Hana memiringkan kepalanya sedikit, mencoba memahami situasi yang sulit untuk dicerna olehnya.
"Kenapa?"
"Maksudnya?" Dewa balas dengan cepat. Ia menatap tepat pada bola mata Hana yang merasa penasaran.
"Ya, kenapa aku? Dan bukannya Bara kamu---" Hana menggelengkan kepalanya begitu menyadari tatapan Dewa tertuju jelas padanya. Tatapan yang membingungkan wanita itu.
"Aku ke sini benar-benar untuk mendapatkan pekerjaan, Bar. Aku hanya sedang putus asa."
"Hana, kamu pikir apa?" Bara terkekeh sembari menoleh pada Dewa yang menatap Hana tanpa berkilah sedikit pun. Hana mendengus, ia kesal karena harus bertemu dengan pria seperti Dewa lagi. Pria aneh yang anehnya pernah membantu Hana pulang ke rumah tempo hari.
"Lalu? Pekerjaan apa itu? Aku tidak bisa berlama-lama." Hana memutuskan untuk mendengar penjelasan Bara, ia jadi ragu karena melihat Dewa juga ada diantara mereka. Hana mulai menyimak penjelasan Bara yang mulai menjelaskan pekerjaan yang Bara katakan padanya melalui pesan singkat di WhatsApp.
"Gue atau lo yang jelasin, Wa?" Dewa berdehem sambil menyodorkan sebuah kertas yang ada di balik sakunya. Hana menatap kertas itu cukup lama.
"Cepat ambil, tangan saya---"
Srapp! Hana dengan cepat mengambil kertas itu dari tangan Dewa. Ia mulai membaca satu per satu kata yang tertulis di sana. Matanya membulat di akhir kalimat.
'Ingat, semua yang akan pihak B lakukan hanya pura-pura dan tidak diperkenankan untuk menganggap hal ini serius terlebih hal ini disertai dengan upah yang besar.'
"Pekerjaan macam apa ini?" Hana protes tidak menerima. Ia menyimpan kertas itu di atas meja dan menatap tajam pada Dewa.
"Apa yang kamu rencanakan sebenarnya? Bara ini tidak masuk akal. "
Hana berdiri. Ia tidak menerima tawaran pekerjaan yang entah mengapa bisa bersangkutan dengan Dewa. Hana baru saja ingin mengucapkan kalimat perpisahan. Namun, Dewa terlebih dahulu menahan Hana dengan menarik kain baju di bagian lengan Hana. Dengan cepat Hana menyentaknya kasar.
"Aku tidak akan mau, berapa pun upahnya."
Dewa menaikkan sebelah alisnya. Bukan, dia tidak berniat untuk membujuk Hana dengan memaksa.
"Diamlah dulu." Hana membulatkan matanya lagi saat melihat Dewa membuang ulat bulu yang ternyata menjadi perhatian Dewa sedari tadi.
"Kenapa bisa ada ulat bulu! Rumahmu pasti kotor sekali!"
Bara menahan tawanya melihat ekspresi Dewa yang ingin protes dengan Hana karena malah mengomentari rumahnya yang sebenarnya tidak ada celah untuk dikomentari dengan kata 'kotor'.
"Ah, Bara maaf. Tapi aku membutuhkan pekerjaan, bukan hal seperti ini. Aku pamit, Bar."
Dewa menoleh pada Bara yang mengedikkan kedua bahunya. Rencana pertama mereka kali ini gagal.
"Apa dia memang gadis yang tidak tahu berterima kasih?"
"Lalu gimana, Dewa? Lo bakal Terima Ningrat?"
"Lebih baik aku dikutuk seumur hidupku daripada hidup bersama wanita seperti itu."
"Lalu? Lihatlah, sudah kubilang Hana memang bukan tipekal wanita pada umumnya. Dia yang lain dari yang ada." Dewa mengangguk setuju dengan perkataan Bara. Ia kembali duduk dan menjernihkan pikirannya sembari menatap kertas yang Hana tolak isi dan bonusnya.
"Tunggu sehari saja. Jangan bujuk dia, dia akan datang sendiri. Percaya saja."
Dewa menatap Bara yang ikut menatapnya sambil menggelengkan kepalanya.
"Lo benar-benar dalam masalah, Dewa."
Dewa berdehem. Ia membuka jasnya dan mengambil ponsel yang ia sudah hening kan sedari tadi. Baru saja ia membuka ponselnya, beberapa panggilan tak terjawab dari Bundanya dan juga dari nomor yang tidak ia ketahui.
"Sepertinya aku harus pergi."
