Hari-hari dilalui penuh dengan perasaan yang unik antara Afwan dan Sayida.
"Kamu selalu memandangiku seperti itu dan membuat aku canggung serta bingung. Jangan membuatku malu," kata Sayida sambil menutup wajahnya.
"Aku memandangi istriku bukan memandangi orang lain aku memandangi kekasih halalku. Aku benar-benar merasakan sesuatu yang unik di dalam hati ini. Semoga Allah benar-benar menyatukan kita di dalam surga nanti. Aamiin. Kenapa canggung kamu kan istriku. Aku memandangimu Karena Allah. Semakin cinta nya suami kepada istri itu akan menambah pahala jika terus berbuat kebaikan."
Setelah sedikit merayu istrinya izin pamit untuk kerja. Dan meluangkan waktu 1 jam, untuk mengulang anak TPA, dia mengulang ilmu tajwid.
Setelah 2 jam berlalu akhirnya dia pulang. Afwan dan tiba-tiba mengecup pipi Sayyida. Sayyida hanya terdiam dan terpaku.
"Dik. Ingatkan aku jika aku menjadi pembimbing mu disaat aku hilaf disaat aku lupa disaat aku tidak sadar," kata Afwan.
"Insyaallah sama-sama kita saling mengingatkan ya." Sayyida sibuk dengan melipat baju.
"Jika air mata yang terasa asin ini keluar dengan sangat bercucuran dan tidak bisa berhenti karena takut sang kekasih kecewa terhadap dirinya dan takut kehilangan kata untuk sang kekasih?" pertanyaan itu sangat aneh bagi Sayyidah.
Sayyidah terdiam lalu duduk. "Aku tidak mengerti harus menjawab apa yang aku ingin jangan mencintai seseorang kekasih melebihi cintanya kepada Allah. Tapi Manusia tempatnya hilaf. Maka aku akan berkata jangan kau sisiku karena nafsumu. Tangisilah aku jika aku tidak bisa menjadi istri Sholihah. Serta karena Allah, karena Allah yang menciptakan pasangan kekasih, maafkan aku menjadikanmu orang ketiga dalam hubungan aku dan kekasih ku yang sudah tiada." Sayyidah sudah menjawabnya. Afwan duduk di sampingnya.
"Kau menangisi kekasihmu yang telah tiada yang bernama Arif." Mendengar itu mata Sayyida langsung berkaca-kaca.
"Aku aku memang pernah menyerah dalam menjalani kehidupan. Hik hik hiks. Dan itu sangat mengerikan bahkan menyedihkan. Aku sangat buruk, Aku pernah terpuruk hingga aku tidak bersyukur akan adanya hidup. Hatiku ini sangat buruk dan jelek. Sebenarnya terkadang aku merasa tidak pantas, ketika kamu bersedia menikahiku. Aku pernah benci kepada takdir saat itu aku merasa menjadi makhluk yang paling buruk. Astagfirullah. Semoga Allah mengampuniku di saat itu aku tersadar bahwa semua ada hikmahnya, namun ketika mataku mencucurkan air mata karena mengenang kekasih berkatalah temanku. Kecintaanmu keterlaluan hingga membuatmu tersiksa, ingat Allah menciptakan Imam untuk wanita yang diciptakan sebagai makmumnya untuk menempuh hidup yang bahagia di dunia akhirat. Katanya sangat membuatku merasa hidup." Sayyida diam sejenak untuk memejamkan mata. Benar saja air matanya berlinang dengan mudah.
"Walaupun aku menginginkan kekasihku akan menjadi Imamku di akhirat."
"Semoga keikhlasanmu dengan melepaskannya kamu akan bersamanya di akhirat nanti Aamiin-aamiin." Walau berat dan sakit Afwan malah mendoakan seperti itu kepada Sayyida. Afwan mengulurkan tangannya untuk istrinya.
Sayyidah menerima uluran tangan dari sang suami Mereka pun masuk rumah dengan bergandengan tangan. Saat itu Sayyidah benar-benar menatap suaminya dengan seksama. Afwan diam tanpa kata.
'Aku menerima semuanya. Aku merasakan kesedihan dari matamu yang membuat aku merasa ikhlas. Jika nantinya di akhirat kita tidak akan bersama. Ya Allah Ya Rohman Ya Rohim. Engkau maha segala-galanya Aku ingin bisa mengikhlaskan nya menjadi milik orang lain yang sangat ia cintai di akhirat nanti. Semoga Engkau mengabulkan harapanku. Aamiin. Namun mengapa harapanku adalah dia bidadari tercantik yang menghiasi hati di Surga ku nanti. Wallahualam. Hanya Engkau yang mengetahui aku akan masuk surga atau tidak. Lindungi hatiku kuatkan hatiku jangan sedih kan hatiku ya Rob. Jangan bersedih lagi Afwan. Jangan menunjukkan kesedihanmu,' kata Afwan dalam hati.
