Setelah sampai di rumah, Hana tak langsung tidur. Niatnya untuk tidur terenyahkan karena pikiran yang dipenuhi oleh Pria yang baru saja mengantarnya pulang. Matanya bergerak ke sana ke mari seolah mencari sesuatu. Ia beranjak saat matanya sudah menemukan benda yang ia cari.
"Ini dia."
Sebuah foto aktor favoritnya, Hana bahkan tak berkedip menatap meski hanya sebuah foto belaka. Ia berdecak kemudian. Seakan ada yang mengganggu pikirannya.
"Ah, gak mirip-mirip amat." Hana berpikir bahwa Dewa mirip dengan aktor yang ia idamkan karena kharisma dan pesona tampan yang tak bisa Hana sangkal memang sangat luar biasa.
"Dewa, namanya lucu. Tapi orangnya hadeh." Ekspresi Hana mengikuti ekspresi Dewa yang tadi menyuruhnya turun seolah mengusirnya.
"Turunlah."
"Apa-apaan itu!" Hana pun kembali ke ranjangnya yang minimalia dan membaringkan badannya. Rasa pegal bekerja seharian penuh di toko kue membuat ia sangat merasa lelah.
"Sepertinya dia memang sensitif dengan wanita. Padahal aku cantik." Hana berkomentar sedikit lagi tentang Bara sebelum ia benar-benar terbawa ke alam tak sadarnya. Hujan masih berlanjut, tentu membuat tidur Hana semakin nyaman.
Di tempat lain, Dewa memarkirkan mobilnya di sebuah halaman rumah yang sangat besar nan megah bak istana. Dilihat dari sepasang mata semua orang akan berpendapat bahwa rumah itu pasti milik seorang konglomerat atau sejenisnya.
Dewa masuk ke dalam sebuah ruangan. Ada banyak buku yang tertata rapi di setiap sudut lemari yang ada. Dewa berdiri di hadapan cermin sambil melepas dasinya. Ia menatap wajahnya yang sangat terlihat tak berekspresi. Ia memiringkan kepalanya dan menatap penuh intens pada rahangnya.
"Apa dia yang selama ini aku cari?"
Dewa berdehem cukup kuat. Mengusir pikiran yang tidak akan ia biarkan untuk bersarang dalam otaknya. Apalagi jika itu tentang wanita, Dewa adalah Pria yang membenci spesies wanita. Matanya menyipit di bawah lampu yang temaram.
"Tapi kalau itu benar dia?"
Skat! Dewa tidak bisa menghilangkan pikiran itu begitu saja. Untuk pertama kalinya ia tertarik dengan seorang wanita dengan cara yang tak ia sangka setelah sekian lamanya.
"Dia memang mirip dengannya."
Dewa menghela napasnya berat. Ia menyentuh jantungnya. Ada yang aneh kembali ia rasakan. Masih asing dengan keadaan seperti ini membuat Dewa memutuskan untuk acuh saja.
"Aku tidak harus peduli. Ini bukan aku."
Backery Shop
"Heh! Kenapa melamun!"
Hana tersentak kaget saat dirinya sibuk menatap ke luar jalanan dengan jendela kaca yang ada di tempat kerjanya. Wanita yang seusia dengannya serta mengenakan pakaian formal menyengir tanpa merasa bersalah setelah membuat Hana terkejut.
"Ah, kamu ngagetin aja." Hana beralih menatap ke Wanita itu sambil menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa kamu mampir? Mau pesan kue atau roti?" tanya Hana sekalian menawarkan jualan di tempat kerjanya. Ia bekerja di sebuah toko kue yang sudah memiliki banyak cabang dan juga terkenal.
"Ah, enggak. Cuma mau nyapa kamu. Tapi sekalian aja aku beli roti buat sarapan. Ambilin dong, yang seperti biasa, ya."
"Oke, Rin." Hana beranjak dan meninggalkan Karin, temannya untuk mengambilkan roti yang selalu Karin beli di tempat itu.
"Nih," ujar Hana yang sudah kembali setelah mengambilkan Karin sebuah roti.
"Makasih," balas Karin sambil mengambil roti dari tangan Hana dan langsung menyantap ke mulutnya dengan cepat.
"Kamu gak mau minum, gitu?" Karin menggeleng. Ia melanjutkan acara kunyah-mengunyahnya dengan santai. Ia menatap Hana kembali.
"Ada apa?" tanya Hana merasa aneh dengan tatapan Karin. Karin menghentikan sepotong rotinya yang tersisa untuk menjawab pertanyaan Hana.
"Enggak, bukan apa-apa. Semalam kamu nelfon aku, kenapa? Aku cemas soalnya kamu ditelfon balik malah gak aktif." Hana teringat insiden semalam lagi. Ia memang menelfon Karin sebelum ia pulang saat itu. Namun, mungkin saat Karin kembali menelfon ponsel Hana sudah mati.
