Han! Hana! Bangun!"
Karin sibuk membangunkan Hana yang tertidur di depan ruang TV, tepatnya di sofa. Dengan badannya yang kecil, ia masih terlihat nyaman tidur di sofa itu. Padahal Karin sudah memberikan satu kamar yang bisa Hana tempati agar nyaman bermalam di apartment miliknya. Hana yang perlahan membuka matanya karena sinar matahari yang muncul saat Karin membuka gorden agar lebih mudah membangunkan Hana.
"Lo gak sholat, Han?" tanya Karin karena tidak ada tanda-tanda Hana yang membangunkan dirinya untuk meminjam mukenah, meski sebenarnya Karin non-muslim, tetap saja ia memiliki teman yang biasanya berkunjung ke rumah dan tentu harus menyiapkan mukena agar temannya nyaman untuk tetap beribadah.
Hana menggeleng sambil menguap sesekali. Ia bangkit dan menatap Karin dengan sayu.
"Perutku kram subuh tadi, kupikir karena makan malam semalam, ternyata aku lagi mens, Rin." Karin mengangguk paham dan duduk di sebelah Hana.
"Jadi, gimana? Tinggal di sini aja dulu beberapa hari." Karin mulai membujuk Hana. Sudah lama ia selalu meminta agar Hana bisa bermalam menemaninya, tetapi ajakan itu selalu mendapatkan jawaban yang sama dari Hana. Karin pun tetap tidak bosan, meski penolakan halus dari Hana selalu menjadi jawaban.
"Mungkin itu ide yang bagus untuk saat ini." Karin melirik Hana terkejut. Jawaban yang berbeda kali ini.
"Lo udah sadar, kan?" Hana menoleh dan mengangguk seraya tersenyum tipis. Ia bangkit dan masuk ke kamar yang sebelumnya telah disiapkan Karin untuknya tanpa mengucapkan kata penjelas untuk pertanyaan yang muncul di otak wanita cantik itu, Karin.
"Apa sefrustasi itu Hana kehilangan pekerjaannya?" Karin menaikkan lengkungan bibirnya--tersenyum, takjub dengan penantian yang selama ini ia dambakan. Sementara itu, Hana yang baru saja masuk ke dalam kamar mandi malah menangis.
"Maaf, sudah melanggar janji untuk diriku sendiri."
Hana menghapus jejak air matanya. Membuka semua pelapis yang menempel di badannya--pakaian dan mulai menyalakan shower sehingga terdengar suaranya hingga keluar kamar mandi.
Di waktu yang sama, Dewa tengah asik memikirkan perkataan Bundanya semalam tentang tunangan yang tentu saja hanya bualan semata dari Dewa agar tidak dijodohkan dengan Ningrat, anak dari partner kerjanya, Pak Destra.
"Apa ini keputusan yang tepat?" Dewa menimang pikiran yang beberapa waktu ini terus muncul dalam otaknya.
"Tapi gue baru kenal dengan wanita itu. Asal usulnya udah gue tahu dari Bara."
Dewa tengah memikirkan Hana. Wanita yang pertama kali ia temui saat hujan di halte. Entah mengapa Dewa bisa-bisanya memutuskan sesuatu yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya.
"Apa gue ketemu langsung dengan dia? Apa dia bakal tertarik?"
Ting! Satu notifikasi WhatsApp masuk ke ponselnya. Satu pesan dari Bara.
'Gue udah ada di depan kantor lo. Apaan?'
Dia sudah menghubungi Bara untuk segera ke kantornya dan menemani Dewa menemui seseorang. Bara yang kesal hanya bisa menarik napas saat ditawari sejumlah uang dari Dewa.
"Lo bener-bener ya. Bisa-bisanya lo nawar duit mulu ke gue." Bara mulai memgomel saat melihat Dewa yang berjalan mendekatinya. Dewa hanya tersenyum miring saat sampai di hadapan Bara.
"Tapi lo juga mau-mau aja." Skatmat! Bara memutar bola matanya jengah. Ayolah, siapa yang tidak tertarik dengan uang pesagon yang dijadikan sebagai bayaran telah mengambil waktu kerja untuknya, pikir Bara.
"Emangnya kita mau kemana, Dewa?" Dewa menaikkan sebelah alisnya setelah memasang sealt-bet. Ia menoleh dan tersenyum tipis. Namun, di mata Bara terlihat sangat misterius. Ia pun menebak-nebak apa yang akan Dewa lakukan sebenarnya.
"Kita mau kemana?" Tak ada jawaban dari Dewa membuat Bara terus bertanya. Dewa pun menaikkan laju kecepatan sambil menyalakan musik.
"Lo benar-benar ya." Kesabaran Bara sudah tak terbendung. Ia pun memilih untuk diam dan menikmati musik selagi irama dari radio musik itu segenre dengan kesukaannya. Perjalanan itu tidak lama, hanya butuh setengah jam untuk Dewa menghentikan mobilnya. Bara menatap sekelilingnya yang tidak asing.
