"Ayolah!"
Hana mendengus kesal melihat papan kaca di depannya bersih. Tak ada selebaran kertas yang terpasang sebelumnya beberapa hari yang lalu sempat ia kunjungi untuk mencari pekerjaan. Ia sengaja pagi-pagi datang ke tempat ini karena jaraknya yang lumayan jauh. Ia tidak tahu harus mencari pekerjaan di mana lagi. Seolah pekerjaan untuk dirinya itu hilang semua.
"Padahal aku bisa melakukan apa saja."
Hana pun mau tidak mau harus kembali berbalik dengan penuh rasa kecewa mendalam. Ia putus asa karena sebenarnya ia berharap besar dengan tawaran yang Bara berikan. Namun, egonya tidak serendah itu untuk bekerja sama dengan seorang Pria ketus seperti Dewa. Ia tidak bisa menahan diri jika bekerja bersama Dewa. Terlebih pekerjaan mereka sangat beresiko. Hana takut memulai tawaran itu.
"Tapi upahnya bisa menghidupi hidupku setidaknya 3 sampai 4 tahun ke depan." Hana mengeluh sambil tetap berjalan. Ia teringat bonus yang diberikan oleh tawaran tempo hari yang ia tolak. Jumlah yang besar sebanding dengan resiko yang harus ia terima.
"Tapi aku benar-benar tidak enak dengan Karin." Hana merasa ia hanya akan menyusahkan sahabatnya itu jika terus saja tinggal di rumahnya. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Piiip!
Lagi-lagi sebuah mobil yang familiar berhenti tepat di samping Hana berjalan. Mobil itu membuat suasana hati Hana kian memburuk.
"Loh, kok bisa dia ada di sini? Apa dia ngikutin aku? Ah, mana mungkin." Hana membatin. Ia memilih tetap berjalan, mobil hitam itu pun mengikutinya dengan berjalan dengan lambat agar tidak mendahului Hana. Wanita itu mengernyit tidak suka. Ia merasa seperti diawasi saja.
"Apa yang Anda lakukan, Tuan?" Hana menyingkirkan tangan seorang Pria yang mencekalnya dari belakang. Dewa, ia turun dari mobil untuk menahan Hana.
"Putuskan segera." Dewa menatap Hana dengan tatapan tak bersahabat. "Mau atau tidak?"
"Mau apa? Bukannya--"
Hana membulatkan matanya. Telunjuk Dewa menempel tepat di bibir mungilnya. Beberapa detik berlalu membuat Hana kembali tersadar dan mendorong Dewa.
"Mau atau tidak? Jawab diantara keduanya." Dewa terdengar menantang Hana.
"Apa kau yakin akan mendapatkan pekerjaan semudah dan sangat menguntungkan seperti ini?" Hana terkekeh. Ia tidak menyangka jika Dewa bahkan tidak menyerah untuk memilih dirinya.
"Heh, kamu pikir aku ini siapa kamu? Bukan siapa-siapa, kita bahkan belum saling mengenal satu sama lain." Hana membalas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang apa jawaban yang akan diberikan oleh Dewa.
"Oh, ya? Bagaimana kalau kita kencan sebentar malam?"
"Apa?" Hana menutup mulutnya. Speechless! Seorang pria mengajaknya kencan. Ini bukan pertama kali, hanya saja Hana baru melihat Pria yang hanya sekedar bertemu dengannya punya daya tarik padanya sejauh ini.
"Kamu ini kenapa, sih? Bisa gak kita kelarin masalah itu."
Hana kembali berbalik dan berjalan menjauhi Dewa yang menatapnya tanpa berkedip. Dewa tidak mengejarnya, ia bukan tipe pria yang akan memaksa lebih keras. Entah firasatnya yang membawanya untuk mengikuti Hana hari ini. Ia kembali ke dalam mobilnya sembari menelfon seseorang.
"Sepertinya dia yang akan datang sendiri kepadaku. Aku yakin itu. Dia pasti mau."
Beberapa saat kemudian, mobil Dewa kembali berjalan berlawanan arah dengan Hana yang sudah tidak terlihat di ujung jalan sana. Hana bergegas pergi karena tidak ingin mendapatkan uang dengan cara yang menurutnya murahan.
"Apa dia mengikuti sedari tadi, heh? Dasar cowok yang aneh."
Langkah Hana terus berjalan. Entah akan mendapatkan pekerjaan dimana yang penting ia tidak akan menerima tawaran Dewa. Itu tidak masuk akal baginya. Sementara itu, di rumah Dewa akan terjadi sebuah keributan.
"Ada apa Bunda menelfon? Dewa mau kerja, loh." Dewa baru saja tiba di mansionnya. Ia duduk di sofa sambil menghadap dengan Wenda yang tersenyum tipis.