"Ah, enggak. Aku cuma mau nanya apa bagus kalau aku cari kerjaan lain aja?"
Karin yang sudah menghabiskan rotinya membulatkan mata mendengar pernyataan Hana. "Loh, kenapa? Bukannya gaji di sini lumayan, kan?" tanya Karin.
"Iya, lumayan. Tapi jauh banget dari kost-an aku. Aku kesulitan kemarin pulang karena hujan, bus juga gak datang semalam." Hana menghela napas berat.
"Kenapa gak sewa kost-an di sekitar sini aja?" tawar Karin pada Hana yang dibalas dengan celengan kepala tanda tak setuju.
"Aku dulu berpikir begitu. Tapi ternyata mahal, Rin. Dua kali lipat dari kost-an aku sekarang."
Karin mengambil salah satu tangan Hana. "Makanya aku bilang, kamu tinggal aja di apartemen aku. Orang tua aku juga udah balik ke luar negeri, masa kamu nolak lagi?" Hana mengerutkan bibirnya. Ia tidak ingin juga menjadi beban untuk temannya yang satu ini.
"Enggak, ah." Karin berdecak kesal mendengar penolakan dari Hana untuk ke sekian kalinya.
"Ya udah, tapi kapan kamu butuh aku, tinggal nelfon aja. Ah, aku berangkat dulu ya, Han. Sampai jumpa!" Karin lekas beranjak dengan cepat. Hana tersenyum melihat punggung Karin yang kian menjauh dan hilang perlahan.
"Dia memang teman yang terbaik, sih."
Sementara di sebuah perusahaan, seseorang bersama dengan pria yang seusia dengannya nampak berbincang di lobi.
"Lo kenapa manggil gue ke sini? Mau nyuruh gue kerja di sini?"
"Gak usah ngelawak pagi-pagi, Bar."
"Iya, pak Dewa yang terhormat. Saya tidak akan bercanda lagi." Bara mengikuti nada formal Dewa yang berbicara. Benar-benar Pria yang sangat sempurna.
"Jadi, tujuanku memanggil kamu cuma mau bertanya."
Bara nampak sedikit terkejut sebelum mengijinkan Dewa kembali berbicara dengan kepala yang ia anggukkan.
"Teman kamu itu dia tinggal di mana?"
Bara memiringkan kepalanya sedikit. "Teman? Lo ada kenal sama teman gue, Dewa?" Dewa memijit kepalanya tak beralasan.
"Teman kamu yang semalam nunggu di halte." Bara membukatkan matanya tentu saja. "Kenapa lo nanya? Lo liat dia cantik?" goda Bara kemudian terkekeh untuk mengalihkan tatapan tajam dari Dewa.
"Semalam dia kuantar pulang."
"What!" Bara membekap mulutnya sendiri karena merasa mereka menjadi pusat perhatian sekarang.
"Loh, kok bisa? Bukannya lo?"
Dewa memalingkan wajahnya. Ia sendiri tidak tau alasan dirinya bertindak sejauh itu semalam. Namun, di satu sisi dia juga tidak ingin jika Bara sampai tau kejadian sebenarnya. Takut terjadi salah paham.
"Lo gak usah banyak tanya. Kemarin gue nitip HP ke dia buat jaminan kalau gue bener teman lo."
Bara masih mencerna. Semua yang Dewa katakan tidak masuk ke akalnya karena bertolak belakang dengan karakter Dewa yang ia kenal.
"Ini serius lo, Dewa?"
Dewa hanya melirik sebentar, ia kembali mengambil sebuah koran untuk ia baca. Ia masih ingin menanyakan hal yang sama pada Bara, tetapi reaksi Bara sudah ia tebak akan seperti ini.
"Lo kenapa anterin Hana pulang?" Bara mulai penasaran karena Dewa seperti biasa malah mengabaikan dirinya setelah membuat ia terkejut dengan sikap Dewa yang berubah 180 derajat.
"Gue cuma mastiin sesuatu tentang dia."
Dewa kembali melirik sebentar ke arah Bara yang menatapnya setengah mati penasaran atau bisa dikatakan kepo.
"Gue hanya lakuin itu buat keprimanusiaan."
"Eleh," bantah Bara sambil menyandarkan kembali punggungnya sambil menaikkan salah satu kakinya ke pahanya.
"Andai lo punya rasa gitu, pasti gue bakal ajak Hana naik semalem. Atau jangan-jangan---"
"Gak usah sembarang berasumsi yang tidak benar." Bara berdecak sambil terkekeh kemudian.
"Terus kenapa lo nanya tentang rumah Hana? Hayoloh! Lo ketahuan suka sama Hana!" Dewa menatap tajam pada Bara.
