Chereads / Menikah Dengan Tuan Muda / Chapter 3 - (Tidak) Punya Tunangan

Chapter 3 - (Tidak) Punya Tunangan

Apa harus aku saja yang ke rumahnya?"

Dewa mengetuk meja kerja pribadinya dengan jarinya. Ia tengah memilih untuk mengambil ponselnya atau membiarkan ponsel itu diambil secara tidak sengaja oleh Hana. Ia menghela napas berat karenanya. Lelaki itu memejamkan matanya untuk menenangkan pikiran yang akhir akhir ini tidak seperti dirinya.

"Tapi ada file penting di HP itu, sial!" Dewa berdecak kesal.

"Tidak ada pilihan lain. Gue harus ke sana."

Sekarang, di sinilah ia saat ini. Berdiri di depan pintu berwana kecoklatan yang sudah ia ketuk beberapa kali. Dewa mendengar suara seseorang yang berjalan dari dalam pintu. Ia menoleh dengan wajah datarnya.

Klekk! Pintu mulai terbuka. Kepala Hana muncul perlahan sebelum ia membuka pintunya cukup lebar.

"Kamu?" Hana menatap Dewa dari atas hingga ke ujung kakinya. Ia melihat Dewa dengan tampilan yang masih sama seperti tampilan sebelumnya saat Dewa mengantarnya pulang ke rumah. Namun, Dewa tak merespon dengan ucapan, matanya saja yang berbinar menyala di malam hari itu.

Hana menengok ke samping kanan dan kiri, tetapi tak ada orang lain selain Dewa yang berdiri di depannya. Hana mulai bertanya-tanya bagaimana bisa Dewa tau persis kost-annya padahal di sini banyak pintu kost.

"Kamu tau kost-an saya?" Hana menggigit bibirnya tanpa sadar. Ia baru ingat telah mengatakan pada Dewa ia tinggal di perumahan yang tak jauh dari kost-annya.

"Saya tidak ingin berlama-lama. Cukup kembalikan ponsel saya." Nada dingin suara Dewa membuat Hana merinding mendengarnya ketimbang angin malam yang ia rasakan.

"Ponsel?" Hana mengerutkan keningnya sambil menatap pada Dewa. "Aku tidak mengam---" Hana menghentikan ucapannya sendiri. Lagi-lagi ia teringat kejadian semalam terjadi karena jaminan ponsel Pria di depannya ini. Dewa berdecak membuat Hana tersenyum hingga memperlihatkan giginya.

"Ahh, aku lupa itu. Maaf."

"Sial! Dia tersenyum padaku!" Dewa meneguk salivanya. Entah untuk pertama kali ia kembali merasakan hal yang selalu ia hindari terjadi pada dirinya.

"Cepatlah."

"Ah, iya. Tunggu sebentar." Hana kembali melenggang masuk tanpa mengunci pintunya. Di dalam ia membuka tas yang ia ingat di mana ponsel itu terakhir kali ia simpan saat berada di mobil Dewa kemarin.

"Tunggu, dia belum menjawab kenapa bisa tau kost-anku. Apa Bara yang memberitahunya? Mungkin saja." Hana kembali merogoh isi tasnya.

"Ketemu!" Ia tersenyum dan segera membawa ponsel milik Pria aneh yang ia sebut semalam.

"Ini." Hana memberikan ponsel itu dan lekas diambil oleh Dewa.

"Sebelumnya aku minta ma---"

Hana menghela napasnya. Lagi dan lagi ia harus memutus ucapannya sendiri. Dewa sudah berbalik badan lebih cepat dari yang ia kira. Hana menyilangkan kedua tangannya dengan mata yang menatap elang pada Pria aneh yang berjalan tanpa mengucap sepatah kata perpisahan padanya.

"Sepertinya apa yang dikatakan Bara benar. Dia benar-benar anti dengan wanita. Semoga saja dia tidak homo. Padahal dia ganteng--- eh!"

Hana membekap mulutnya. "Sial mulut ini malah memuji pria seperti itu." Hana menutup pintunya dengan kuat.

Plak!

"Apa itu tadi?" Dewa memijat-mijat keningnya. Ia sempat merasa hal yang aneh lagi jika bersama wanita itu.

"Hana? Wanita itu biasa saja." Ia mengomentari semua yang ada pada diri Hana.

"Ada apa denganku!" Dewa melajukan mobilnya menjauh dari area kost-an Hana untuk menyegarkan pikirannya. Bayangan wanita lain muncul saat ia melihat Hana.

Pagi hari yang cerah, tetapi tidak secerah suasana hati seorang Wanita yang tengah menikmati hari pertama ia kembali menjadi pengangguran.

"Ah, mungkin aku akan segera mendapatkan pekerjaan lain lagi. Semoga saja."

Hana beristirahat di bawah pepohonan yang rindang. Ia baru saja selesai berlari sebanyak 20 putaran untuk melampiaskan kekesalannya pada Bossnya yang main pecat seenaknya padahal dirinya telah berusaha sebaik mungkin di sana.

