Chereads / Menikah dengan Om Genit di Masa Depan / Chapter 22 - Hanya teman

Chapter 22 - Hanya teman

"Mikaela?" tanya Mila yang asing dengan nama yang disebutkan oleh Genta tersebut.

"Anakku," ujar Genta singkat.

Mila menutup mulutnya beberapa saat. Senyum bahagia terpancar di wajah perempuan itu kemudian. "Kamu sudah memiliki bayi? Akhirnya seorang Genta memiliki bayi. Tante pasti senang banget." Mengingat salah satu alasan nyonya Hirawan genjar menjodohkan mereka berdua di masa lalu agar Genta memiliki penerus.

"hm …" laki-laki Genta bergumam pendek.

"Umur berapa?" tanya Mila lagi.

"bulan ini enam bulan."

Mila mengangguk-anggukkan kepalanya. "Berarti sedang menikmati proses waktu menjadi orang tua baru hm?"

"Begitulah!"

Mila tersenyum. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana senangnya tante saat mendengarkan kelahiran tersebut."

"Kamu?" tanya Genta pada akhirnya bertanya. Meski singkat tapi Mila senang Genta menanyakan kabarnya juga pada akhirnya.

"Kau tahu aku lebih dulu menikah dibandingkan dengan kamu. Dia laki-laki, namanya Kala, Sakala." Pasti gabungan dari kata Saka dan Mila. Nama kedua orang tua dari anak itu. Mila tersenyum bersiap melanjutkan lagi ucapannya. "Sedang aktif-aktifnya dan suka bereksperimen macam-macam. Tapi sepertinya dia tidak tertarik menekuni dunia seni seperti kedua orang tuanya." Mila menjelaskan.

Genta menganggukkan kepalanya mendengarkan penjelasan itu. Mila menarik nafasnya. "Senang ya kita punya kehidupan masing-masing sekarang. Aku pikir kamu benar tidak akan menikah selamanya. Tidak tahu ternyata kamu berhasil menikahi pujaan hati kamu."

Genta tersenyum. Tipis sekali. Entah apa resep Kania sampai kutub utara itu bisa tersenyum lebar kalau di dekat isterinya. Tidak lama mereka berbincang karena Mila harus menjemput anaknya yang sudah dia masukkan pada sekolah bermain itu. Genta juga kembali ke kantornya setelah itu.

Sementara itu, di tempat lain Kania tengah menyusuri rak kebutuhan sehari-hari di salah satu pusat perbelanjaan. Memang stok mingguan sudah menipis. Bersama dengan bibi juga sebenarnya. Tapi perempuan paruh baya itu ke bagian daging dan makanan. Sementara kania lebih memilih barang-barang kebutuhan lainnya sepertinya peralatan mandi, popok untuk Mikaela, dan lain sebagainya. Mikaela berada dalam gendongannya sambil mendorong troli.

"Udah semua bi?" tanya Kania pada Bibi ketika perempuan paruh baya itu menghampirinya tentu saja dengan troli yang sudah penuh.

"Sudah, non!" bibi menganggukkan kepalanya. "Non Kania masih punya daftar belanja yang belum ketemu?" tanya Bibi balik padanya.

Kania menggelengkan kepalanya. "Enggak kok, bi. Udah selesai semua kok!"

"Ya udah, Yuk! Bayar sekarang." Kania mendorong troli belanjaan menuju kasir begitu juga dengan bibi. Sesekali Kania menoel pipi anaknya yang gembul dalam gendongannya tersebut.

"Sekalian dengan minuman saya, Mbak!" Seseorang dibelakang Kania menyerobot antrian kemudian memberikan kartunya pada petugas kasir.

"Abi," ujar Kania.

Pria itu tersenyum. "Hai, tuan puteri." Tentu saja Abi tidak menyapa Kania dengan sebutan tuan puteri itu. Melainkan menyapa Mikeala yang sudah resah. Dia sudah ingin tidur atau minimal minum susu. Tapi ibunya masih mendekam di pusat perbelanjaan bersama dengannya.

"Belanjaannya dihitung gabung, Mas?" tanya petugas.

"Ya, mbak. Sekalian!" ujar Abi.

"Bi, biar gue yang bayar sendiri!" ujar Kania tidak enak hati pada laki-laki itu.

"Udahlah! Lo kayak sama orang lain aja."

"Bukan kayak gitu. Gue enggak mau om Genta naik pitam gara-gara tersinggung. Tahu tuh, dia sensian sama lo entah kenapa." ujar Kania. Bukan apa-apa. dia sedang malas berdebat panjang dengan Genta sementara hubungan mereka berdua sedang baik-baik saja saat ini.