Afwan melepaskan gandengannya kepada sang istri.
***
Setelah dua minggu Afwan sama sekali tidak pernah menyentuh istrinya. Mereka hanya sebatas status suami istri namun ikatan belum terjalin sempurna.
Sayyida tidak pernah menduga jika suaminya akan tetap biasa saja. Karena Sayyida sama sekali tidak memberikan hak kepada Afwan.
Afwan bisa bersikap biasa saja dan sewajarnya saja. Hingga waktu terus berganti dengan sesingkat mungkin 6 bulan telah menjadi kemarin. Dan bulan ini ibu Afwan sering berkata, "Ini sudah 6 bulan lho. Mana cucu buat Ibu ... Ibu sangat ingin sekali menimang cucu." Ibu Afwan sangat berharap jika saya tidak bisa segera hamil.
Bagaimana bisa hamil, jika Afwan sama sekali tidak pernah menyentuh Sayyida.
"Ibu sabar saja. Jika Allah belum memberikan bagaimana lagi yang penting kan sudah ikhtiar. Doakan semoga sebentar lagi. Sayyida bisa hamil." Afwan berusaha sekeras mungkin.
Afwan berusaha sekeras mungkin agar ibunya tidak meminta sesuatu yang belum bisa dia kabulkan.
Sayyidah benar-benar merasa tidak enak dan tidak nyaman dengan pernikahannya. Afwan terlihat mengeluarkan nafas berat kemudian memijat kepalanya.
"Aku benar-benar minta maaf." Sayyidah terlihat sangat menyesal namun dia tidak berani menawarkan dirinya.
"Tidak masalah jangan terlalu dipikirkan. Nanti juga Ibu lupa," jawab Afwan berusaha santai walau dadanya terasa sesak. Sayyidah tersenyum.
"Terima kasih kamu masih bersedia sabar. Maafkan aku yang terus seperti ini, Aku sadar, aku akan sangat berdosa dan dosaku itu sangat besar."
"Semoga Allah mengampuni. Dan terima kasih sudah menyiapkan makanan setiap hari. Terima kasih juga sudah menyiapkan baju-bajuku setiap hari. Itu sudah menjadi ibadah untukmu." Perkataan Afwan sebelum pergi jelas-jelas menyentuh hati Sayyidah.
Klap.
Lampu padam dan refleks Sayyidah berpegang erat kepada tangan Afwan. Tiba-tiba napas Saidah terdengar kesesakan.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Afwan kepada Sayyidah karena sadah sangat mencemaskan istrinya.
"Heh ... heh ... huft ...."
Mendengar itu Afwan sangat panik dan cemas Dia segera mengambil ponselnya dan segera menyalakan lampu senternya. Afwan segera mengambil segelas air untuk istrinya.
Sayyidah tetap memegang erat tangan Afwan. "Jika kamu takut aku akan menemanimu," kata Afwan kepada Sayyida.
"Jangan dilepaskan peganganku. Aku sangat takut," ujar Sayyidah keduanya pun berjalan memasuki kamar dengan cahaya senter ponsel.
Malam itu sangat menarik. Karena sangat gelap dan lampu padam. Akhirnya Afwan dan Sayyidah tidur bersama di dalam satu ranjang. Jujur saja perasaan Afwan sudah tidak terkendali lagi dengan ikhwan nya.
Dia berusaha meredam keinginannya. Sebisa mungkin dia tidak ingin bukan itu sebelum benar-benar Mencintainya. Izin berusaha memejamkan mata agar dia melupakan keinginannya. Namun tiba-tiba angin kencang menerpa. Malam yang semakin dingin kemudian hujan yang cukup deras. Tidak memungkinkan lagi keadaan itu bisa ditahan oleh Afwan.
Ingin memeluk dan mendekap namun dia di penuhi rasa yang tidak karuan. Hujan yang sangat deras dengan suara petir membuat Sayyida memeluknya.
"Aku ... tidak bisa berkata apapun. Sayyida apa aku boleh melakukannya sekarang? Apa aku boleh meminta hakku?" tanya Afwan. Dengan cahaya remang-remang. Sayyida mengangguk setuju.