"Tapi aku akan melamar ke mana. Ujian apal lagi ini." Hana memijat kakinya yang terasa pegal karena berlari. Sebuah bayangan membuat ia menoleh ke belakang.

"Bara!" Bara rupanya juga datang ke lokasi jogging yang memang kerap mereka datangi.

"Nih, air." Hana mengambil air botol yang Bara berikan padanya.

"Lo kenapa? Muram gitu." Hana meminum seteguk air baru kembali menjawab pertanyaan dari Bara.

"Aku dipecat,Bar." Ekspresi Hana sudah tidak bisa ditanyakan lagi. Bara menghela napasnya.

"Yah, kantor gue udah penuh. Coba lo cari tempat kerja yang lain aja. Kali aja ada yang lebih baik."

Hana hanya berdecak. Semua orang akan mengatakan hal yang sama padanya jika ia mengatakan telah dipecat. Hana tidak membutuhkan kata-kata yang terdengar simpati padanya. Ia paling benci merasa dikasihani.

"Andai semudah itu, Bar." Hana menoleh dan menatap Bara dengan intens. "Aku mau tanya juga sama kamu tentang sesuatu." Bara memiringkan kepalanya. "Apa itu?"

"Kamu yang kasih tau alamatku sama temanmu itu, ya?" tanya Hana langsung pada intinya. Bara mengangguk tanpa membantahnya.

"Iya gue yang kasih tau. Soalnya HP dia ketinggalan sama lo, kan?" Hana mengangguk mengerti. Ia hanya ingin memastikan benar info kost-an yang Dewa ketahui itu sumbernya dari Bara bukan dari hal yang lain. Ia curiga dengan Dewa yang terlihat sangat tertutup.

"Ah, gue dengar juga dia nganterin lo pulang." Hana melirik sekilas kemudian mengangguk.

"Dia ngomong sesuatu sama lo?"

"Buat apa?" tanya Hana heran. Ia malah yakin jika Pria itu tidak akan berbicara jika bukan hal yang penting.

"Enggak, gue rasa aneh soalnya dia jarang berinteraksi dengan wanita lain selain Bundanya." Bara menyenggol Hana, "Sebenarnya gue curiga satu hal sih." Hana dibuat penasaran oleh perkataan Bara.

"Curiga tentang apa?" Hana menanti jawaban Bara.

"Ya, cuma firasat gue aja, sih." Bara terkekeh. "Gue rasa dia tertarik sama lo."

Hana menatap horor pada Bara. "Kok malah ngelucu." Hana melayangkan satu tangannya untuk memukul bahu Bara.

"Duh, gue ditabok. Cuma firasat aja, ya."

"Oke, lupain tentang Dewa. Gimana lo mau cari kerja lagi?" Hana menunduk. Ia juga pusing dengan hal yang menimpanya ini.

"Aku keknya bakal ke rumahnya Karin, deh. Siapa tau dia punya lowongan kerjaan buat aku." Hana benar-benar pasrah. Satu-satunya yang bisa membantunya sekarang adalah Karin, temannya.

"Oke, gue juga bakal kabarin kalau udah nemu buat lo. Kabarin juga kalau udah dapat kerjaan. Gue duluan, ya." Hana hanya tersenyum untuk membalas lambaian tangan dari Bara.

Di tempat yang berbeda, Seorang pria nampak membaca di sebuah perpustakaan. Keheningan perpustakaan adalah favoritnya. Siapa lagi Pria yang sangat membenci keramaian kalau bukan Dewa. Ia menghabiskan akhir pekannya dengan membaca buku-buku non fiksi kesukaannya tentang cara manusia hidup di muka bumi.

"Dewa?" Seorang wanita cantik duduk di dekatnya. Dewa melepas kacamata bacanya. Ia memperhatikan wanita di sampingnya. Terlihat tidak asing, ia lupa namanya.

"Aku ningrat kalau kamu lupa."

"Ah, nona ningrat." Dewa akhirnya mengingat wanita ini. Ningrat, anak konglomerat yang menjadi partner bisnisnya.

"Anda suka membaca juga? Kita punya satu hobi yang sama." Ningrat menatap Dewa yang kembali mengenakan kacamata bacanya dan fokus ke bacaannya. Ia tak berkedip menatap pria yang hampir sempurna di depannya ini. Sungguh penampilan yang sangat bagus untuk mencuci mata menjadi lebih cerah.

"Berhentilah menatapku, saya bukan buku untuk kau perhatikan di sini." Ningrat terkekeh saat Dewa menyadari dirinya yang menatap penuh takjub pada Dewa.

"Ayolah, kau lebih menarik daripada buku-buku di sini." Ningrat tersenyum saat Dewa menoleh padanya.

"Saya pamit lebih dulu. Sampai jumpa, Nona."

Ningrat menghela napasnya. "Lihatlah, dia. Sangat penuh kharismatik. Aku semakin menginginkannya." Ningrat bahkan menjilat bibirnya karena sangat terpesona oleh Dewa.

"Apa semua wanita seperti itu? Sepertinya tidak untuk Hana."