"Gue bisa nginap di sini?"
"Silahkan."
Dewa berdiri untuk berjalan keluar. Ia akan menyelesaikan masalah malam ini sendiri dulu. Ia yakin Hana akan datang kembali padanya. Firasatnya begitu kuat.
Cafe
"Sayang, kenapa makanannya tidak dimakan?" Wenda bertanya pada Ningrat yang tidak menyentuh makanan di depannya. Pak Destra di sebelahnya mengangguk.
"Makanlah. Siapa tau dia akan datang."
"Dia pasti datangkan, Tante?" Wenda tersenyum lebar. Ia menahan kekesalan pada Dewa yang sedari tadi tidak mengangkat telfon darinya. Ningrat pun tidak berniat untuk makan karena Dewa yang tak kunjung terlihat.
"Awas saja kalau anak itu tidak datang, apalagi kalau dia datang sendiri." Wenda mengepalkan tangannya. Ia menggeram tertahan karena perilaku anaknya itu.
Ting! Notifikasi masuk.
'Bunda, banyak pekerjaan hari ini, aku tidak bisa datang. Maaf.'
"Anak kurang ajar."
"Tante bilang apa?" Wenda menoleh sembari menatap cemas pada Ningrat. Ia tersenyum simpul karena Dewa yang mengirimkan pesan padanya sungguh tidak tau cara mencari alasan yang tepat.
"Maaf, katanya Dewa lagi ada kerjaan. Bunda minta maaf ya, Nak." Wajah Ningrat menyusut yang semuanya berseri karena bisa bertemu dengan Dewa lagi. Namun, tiba-tiba saja sebuah akal bulus datang di dalam otaknya.
"Ah, tidak apa, Tan. Gimana kalau Ayah dan Tante ngobrol aja di sini, Ningrat gak nafsu makan lagi. Permisi."
"Loh, Nak---"
"Sudah, tidak apa, Wen. Anakmu pasti sibuk wajar saja dia harus mengembangkan perusahaan itu sendiri."
Wenda menghela napasnya kasar. Ia terpaksa mengunyah makanan lagi karena menghormati Pak Destra yang sudah berbaik hati untuk meluangkan waktunya padahal Dewa tidak datang seperti yang mereka kira.
"Maaf jika membuang waktumu, pasti anda lebih sibuk dari anak saya." Pak Destra hanya tersenyum. Dalam hatinya kini ia mencemaskan anaknya, Ningrat.
"Apa Ningrat terlihat kecewa?" Pak Destra menghentikan aksi siap menyuap di mulutnya, ia menatap Wenda sembari terkekeh menyembunyikan rasa cemas yang sebenarnya muncul dalam benaknya.
"Ningrat udah dewasa, dia pasti bisa menerima kalau benar Dewa sudah memiliki orang lain bersamanya."
"Dia pasti berbohong. Anak itu pasti menipuku," ujar batin Wenda kesal. Keduanya pun melanjutkan makan malam berdua tanpa anak mereka masing-masing.
---
"Lo habis darimana?"
Hana menaruh tasnya di sofa dan duduk sembari menatap Karin yang membesarkan mata padanya. Marah.
"Aku ada interview pekerjaan."
"Malam-malam gini? Serius, ah?" Karin tidak percaya.
"Lo pikir gue bodoh? Lo darimana, Han? Gue gak ijinin lo pergi dulu, ya. Gak boleh!"
Hana menyanderkan bahunya. Ia masih memikirkan kejadian tadi. Ia perlahan memejamkan matanya. Menghiraukan Karin yang mulai berceloteh tentang Hana yang tidak meminta ijin atau berkabar kalau dia mau keluar.
"Apapun alasan---"
"Yaelah, malah tidur." Karin berdecak kesal dengan tingkah temannya ini, untung saja ia memang menginginkan Hana tinggal di rumahnya, kalau tidak mungkin sudah sedari tadi Hana tidur di luar depan pintu.
"Hana, gue berharap banget suatu hari lo bisa jadi ratu dalam semalem, haha kayak cerita sofia aja, eh gue ngomong sama siapa, sih!"
Karin kembali berjalan ke kamar dan mengambil selimut untuk ia pakaikan pada Hana yang sudah terbang ke pulau yang bernama mimpi.
Di rumah, Dewa terus memikirkan penolakan Hana yang sebenarnya di luar ekspektasinya. Bara sudah sedari tadi pulang, tepatnya setelah mengirim pesan pada Wenda untuk memberi alasan yang sangat tidak masuk akal.
"Apa yang kurang? Bukankah bonus yang dia dapat sangat banyak? Ah, atau itu kurang?"
