What? Dia bilang udah ada tunangan? Spek seperti dia udah punya cewek? Gak mungkin, Yah!"
Ningrat terkekeh dengan pilihannya untuk bisa tetap bersama dengan Dewa untuk perjodohan kali ini karena Dewa benar-benar tipe idaman yang ia dambakan. Ia lebih memilih Pria pemilih seperti Dewa ketimbang Pria yang lalu-lalu pernah dijodohkan dengannya sangat gila dengan hartanya.
"Enggak, aku gak percaya dengan Pria itu. Ah, aku semakin tertarik dengannya, Yah. Bagaimana ini?" Ningrat tersenyum miring menatap cermin di depannya. Ia sudah terpikat penuh dengan pesona Dewa yang sudah jelas tidak tersentuh oleh spesies sejenis Wanita seperti Ningrat.
"Bagaimana kalau Ayah kembali mempertemukan kami lagi?" Ningrat terkekeh saat melihat kerutan bingung di wajah sang Ayah.
"Ayolah, bukankah Ayah punya hak penuh untuk mengontrol partner yang masih di bawah kita?" Pak Destra hanya menghela napas berat. Meskipun demikian, Pak Destra cukup tau watak dari tuan muda dari keluarga berkelas itu sangat angkuh meski belum sepadan dengan statusnya. Ia juga tidak bisa menekan Dewa kelak karena hubungan keluarga mereka juga yang cukup erat.
"Ayah akan usahakan."
"Tentu saja Ayah bisa, aku sayang padamu Ayah." Ningrat mengecup sebentar pipi Ayahnya dan keluar dari ruangan itu. Pak Destra hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya itu berubah drastis menginjak masa pendewasaan dirinya.
"Semoga saja Dewa benar-benar berbohong tentang tunangan yang ia katakan."
Di sisi lain, Hana memasukkan beberapa surat lamaran kerja lagi di beberapa toko atau pun perusahaan yang tengah membutuhkan karyawan. Lulusan S1 Hukum tidak membuat dirinya lantas bisa menjadi seorang Jaksa yang adil seperti yang ia impikan. Ujung-ujungnya ia hanya akan menjadi karyawan bawahan rendahan di mata orang banyak. Namun, Hana tidak mempermasalahkan itu sama sekali. Baginya, mendapatkan pekerjaan yang bisa membuat ia bertahan hidup saja itu sudah lebih dari cukup setelah penantian panjang yang ia lewati saat masih duduk di bangku kuliah.
"Semoga saja ada pekerjaan yang bisa gue dapetin segera mungkin. Huft, aku pasti gak bisa bayar kost-an kalau keadaan aku lama seperti ini." Hana hanya akan mengeluh seperti sekarang saat ia tidak mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan sedikit nafkah untuk bisa ia gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya.
"Atau aku Terima aja tawaran Karin aja, ya? Pasti gak mudah buat langsung dapat kerjaan sekarang."
Helaan napas berat kembali terdengar. "Tapi aku tidak mau merepotkan orang lain." Hana berbalik badan. Kakinya tanpa sadar berjalan tanpa tujuan. Sebuah perusahaan yang sangat besar. Hana meneguk salivanya karena pikiran yang membuat ia melayang tinggi.
"Apa bisa ya orang seperti aku menikah dengan pemilik perusahaan besar seperti ini?" Hana tersenyum kecut. Ia kembali berkhayal sesuatu yang mustahil terjadi di dunia nyata. Sangat mustahil untuk terjadi apalagi kepada dirinya.
"Kenapa aku tidak menjadi penulis naskah saja, dasar aku!"
Hana kembali melanjutkan perjalanannya. Ia tidak tahu keajaiban bisa saja terjadi. Langkahnya kembali tanpa tujuan agar terlepas dari beban biaya yang harus ia bayar bulan depan.
Mansion Dewa
"Bunda?" Dewa berdiri saat melihat sang Bunda dengan dressnya masuk ke dalam kamarnya. Dewa sedang membaca sebuah buku yang ia pinjam dari perpustakaan karena tidak bisa menghabiskan bacaanya di sana karena sebuah gangguan yang membuat dirinya tidak nyaman. Siapa lagi kalau bukan karena Ningrat, anak dari Pak Destra.