"Suka? Ponsel gue ketinggalan sama dia."
"Jaminan yang lo maksud tadi?" Bara nampak kecewa dengan napasnya yang berat.
"Gue kira lo udah buka hati, Wa. Masih sama ternyata." Bara memeriksa ponselnya dan mencari nomor Hana.
"Nih, catet aja nomor Hana." Bara menggeser ponselnya ke arah Dewa. Dengan sigap, Dewa mengeluarkan pena yang ia simpan di sakunya.
"Alamatnya?" tanya Dewa lagi. Kening Bara berkerut. Ia heran dengan pertanyaan Dewa baru saja.
"Loh? Bukannya lo anterin dia?" tanya Bara
"Enggak, kayaknya dia gak tinggal di perumahan itu." Dewa memijat keningnya memikirkan tadi pagi ia ke sana dan bertanya. Namun, ternyata tidak ada penghuni yang bernama Hana di perumahan itu.
"Perumahan? Hana emang gak tinggal di perumahan." Bara mengambil kertas yang Dewa simpan di depannya yang sudah ia catat nomor Hana. Ia sekalian mengisi alamat rumah Hana.
"Dia ngekost."
"Jadi dia benar tidak tinggal di perumahan itu?" Bara terkekeh.
"Hana itu gak punya siapa-siapa. Dia gak punya keluarga buat rumah segede itu."
Dewa terdiam. Ada hal yang mengganjal saat mendengar Hana tinggal sendiri.
"Oke, udah selesai, kan?" Bara berdiri. Dewa ikut berdiri dan bersalaman dengan Bara.
"Hana." Dewa tersenyum miring menyebut namanya.
***
"Hana kemarilah."
Hana yang baru saja beres-beres dipanggil oleh Bos yang ia tempati kerja. Perasaan Hana seketika tidak tenang. Jarang Bossnya datang ke tempat kerjanya apalagi ia tahu jika Bossnya juga sibuk mengurus butiknya.
"Ada apa, Bos?"
Wanita paruh baya itu membuka kacamata hitamnya. Ia tersenyum pada Hana, tetapi malah membuat Hana menjadi cemas. Seakan ada hal buruk yang akan terjadi.
"Apa aku melakukan kesalahan? Sepertinya tidak ada."
"Saya tau kamu adalah pegawai saya yang paling giat bekerja."
"Kan kan! Ada apa ini!" Hana mulai cemas sekali.
"Tapi sekarang keadaan keuangan saya sedang tidak baik-baik saja. Jadi, saya akan langsung pada intinya."
"Kamu bisa berhenti bekerja sekarang."
Hana tidak mengedipkan matanya menatap Bossnya itu. Ia tidak mengerti mengapa situasi menjadi sangat buruk seperti ini di saat dirinya juga tengah butuh uang untuk membayar uang kost-nya.
"Tapi---"
"Maaf, Hana. Saya tau kamu sangat baik. Tapi percayalah akan ada pekerjaan yang lebih baik setelah ini. Percayalah padaku. Oke, selamat tinggal."
"BOSS!"
Hana membuka mulutnya tanpa sadar. Ia bingung harus mengatakan apa pada bosnya itu agar tidak membiarkan ia berhenti bekerja.
"Padahal ini akhir bulan."
"Tunggu! Bagaimana dengan gajiku!" Hana mengusap kasar wajahnya. Ia begitu frustasi sementara pegawai lain tidak peduli dengan keadaan Hana.
"ARGHHH!"
Hana beberapa kali melempar bantalnya ke tembok melampiaskan amarahnya karena Bossnya itu.
"Dia bilang apa? Akan ada pekerjaan yang lebih baik? Dia tidak tahu apa sulit mencari pekerjaan untukku! Ah, sial!"
Sedari tadi Hana terus menggerutu di dalam kost-nya sendiri. Ia tidak tahu akan mendaftar pekerjaan di mana lagi. Hana mengatur napasnya yang memburu karena emosi.
"AHH SIAL SEKALI!"
Tok! Tok! Tok!
Hana menoleh. Suara ketokan pintu terdengar. Ia mengernyitkan keningnya. Sudah lama ia tidak memiliki tamu datang ke kost-nya.
"Karin bahkan jarang ke sini? Ah, mungkin aku salah dengar."
Tok! Tok! Tok!
"Eh? Benar dari pintu sana." Hana kembali mendengar ketukan itu benar berasal dari pintu kost-nya. Ia beranjak sambil merapikan jilbab instan yang ia kenakan.
"Siapa, ya?" Hana ragu membuka pintu.
"Apa kau ada di rumah? Ini saya. Dewa."
Mata Hana membulat sempurna.
"Dewa? Bagaimana bisa dia tau rumahku!"