Dewa menghentikan langkahnya. Ia menyadari apa yang baru saja ia katakan. "Apa aku baru saja memuji wanita itu?" Dewa menggelengkan kepalanya.

"Dia hanya sedikit berbeda sama sekali bukan tipeku." Dewa membuat benteng agar tidak meruntuhkan prinsipnya untuk tidak mengenal apa itu cinta. Ia pernah hancur hanya karena cinta, tidak lagi. Ia tidak menginginkan perasaan semacam itu lagi.

"Tuan Dewa!" Dewa yang baru saja ingin membuka knop mobilnya terhenti. Ia mengembuskan napasnya pasrah.

"Apalagi yang diinginkan wanita itu."

"Boleh aku ikut bersamamu? Kamu mau rapat bertemu dengan Ayahku, bukan?"

Dewa membuka mulutnya sedikit ingin menolak, tetapi ia kalah cepat dengan Ningrat.

"Lihat!" Ningrat memperlihatkan ponselnya yang menunjukkan isi percakapan dirinya dengan sang Ayah.

"Ayahku pasti tidak ingin kecewa kalau kamu pergi tanpa ada aku di sampingmu." Ningrat tersenyum kemenangan saat Pria itu mengangguk singkat sambil memasukkan tangannya ke saku celana.

"Tapi, saya ingin pulang ke rumah terlebih dahulu jika anda tidak keberatan."

"Rumahmu? Tentu saja tidak akan keberatan."

"Dasar wanita ini." Dewa membuka pintu untuk dirinya sendiri. Ningrat masih berdiri di luar.

"Ada apa? Kenapa anda tidak masuk?" tanya Dewa sambil membuka kaca mobilnya. Ningrat mengerucutkan bibirnya. Wanita dengan rambut blonde itu menyentil jidat Dewa.

"Anggap itu hukuman karena tidak membukakan pintu untukku." Dewa menahan kekesalannya mengingat wanita yang bersamanya kali ini adalah anak dari partner bisnisnya. Ia tidak bisa gegabah untuk emosi pada Ningrat.

"Baiklah, ayo kita jalan."

"Wanita memang sungguh menyebalkan!"

***

"Tunggu dulu!" Ningrat mencegah Dewa yang ingin membuka pintu mobil. Dewa melirik tajam pada pergelangan tangannya yang disentuh oleh Ningrat. Ia menyentak tangannya kasar.

"Oh, sorry. Aku hanya mau pesan bukakan pintu untukku."

"Anda punya tangan. Gunakan tangan itu selagi berfungsi dengan baik." Ningrat terkekeh kemudian melirik kesal ke arah Dewa yang sudah terlebih dahulu melenggang keluar dari mobil.

"Tunggu aku!"

Dewa mengabaikannya. Ia benar-benar tidak terbiasa dengan wanita yang menempel padanya. Dengan seribu satu cara Dewa akan membuat wanita itu pergi dari dirinya selamanya.

"Apa kau datang sendiri Tuan muda?" tanya seorang Pria tua dengan kacamatanya. Dewa melirik ke arah sampingnya. Tak lama terdengar suara hentakan kaki yang ia yakini adalah suara kaki Ningrat.

"Ah, Ayah kira kamu tidak datang." Ningrat memeluk Pria tua itu yang merupakan Ayahnya sekaligus partner bisnis Dewa.

"Dia memang pilihan yang pas, Ayah," bisik Ningrat pada Ayahnya yang langsung tersenyum pada Dewa yang sedikit menunduk hormat padanya.

"Silahkan duduk."

"Sebenarnya undangan saya pagi hari ini hanya untuk mempertemukan kalian berdua."

Ningrat tersenyum sambil mengedipkan matanya pada Dewa. Pria berusia 26 tahun itu memalingkan wajahnya saat Ningrat memberi kode yang tidak jelas.

"Bagaimana menurutmu tentang Tuan Muda Dewa, Sayang?"

Ningrat terkekeh saat Dewa kembali membuang wajahnya. "Dia tampan dan sangat berkarisma. Aku suka dengan perjodohan Ayah kali ini."

Dewa yang meminum air tiba-tiba saja tersedak mendengarnya.

"Maaf, maksud putri Pak Destra apa?" Dewa tidak tahan.

"Iya, saya dan juga Bundamu telah setuju untuk menjodohkan kalian berdua. Kami hanya menunggu respon positif dari kalian."

Dewa menegang di tempatnya. Ia tidak akan bisa menerima perjodohan konyol ini terutama dengan wanita centil seperti Ningrat sangat membuat Dewa muak.

"Maaf, tapi saya tidak bisa menerimanya."

Pak Destra menatap Dewa dengan heran. "Tapi Bunda kamu setuju."

"Maaf, saya tidak bisa."

Ningrat terlihat tidak terima. "Kenapa tidak? Kita ini saling melengkapi, bukan? Benarkan, Ayah?"

Dewa menatap Ningrat dengan tajam. Wanita itu balas menatapnya karena tertantang dengan sikap Dewa.

"Saya sudah memiliki tunangan dan akan segera menikah dengannya."