"Ini deket kost-annya Hana." Bara membathin sembari menatap Dewa yang menghela napas. Lagi-lagi membuat Bara kembali membuat satu pertanyaan untuk Dewa.
"Kenapa kita ke sini? Lo juga kenapa kek putus asa gitu? Kek bukan Dewa yang gue kenal." Dewa pun menatap Bara dengan serius.
"Gue butuh bantuan lo, Bar." Bara mengernyitkan keningnya. "For what?" Dewa mengangkat tangannya dan menyentuh salah satu pundak Dewa.
"Gue udah bosan dengan sikap Bunda gue, Bar. Jadi lo tolong gue kali ini." Bara menyingkirkan tangan Dewa sambil terkekeh.
"Lo kenapa jadi ngedrama gini?'
"Karena lo bakal bantu gue buat ngedrama."
"Hah?" Bara bingung. Padahal ia tadi hanya bercanda. Baiknya juga kalau Dewa bercanda, tapi itu bukan Dewa. Pria di depannya ini tidak tertarik dengan lawakan apapun.
"Intinya gue udah jelasin tentang perjodohan yang Bunda lakukan untuk kesekian kalinya. Kali ini gue serius untuk rencana ini."
"Lo bahas tentang tunangan pura-pura yang lo bilang semalam?" Dewa mengangguk. Itu benar, tapi ada rencana besar yang entah akan berhasil atau tidak.
"Iya." Kali ini Dewa menjawab meski singkat.
"Butuh bantuan gue buat apa? Tunangan lo kenapa?" Bara menahan tawa karena menggoda Dewa.
"Dia kenal sama lo." Bara kembali menatap Dewa dengan tatapan mengintimidasinya. "Maksud lo? Gue langsung kepikiran sama Hana gegara dia tinggal di sini."
"Memang benar Hana, gue pilih dia buat jadi tunangan pura-pura untuk sementara." Pernyataan itu membuat Bara membuka sedikit mulutnya, kaget."
"What! Wait, kenapa?" Bara bingung.
"Cuma dia wanita yang tidak tertarik dengan penampilanku. Kau tau kan biasanya---"
"Cukup, oke. Hana memang bukan tipe wanita seperti yang biasa lo temuin. But, lo udah bicara sama dia?" Dewa menggeleng. "Oleh karena itu, gue butuh bantuan lo."
"Oke, gue cukup paham. Tapi apa gak bisa cari cewek yang lain aja?"
"Gak. Gue mau dia yang mainkan drama yang bakal gue buat."
Bara membuang napasnya perlahan. Ia mengenal dengan baik Hana, wanita yang cukup periang itu memang sejauh ini tidak terlalu banyak terbuka terhadap teman-temannya. Ia hanya tau Hana memang beberapa dari wanita yang berbeda.
"Gimana? Lo mau bantu gue?"
Bara menaikkan bahunya. "Gue mau, tapi lo pikirin alasan logis buat lo nyatain ke Hana dan juga hadiah apa yang bakal lo kasih."
"Gue udah rencanain itu beberapa. Sekarang, lo bisa turun."
Bara bersungut-sungut menatap Dewa. "Lo yang bakal ketemu sama Hana." Bara menatap jam tangannya. "Hana kerja, kita ketemu di tokonya aja, dia pasti tidak ada di kostnya."
Dewa terkekeh. "Dia sudah kehilangan pekerjaan. Sekarang, dia akan mendapatkan pekerjaan baru yang menguntungkan."
Bara berdecak. Ia tidak habis pikir dengan temannya kali ini.
"Oke, gue turun dan bilang apa?"
"Tawari dia pekerjaan."
"Gak semudah itu. Hana pasti bakal banyak bertanya." Dewa mengedikkan bahunya. "Lo pikir jawaban yang pas aja, gue nunggu di sini."
"Silahkan keluar dan temui dia." Bara bersumpah serapah dalam hatinya karena sikap arogan Dewa padahal ia sudah berbaik hati untuk membantu.
"Dasar," umpat Bara pelan tentu tertuju pada Dewa yang juga berharap-harap cemas dengan reaksi Hana, wanita yang sudah ia pilih untuk memainkan peran besar bersamanya.
"Semoga dia mau." Dewa menatap Bara yang sudah kembali dengan cepat. Ia mengernyit karena Bara cepat kembali. Bukankah membujuk seorang wanita dengan tipe seperti Hana cukup sulit menurut Dewa. Namun, bagi Dewa semua wanita memang hanya beban untuknya. Jangan lupakan sosok Ningrat yang sangat mengganggu hidupnya akhir-akhir ini dengan beberapa pesan tidak penting yang menanyakan segala aktivitas Dewa. Dewa memilih mengabaikannya karena ia sudah cukup jelas dengan alasan memiliki tunangan.
"Kenapa cepat sekali kembali?" Dewa membuka pertanyaan. Bara menoleh sambil memperlihatkan isi pesan di ponselnya.
'Aku tidak ada di kost, Bar. Ada apa?'