"Dan sepertinya ada tamu?" Dewa baru menyadari melihat ada mobil lain yang terparkir di luar. "Kenapa tamu Bunda bawa ke sini? Bukannya rumah Bunda juga ada?"
Wenda menatap sinis pada Dewa yang berkata lancang seperti itu. "Heum, ada tamu. Tamu itu untuk kamu." Dewa sontak menatap sang Bunda dengan penasaran.
"Siapa? Apa dia rekan kerjaku?" Wenda menggeleng. Hal itu semakin membuat Dewa penasaran. Tidak biasanya ia menerima tamu di mansion pribadinya. Ia hanya akan membuka pintu untuk orang-orang terdekatnya saja.
"Dia sekarang ada di kamarmu."
"Apa? Bunda bilang di kamarku? Sekarang?" Wenda mengangguk dengan santai, sementara Dewa sudah bersiap berdiri untuk bergegas ke kamarnya.
"Dewa!"
Dewa tidak akan membiarkan siapa pun lancang masuk ke kamarnya selain Bundanya atau pun orang lain tanpa ijin darinya. Langkahnya cepat menaiki tangga demi tangga.
Kreek! Pintu kamar sudah terbuka. Dewa melihat sosok gadis yang tidak asing di penglihatannya. Ah, lebih tepatnya seorang wanita yang tertidur di kasur empuknya.
"Maaf, anda tidak bisa masuk ke kamar orang lain tanpa ijin. Itu tidak sopan." Dewa tanpa basa-basi langsung ke intinya. Wanita itu terdengar terkekeh. Untaian rambutnya ia sampingkan ke sebelah kanan pundaknya sembari bangkit untuk duduk. Ia menoleh dan tersenyum tipis pada Dewa.
"Maaf, anda bisa keluar dari sana." Dewa masih berbicara di ambang pintu.
"Tapi kasurnya nyaman, Dewa." Wanita itu membalas sambil mengusap permukaan kasur yang setiap hari Dewa tiduri. Wanita itu bahkan mengendus bau kasur itu membuat Dewa berdecih tidak suka.
"Bahkan aku bisa mencium baumu di sini," ucapnya kembali sambil menikmati bau khas Dewa yang melekat di sana. Dewa sudah kehilangan kesabarannya. Ia berjalan mendekat.
Sreekk! Tangan Wanita itu dicekal oleh Dewa. Namun, siapa sangka keadaan berbalik sedetik setelahnya. Wanita itu menarik Dewa yang ingin menyeret Wanita itu keluar dari kamarnya. Alhasil, Dewa jatuh sambil bertumpu dengan sebelah tangannya yang tidak berpegang dengan tangan Wanita itu. Wanita itu tertawa melihat posisi mereka yang sangat dekat.
"Sial! Wanita ini benar-benar tidak sopan!" batin Dewa mulai menggerutu. Dewa berniat kembali ke posisi awal, tetapi Wanita itu kembali menahannya.
"Ada apa? Apa kau takut?" Dewa menaikkan sebelah alisnya dengan dahi yang berkerut.
"Takut?" Wanita itu menutup matanya ketika merasakan desiran dadanya kencang saat Dewa berujar tepat di depan wajahnya.
"Iya, kau pengecut Dewa."
"Ayo, kita menikah dan melaku banyak hal di kasur ini," bisik Wanita itu dengan nada menggoda yang dibuat-buat tepat di telinga Dewa. Sayangnya, Dewa semakin tidak menyukai Wanita ini. Ia menyentak tangan Wanita itu dengan kasar.
"Jangan berharap. Saya sudah punya tunangan dana akan segera menikah dengannya." Dewa berujar sambil memperbaiki bajunya yang sedikit berantakan. Wanita itu kembali bangkit dan mendongak menatap Dewa, calon tunangannya.
"Apakah kamu kira aku percaya?" Wanita itu tersenyum lebar. "Kamu pasti berbohong."
"Tidak. Aku sama sekali tidak berbohong atau bercanda." Dewa menegaskannya sambil menatap tajam lewat sudut ekor matanya.
"Anda silahkan keluar dari kamar ini."
"Baiklah." Wanita itu berdiri tepat di samping Dewa. "Aku akan kembali menjadi istrimu, kamu akan menikah denganku."
Dewa menoleh saat merasa Wanita itu sudah pergi. Helaan napas yang sangat berat keluar dari mulutnya. Benar-benar wanita yang gila menurutnya.
"Gue gak nyangka putri Pak Destra segila ini." Dewa mengelus tengkuknya. Ia sedang frustasi menghadapi keadaan yang semakin mendesaknya.
"Hana, aku akan membawamu bertemu dengan Bunda. Bagaimana pun caranya."