"Kenapa tidak memberitahu Bunda soal ini?" Dahi Dewa berkerut tidak mengerti dengan pertanyaan tiba-tiba dari Bundanya. Ia menaikkan kedua bahunya. "Maksud Bunda? Bukannya harus aku saja yang bertanya tentang itu padamu, Bunda?" Dewa menatap mata Bundanya intens. Mereka saling berhadapan saat ini.
"Apa? Tentang perjodohanmu dengan Anya? Kamu tidak menyukainya?" Dewa memutar bola matanya jenuh.
"Bunda tahu kalau pun Bunda rencanain 1000 kali perjodohanku dengan siapa pun, jawabanku tetap sama." Alis Wenda naik sebelah mendengar tanggapan yang sama lagi-lagi ia dapatkan dari putranya.
"Lalu siapa tunangan yang kamu katakan pada Pak Destra?"
Dewa tersentak. "Sial, aku hanya beralibi agar bisa keluar dari sana saat itu."
"Oh, soal itu." Dewa menjeda kalimatnya. "Aku memang punya hanya tidak memberitahu kepada Bunda saja." Wenda melipat kedua tangannya di depan dada. Ia merasa tertantang dengan topiknya kali ini.
"Kenapa? Bukannya harusnya Bunda yang paling pertama tau? Malah Pak Destra yang tau." Dewa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia berusaha mencari cara agar bisa mengalihkan topik ini sekarang juga.
"Ah, apa Bunda hanya ingin tau tentang itu saja?"
"Tentu saja." Wenda mengusap wajah Dewa. Ia menatap bola mata putranya untuk mencari kebenaran di matanya.
"Dia ternyata berbohong." Wenda membatin.
Dewa menepis tangan Wenda. "Apa yang Bunda lakukan." Wenda tersenyum miring. Ia tertarik menantang putranya dengan permainan yang Dewa sendiri yang memulainya.
"Bawa wanitamu itu ah maksud Bunda tunanganmu itu lusa di sini. Bunda harus melihat calon istri dari putra Bunda."
Dewa menegang. Kebohongan memang akan selalu membawa petaka padahal niat Dewa sebelumnya untuk menyelematkan dirinya dari Wanita. Namun, sekarang ia malah harus terhubung dengan wanita yang entah siapa yang akan ia bawa sebagai tunangan di hadapan Sang Bunda.
"Tapi Bun---"
"Bunda tidak ingin kamu punya alasan apapun atau beritahu di mana rumah wanita itu. Bunda yang akan ke sana. Bagaimana? Kamu pilih yang mana?" Wenda tertawa puas dalam hatinya. Ia bisa melihat dengan jelas raut gelisah putranya itu.
"Awas saja jika kamu berani berbohong." Wenda berbalik badan dan keluar dari kamar Dewa dengan sangat senang telah menjebak putranya dalam permainan yang kemudian Wenda bisa kuasai. Dewa hanya diam di tempatnya. Ia berdecak kesal sembari mengacak rambutnya asal.
"Arghh! Apa yang gue lakuin! Sialan!"
***
Tingnong! Tingnong!
Suara bel yang berbunyi membuat sang pemilik apartment beranjak dari depan TV karena sedang asyik menonton.
"Iya, sebentar!" Wanita dengan rambut yang terurai berantakan itu melihat seseorang yang ia kenal muncul di layar monitor CCTVnya.
Klekk! Pintu terbuka. Wanita yang berdiri dengan hijab hitamnya menyengir pada wanita yang tengah menatapnya heran.
"Loh, kok malam-malam gini gak bilang mau ke sini? Tumben banget!" Karin tersenyum melihat sahabatnya itu datang ke apartemennya setelah sekian lama.
"Aku hanya lagi banyak pikiran. Kayaknya aku mau nginap malam ini di sini dulu deh. Bisa, gak?"
