hujan yang masih lebat.

"Arggh!"

"Masuklah ke mobil."

Hana mendongak. Cahaya dari mobil yang berada di depannya menghalangi penglihatannya agar bisa melihat lebih jelas seorang pria di depannya. Ia meneguk salivanya, ketakutan dengan suasana sekarang.

"Tidak usah takut, saya temannya Bara yang tadi."

Hana berdiri dan kembali menyipitkan matanya. Sekilas tadi ia melihat wajah tampan di dalam mobil yang tadi Bara tumpangi.

"Benar, dia orangnya. Tapi, kata Bara dia anti sama cewek, apa dia mau menculikku?"

"Kenapa kau mundur?"

"Tolong jangan mendekat!" Hana terus mundur selangkah demi selangkah yang malah diikuti hal sama dengan Pria yang berada di depannya.

"Kubilang---"

Sreekk! Hana ditarik mendekat membuat jantungnya berdebar entah karena terkejut atau merasa tidak nyaman dengan posisinya yang malah terlalu dekat dengan Pria di depannya ini.

"A--apa yang kamu lakukan!" Hana mendorong dada Pria yang mengaku sebagai teman dari Bara.

"Saya hanya bersimpati pada anda. Masuklah ke mobil dan---"

"Apa jaminan kalau aku akan baik-baik saja ikut bersamamu?" Pria di depannya menghela napas. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya.

"Kamu bisa sambil menelfon dengan Bara."

Hana menaikkan sebelah alisnya dan dengan cepat mengambil ponsel itu. "Bagaimana kalau pesankan saja aku taksi online? Ponselku mati."

"Tidak usah. Masuk saja."

Hana membuka mulutnya saat Pria itu dengan santai meninggalkannya terlebih dahulu. "Ada apa dengannya hei!" Hana membiarkan badannya semakin basah.

Piiip! Klakson mobilnya berbunyi seolah menginstruksi pada Hana agar segera masuk.

"Baiklah, tidak ada pilihan lain."

Hana mulai membuka pintu sambil berdoa pada Tuhannya agar selamat dari marabahaya jika saja akan terjadi. Terlebih ia mengambil keputusan besar untuk numpang pulang pada orang yang pertama kali ia temui.

"Ini." Hana menatap selimut yang diberikan oleh Teman Bara.

"Makasih." Hana menggelengkan kepalanya saat pikiran negatif mulai berdatangan di otaknya. "Its okay, Hana. Dia pasti orang yang baik, pasti."

"Engg ... aku boleh tanya, gak?" Pria yang fokus mengemudi itu hanya berdehem singkat membalas Hana. Wanita pekerja keras itu memanyunkan bibirnya. "Ternyata benar, dia seperti yang Bara katakan padaku."

"Enggak jadi, kok." Pria itu menoleh. "Katakan saja kalau ada yang membuat Anda tidak nyaman. Saya tidak akan memakan anda."

"Padahal dia orang yang buat aku gak nyaman, huft!" desis Hana pelan.

"Anda bilang apa?" Hana menggelengkan kepalanya. Berharap besar Pria di sampingnya ini tak mendengarnya.

"Di mana rumah anda?"

Hana melirik ponsel yang masih ia genggam. Ponsel milik pria itu.

"Sebaiknya aku tidak usah turun di depan rumah, aku belum bisa percaya penuh pada Pria ini." Hana malah kembali berdiskusi dengan batinnya.

"Ah, aku tinggal di sekitar perumahan mulia barat. Turunkan saja aku di depan gerbangnya."

"Perumahan mulia barat?" Hana mengangguk dengan cepat. Selanjutnya tidak ada percakapan lagi diantara keduanya. Mereka saling membisu satu sama lain. Gemercik hujan yang menambah latar suara di dalam mobil. Benar-benar keadaan yang membuat Hana merasa canggung. Namun, Hana yang merasa lelah akhirnya memejamkan matanya dan tertidur.

Beberapa waktu kemudian, mobil yang Hana tumpangi berhenti. Pria yang dikenal Hana sebagai teman dari Bara menatap ke arah Hana yang masih tertidur.

"Hey!" Pria itu sedikit meninggikan nada suaranya.

"Bangunlah. Kita sudah sampai."

Hana menggeram saat merasa suara bass itu terasa meneriakinya. Ia langsung duduk dengan benar saat kesadaran mulai ia dapatkan.

"Ah, maaf aku lancang tidur."

"Biar kuantar masuk." Hana menggelengkan kepalanya. Ia menolak tawaran Pria itu tentu saja.

"Ah, tidak usah. Aku bisa pinjam payung---"

"Ambil saja," potong Pria itu cepat. Hana tertegun. Ia akhirnya bisa menatap dengan jelas wajah Pria itu.

"Dia tampan."

"Hello?" Lamunan Hana buyar dan segera berterima kasih pada Pria itu.

"Terima kasih banyak sebelumnya, dan maaf sudah merepotkan padahal kita---"

"Turunlah atau ikut denganku."

Hana terkekeh. Pria yang menyebalkan, tapi di sisi lain sudah berbaik hati mengantarkan ia pulang meski atas kemauan dirinya sendiri untuk tidak sampai di depan kostnya.

"Ah, iya." Hana kembali berbalik saat baru saja ingin membuka pintu.

"Nama kamu siapa?"

"Dewa."

"Maaf, siapa?" Hana kurang mendengar jawaban Pria itu karena suara yang diredam oleh gemercik hujan.

"Dewa."

"Ah, Dewa. Aku---"

"Saya tidak bertanya nama anda. Turunlah."

"Apa?" Dewa menoleh. Ia menatap tajam pada Hana.

"Saya bilang turunlah."

Hana meneguk salivanya. "Ah, salah. Dia hanya Pria tampan yang mengerikan."

Hana akhirnya turun dan berpura-pura masuk ke dalam gerbang perumahan. Nyatanya ia bukan pemilik salah satu rumah yang ada di dalam. Untungnya mobil Dewa dengan cepat melesat.

"Dasar Pria aneh."