Abi menarik nafasnya. "Okeh! Nanti lo ganti aja dengan traktir gue gimana? Cukup?!"

Kania menghembuskan nafasnya. "Okeh!"

Mereka kemudian keluar dari pusat berbelanjaan itu. Tentu saja dengan Abi yang menenteng plastik belanja wanita itu beberapa. Menyisakan bibi yang ringan saja. sementara Kania, Abi mengerti dia sudah cukup kerepotan membawa Mikaela.

"Pulang sama gue aja!"

"Bi!" sekali lagi Kania memberikan protes tidak sukanya dengan tingkah laki-laki itu.

"Suami lo larang kita dekat?" tebak Abi kemudian membuat Kania berdehem.

"Iya. Masa sih lo masih nanya? Katanya udah tahu gimana tabiatnya Om genta." Kania langsung mengakui begitu saja tanpa ada satupun yang disembunyikannya.

Abi menyibakkan rambutnya. "Gue nawarin pulang karena kita teman Kania. Lagipula gue kasihan sama anak lo. Kayaknya dia udah ngantuk tuh! Gue enggak akan masuk rumah. Janji hanya buat ngantar lo pulang doang. Nunggu Mamang berapa lama memangnya hah?"

Kania terdiam beberapa saat mempertimbangkan ucapan Abi. Dia melirik bibi dan wanita itu menganggukkan kepalanya. Kania menarik nafasnya. "Oke deh,"

Abi juga menghembuskan nafasnya setelah itu. Menuntun Kania dan bibi ke baseman tempat dia memakirkan mobilnya. Abi menepati janjinya, pria itu tidak singgah. Namun sebelum pulang Abi berpesan. "Kania, Lo kalau butuh apapun jangan pernah sungkan-sungkan telepon gue!"

Kania menganggukkan kepalanya. "Pasti," jawab perempuan itu tanpa menolak. Dia melambaikan tangannya pada Abi.

"Non, apa ndak apa-apa Non Kania dekat dengan Mas Abi?" bibi yang sedari tadi diam memperhatikan dua teman itu akhirnya membuka suaranya.

Kania yang menyusui Mikaela dengan botol itu memutar bola matanya. "Bi, ayolah! Bibi lihat sendiri aku dan Abi enggak ngapa-ngapain tadi."

"Bukan gitu non, tapi …"

Kania meletakkan lima jari dihadapan wajah Bibi. Ia bermaksud membuat wanita yang merawatnya dari kecil itu diam. "Bibi enggak usah cerewet kayak Om genta. Emangnya aku dan Abi tadi genit-genitan apa? enggakkan? Ayolah! Jaman udah berubah. pria dan wanita sah-sah aja berteman." Kania membantah dengan keras kepala.

Bibi menarik nafasnya. Tidak berkata apa-apa lagi. lagipula dia tahu nona mudanya itu sedang berada dalam kondisi yang tidak baik. bibi juga tidak ingin melihat Kania mengalami kondisi seperti seminggu yang lalu.

***

Kania mengerang ketika ada seseorang laki-laki yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan suami tersayang. "Om, kalau Mikaela terlempar dari tangan aku gimana?" geram perempuan itu yang sedang menimang anaknya menikmati matahari sore.

"Maaf," ujar Genta cengengesan. Sekarang laki-laki itu malah mencuri lumatan kecil pada isterinya. Kania menggeram lagi, dia benar-benar ingin memukul Genta rasanya. Sayangnya, tangannya sedang penuh keduanya menopang tubuh Mikaela, mengajarkan bayi itu untuk belajar duduk.

"Jangan marah terus Mommy, Saya punya sesuatu," ujar Genta memberikan tas belanja pada isterinya tersebut.

Kania mengerutkan keningnya. Milirik dari kotak tas belanja itu dia sudah tahu apa isi di dalamnya. Genta menganggukkan kepalanya merebut Mikaela agar Kania bisa menggeledah isinya dengan benar. Perempuan itu benar-benar menjatuhkan rahangnya.

"Om …" ujar Kania.

"Kamu suka?" tanya Genta.

Kania langsung menganggukkan kepalanya. Membuka kalung dari Genta itu kemudian mencoba memasangnya di leher wanita itu. Ia kemudian mengambil ponselnya mencoba untuk berkaca kemudian terkagum sendiri.

"Benaran buat aku?"

Genta menganggukkan kepalanya membuat Kania akhirnya bersorak. "Huraa! Makasi Om!" ujar perempuan itu.