"Lo kayak sama siapa aja! Masuk sini, Hana!" Karin menarik pergelangan tangan Hana tanpa persetujuan pemiliknya.
"Ihh serius, kan?" Karin menatap Hana dengan tatapan berbinarnya. Alasannya karena ia selalu mengajak Hana untuk menginap di rumahnya, tetapi Hana terus menolak dengan alasan punya rumah juga.
"Lo tinggal di sini juga, gak apa, Han. Ih gue seneng banget! Sini duduk!"
Hana hanya masih merasa kecewa dengan keadaannya yang saat ini. Ia sudah begitu lama kerja di sana tiba-tiba dipecat dengan alasan yang tidak jelas. Oleh karenanya, Hana memutuskan untuk menginap di rumah Karin barangkali hanya untuk membuang beban pikiran meski sesaat.
"Lo kenapa? Mukanya kok pucet gitu?" Hana menggeleng dengan lemas. Ia tidak ingin mengatakan kalau sebenarnya ia belum makan hanya minum air putih seharian ini demi menghemat pengeluarannya.
"Lo sakit, Han?" Karin memegang dahi Hana. "Loh, gak panas." Tak lama ada suara aneh datang dari perut Hana. Karin menaikkan sebelah alisnya cukup terkejut.
"Lo laper? Belum makan?"
Hana menggigit bibirnya karena ketahuan. Antar malu dan juga mau. Itulah yang ia rasakan sekarang.
"Tunggu, gue pesanin spageti aja biar cepet datangnya, soalnya lagi gak ada apa-apa di rumah." Hana tidak menolak. Lagi pula Karin sudah mendengar suara keroncongan perutnya.
Beberapa waktu berlalu...
"Lapar banget, ya?" Karin menatap miris pada Hana yang terlihat seperti gelandangan belum memakan apapun. Hana akhirnya selesai dengan suapan terakhirnya.
"Alhamdulillah, makasih, Rin." Karin menggelengkan kepalanya. "Gak usah sungkan kalau lapar ih! Kayak sama orang lain aja kamu, mah!"
"Aku mau curhat, Rin." Karin menoleh. Ia merasa tidak nyaman dengan nada suara Hana yang terlihat sedih. "Aku dipecat." Mata Karin membulat sempurna.
"Apa!"
Di waktu yang sama, tepatnya di rumah istana atau sebut saja mansion milik Dewa seseorang menatap tanpa berkedip sekali pun pada Dewa.
"Lo beneran dijodohin sama Ningrat anaknya Pak Destra?" Dewa menatap tajam pada Bara.
"Lo tau?"
Bara mengedikkan kedua bahunya santai. "Semua orang di kantor juga tau kali."
Mata Dewa membulat bersamaan dengan tangannya yang memukul marah meja di sampingnya.
"Ini pasti Bunda yang sebarin." Bara tertawa kecil. "Lo jangan zoudzon sama Bunda lo. Bukan, kok."
"Ya terus siapa?" Dewa masih terbawa emosi.
"Ya dia yang mau dijodohin sama lo lah! Siapa namanya lagi? Anya."
Bara terkekeh saat melihat Dewa meminta penjelasan lebih lengkap dengan matanya yang selalu bisa Bara baca apa maksudnya. Bara pun memperlihatkan grub inti di perusahaan mereka yang di whatsapp.
"Ini lo, kan?" Dewa melihat penampakan dirinya dan juga Ningrat yang tengah berselfie tanpa sepengetahuannya.
"Pak Destra yang kirim ke grub."
Brakk!
"Woi! HP guee!" Nyaris ponsel Bara pecah jika saja Dewa ikut memukul dengan tangan kanannya.
"Terima aja kali. Gak bosan hidup dibilangin homo terus?" Bara malah bercanda di saat seperti ini agar tidak terlalu panas.
"Terserah, gue bakal lakuin apapun biar dia mundur."
"Dengan cara?" Bara kembali memainkan ponselnya sembari menunggu jawaban dari Dewa.
"Apa boleh buat, gue bakal bawa tunangan gue."