Dewa menggelengkan kepalanya beberapa saat, ia berusaha mengusir pikiran yang terus menerus hadir dalam otaknya itu. Tidak seperti biasanya, ada wanita yang menolaknya.
"Tapi feeling gue yakin banget dia bakal balik, apa iya?" Dewa kembali cemas. Sama sekali tidak bisa menghilangkan isi pikiran dari Hana. Tak lama suara ketukan membuat Dewa berpaling ke arah pintu kamarnya.
"Ah, itu pasti Bunda." Dengan cekatan Dewa mengambil beberapa dokumen yang sudah ia siapkan untuk mengelabui sang Bunda.
Kleek! Pintu terbuka. Wajah Wenda sangat tidak bersahabat dari ambang pintu menatap Dewa yang asik berpacaran dengan laptopnya. Nyatanya itu hanya rekayasa belaka. Dewa ingin membuat alasannya itu memang nyata adanya.
"Ekhem!" Wenda duduk di sebelah Dewa. Putranya itu membuat ekspresi terkejut buatannya seolah baru menyadari kehadiran Wenda di sisinya.
"Ada apa, Bun?" tanyanya dengan sok polos sambil menutup layar laptopnya. Ia tersenyum seolah tidak ada masalah yang Dewa buat untuk Wenda.
"Kamu masih bertanya ada apa? Bagus sekali anak Bunda ini, hahaha!"
Plak! Plak! Dua pukulan mendarat di punggung Dewa dengan kuat hingga pemiliknya menggeram kesakitan.
"Bunda kenapa, sih?" Dewa masih berlagak polos.
"Kenapa kamu bilang?" Mata Wenda memelototi Dewa yang masih berakting agar tidak terkena semprot dan pukulan yang lebih dari sebelumnya.
"Cepat jelaskan alasan kenapa tidak datang!" Wenda menjauh dan kembali berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Kan aku udah bilang, Bun. Aku lagi---"
"Kerjaan apa? Kamu pikir Bunda gak mantau apa aja yang kamu kerjain di kantor? Begitu?"
Dewa terkekeh. Berusaha mencairkan suasana. Ia benar-benar tidak tahu cara berbohong yang baik pada Bundanya.
"Aku malas, Bun."
"Malas?" Alis mata Wenda naik sebelah. Ia benar-benar menahan emosi karena rasanya dipermalukan di hadapan Pak Destra.
"Kamu gak mau kenalin tunangan kamu itu? Ah, Bunda paham." Dewa melirik sebentar. Ia sudah kembali membuka laptopnya dan mengerjakan beberapa kerjaan yang benar-benar ada.
"Kamu berbohong." Dewa benar-benar menoleh pada Wenda sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak berbohong, jadi stop untuk menjodohkan aku dengan putri Pak Destra."
"Ningrat. Ingat namanya Ningrat. Kalau kamu tidak berbohong, siapa nama wanita itu? Setidaknya kenalkan dengan namanya, nanti Bunda sendiri yang akan cari tahu siapa dia---"
"Hana. Namanya Hana. Dia bukan orang seperti kita. Makanya dia agak susah untuk bertemu dengan Bunda."
Dewa tidak tahan dengan tingkah Wenda yang terus mencari wanita yang benar-benar bukan tipenya sama sekali. Ia tidak ingin memikirkan pernikahan terlebih dahulu meski umurnya sudah matang untuk menikah.
"Dia orang seperti apa? Selama kalian saling menyukai, Bunda pasti merestui. Jadi, tinggal pertemukan Bunda terlebih dahulu dengannya."
Wenda kembali berniat untuk mendesak Dewa agar bisa mempertemukan ia dengan tunangan yang Dewa maksud.
"Baiklah. Lusa, Bunda bisa bertemu dengannya di sini. Kita akan makam malam."
Wenda tertarik dengan sudut bibirnya yang naik membentuk senyuman miring. "Ini beneran? Tidak seperti tadi, kan? Kalau kamu tidak menepati perkataanmu, Bunda akan---"
"Serius, Bun. Lusa, oke."
Wenda menelan salivanya. Nada Dewa terdengar meyakinkan.
"Apa dia benar akan membawa tunangannya? Anakku benar-benar memiliki seorang wanita bersamanya?" batinnya penasaran.
"oke, bunda tunggu."
Wenda pun keluar dari kamar Dewa dengan perasaan yang penuh pertanyaan. Dewa sendiri langsung terduduk lemas. Ia tidak pernah sefrustasi ini sebelumnya.
"Tidak ada jalan lain. Hana harus mau."