Dewa baru saja ingin kembali bertanya, tetapi seperti memiliki kekuatan membaca pikiran seseorang, Bara membuka jawaban yang belum sempat ia tanyakan.
"Gue udah chat dia lewat WA. Dia langsung balas, jadi gue jawab to the point aja atau gimana?'
"Ajak dia ke rumah gue malam ini. Alasan makan malam sepertinya cukup. Selebihnya biar lo aja yang atur."
Bara membulatkan matanya. "Langsung ke mansion lo?" Dewa mengangguk. "Gue harus cepat agar kegilaan Bunda gue menghilang buat jodoh-jodohin gue." Bara terkekeh sambil mengusap pundak Dewa kasar.
Ting! Kali ini masuk notifikasi yang berbeda. Nada notifikasinya yang berbeda. Bara sempat mengernyit sebentar.
"Itu nada notif dari HP lo?" Dewa mengangguk.
"Notif khusus untuk wanita menyebalkan seperti dia."
"Siapa?"
"Ningrat." Bara merebut ponsel itu dari tangan Dewa yang hendak menjangkaunya. Ia membaca notifikasi itu.
"Keknya lo dalam masalah besar, Dewa." Dewa menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya. Seolah bertanya ada apa dan apa isi pesannya.
"Lihat ini!"
'Hai, Dewa. Sebentar Malam Bunda kamu ngajak aku makan malam, sekalian juga nyuruh TUNANGAN kamu datang biar Ayah dan Bunda kamu mengonfirmasi untuk hubungan kita bagaimana. See u boy.'
"Oh, Tuhan." Dewa menarik napas dan mengembuskannya dengan cepat.
"Bagaimana ini?"
"Mereka rencanain apa, sih?" Dewa memukul stir mobilnya. Bara terbiasa melihat Dewa yang melampiaskan kekesalannya dengan itu. Hal wajar buat seorang Dewa dikaitkan dengan seorang wanita akan membuat Dewa kesal.
"Kayaknya lo bisa bergerak lebih cepat, Bar."
"Gue paham." Bara memgetikkan sesuatu di layar ponselnya. Beberapa lama kemudian notifikasi masuk ke dalam ponselnya.
"Hana percaya. Sepertinya ini akan berjalan mulus. Semoga saja."
Apartment Karin
"Loh mau kemana, Han?" Hana menoleh saat ia tengah berkaca. Ia menggeleng sambil tersenyum pada Karin yang sudah mengenakan pakaian tidurnya.
"Aku mau ketemu teman di luar." Karin menatap penampilan Hana yang cantik di matanya.
"Lo cantik banget, teman atau teman, nih?" goda Karin mulai menoel-noel pipi Hana.
"Teman. Katanya ada pekerjaan yang bagus untukku."
"Oh, ya?" Wajah Karin langsung kaget sekaligus murung.
"Kok cepet banget." Hana terkekeh. Tentu saja dia harus menemukan pekerjaan secepat mungkin. Ia tidak mungkin berlama-lama di rumah Karin dan membuat Karin direpotkan.
"Aku pergi dulu, Rin." Hana menatap jam yang sudah menunjukkan waktu yang tengah ia janjikan bersama temannya itu.
"Oke, hati-hati."
Mansion Dewa
"Woah!" Bara takjub melihat Mansion Dewa yang sudah sangat berbeda.
"Biasa aja kali." Dewa menegur karena mulut Bara bahkan tak tertutup sedetik pun. Masih takjub dengan kesan mewah Mansion milik Dewa.
"Dia udah ada di depan?"
Dewa menoleh. Ia mendengar suara bel yang berbunyi.
"Mungkin."
Bara bergegas keluar dan menyambut kedatangan Hana. Ia membuka pintu utama dan memperlihatkan Hana yang mengenakan dress panjang dengan hijab yang menjadi ciri khasnya sebagai seorang muslimah.
"Ini rumah kamu, Bar?"
"Enggak, kamu masuk aja dulu." Bara masih tak menyangka kalau Hana dengan mudah percaya padanya dan datang begitu saja ke rumah ini, mansion milik Dewa.
"Kamu mau minum apa?" Bara berusaha menawarkan minuman seraya berbasa-basi terlebih dahulu.
"Enggak usah. Aku gak bisa kelamaan di luar. Pekerjaan yang kamu maksud gimana, Bar? Aku butuh banget kerjaan soalnya."
"Buru-buru banget. Kerjaannya itu---"
"Kamu?" Hana menyela perkataan Bara. Ia melihat seseorang di belakang Bara tengah berdiri di tangga dengan wajah khasnya yang datar. Bara mengikuti arah pandang Hana dan memutar bola matanya. Dewa berjalan mendekat ke arah mereka. Timbul tanda tanya dalam pikiran Hana.
"Kenapa dia ada di sini?"
"Kamu akan bekerja dengan saya."
"Iya?" Bara tersenyum simpul. Selanjutnya ia membiarkan Dewa menjelaskan semua keadaan yang terjadi sekarang.