Kania mengerutkan keningnya. "Kok ngomong gitu sih?" tanya Kania.
"Saya enggak mau membuat kamu terbebani lagi," ujar Genta menyentil perih pada suatu titik di hati Kania.
"Kan sikap genit Om doang yang bikin Kania risih. Selebihnya kan enggak," ucap perempuan itu.
Genta menatap isterinya tersebut. "Benar tidak apa-apa? Saya takut lihat kamu menangis lagi."
Kania menganggukkan kepalanya. "Enggak apa-apa," ujar perempuan itu. Perempuan itu bahkan dengan santai merangkulkan tangannya tanpa Genta tanpa malu. Walaupun banyak yang menilik mereka dengan seidkit bisik-bisik. Ia pernah katakan, ia tidak peduli dengan hal tersebut.
Kania memang aneh. Perempuan itu terlalu labil. Semalam dia menolak Genta dengan mati-matian. Di siang harinya dia yang malah gencar menggoda Genta. Itu kan cobaan yang berat untuk suaminya. Tidak tahu saja Kania bagaimana Genta sedari tadi berusaha keras untuk menahan.
"Om …" Kania berbisik di tengah adegan film.
Kania menoleh pada isterinya tersebut. "Hm?" tanya Genta sambil menatapnya.
"Kalau ternyata Kania lebih butuh banyak waktu untuk siap menjadi isteri Om, gimana?" tanya perempuan itu. entah karena Kania yang terpesona dengan adegan yang terpampang di layar kaca atau karena dia memang tiba-tiba memikirkan perasaan suaminya.
"Sulit memang, tapi lebih baik dari pada saya harus melihat air mata kamu lagi," ujar Genta jujur apa adanya.
Kania menatap Genta sebentar. Laki-laki empat puluh tahunan lebih itu memang mencintai Kania dengan tulus. Harusnya dia tidak berkata kejam seperti itu pada Genta samalam. Sekarang luka itu menyisakan sedikit perasaan penyesalan dalam diri Genta.
Kalau dipikir-pikir Genta lebih banyak mengalah dibandingkan dengan dirinya. Kania egois sekali semalam memaki laki-laki itu dengan perkataan segala macam. Pria itu sabar sekali menghadapinya tapi Kania, perempuan itu sangat kejam. Parahnya dia merasa dirinya sendiri yang paling tertekan. Tapi Genta pasti jauh lagi dari itu.
Bayangkan! Saat isteri yang kau cintai tiba-tiba risih di dekat kamu. Kania tidak dapat membayangkan perihnya seperti apa.
Kania menyusupkan tangannya pada lengan Genta kemudian menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu. "Maafin Kania, Om," ujar perempuan itu dalam hatinya. Dia gengsi jika mengatakannya secara langsung pada Genta. Setelahnya Kania memfokuskan pandangannya menatap layar film.
Gagah, perhatian, mapan, semua kategori mendapatkan pria impian ada dalam diri Genta. Satu-satunya hal yang sedikit kurang dari itu hanyalah perbedaan usia mereka yang cukup jauh. Hal sebenarnya yang tidak terlalu krusial untuk jadi permasalahan besar. Wajar mungkin jika Kania memiliki kecemburuan yang sedikit besar pada suaminya itu. Bukan karena perasaan ketidakpercayaan terhadap pasangan. Lebih kepada perasaan insecure pada diri sendiri.
Kania takut Genta menemukan kenyamanan lain dengan kategori yang lebih sempurna untuk Genta. Bukan remaja labil seperti dirinya. Fenomena ini sama halnya dengan yang Genta rasakan terhadap Abi. Takut suatu saat Kania melihat seseorang yang lebih sempurna dibandingkan dengan suaminya.
Kania reflek menutup matanya dengan telapak tangan ketika adegan ciuman yang terpampang pada layar besar itu. Namanya juga film drama romantis. Pasti scene-scene dengan kontak fisik seperti itu tidak dapat dihindarkannya. Genta yang melihat isterinya yang bertingkah seperti itu mengulum senyumnya.
"Makanya anak tujuh belas tahun tidak seharusnya menonton film dengan rate dewasa," bisik Genta menertawakan sikap menggemaskan dari isterinya tersebut.
Kania menoleh sebentar pada Genta. "Kan di KTP Kania udah dewasa, Om. Enggak melanggar aturan."
Genta mencibir. Kania memanfaatkan perjalanan waktunya. "Kamu curang,"
"Biarin, wlek!" ujar Kania balas menjulurkan lidahnya.
Genta menyerngitkan hidungnya. "Kalau gitu kamu perhatikan layar dong! Kayak kamu belum pernah seperti itu saja."
Kania memajukan bibirnya bersungut-snugut. Dia menurunkan tangannya. "Kan baru satu kali Kania alami, Om." Genta hanya bisa tersenyum sambil mengacak-acak rambut pasangannya tersebut. Ada-ada saja tingkah Kania yang mampu membuat Genta tersenyum lebar.
Adegan yang terpampang pada layar semakin panas. Kania sepertinya salah memilih film. Terlebih lagi dengan Genta yang sisi perempuan itu. Punggung tangan Genta yang memiliki urat-urat menonjol entah kenapa membuat Kania berliur. Dia masih ingat bagaimana rasanya.
Oh! Ada apa dengan Kania hari ini. Sedari pagi dia terus disusupi dengan pemikiran-pemikiran kacau perihal Genta. Banyak sekali perempuan itu berliurnya. Mulai dari menatap tubuh atas Genta pagi tadi sampai melihat urat-urat yang menonjol pada punggung tangan Genta. Apa karena perempuan itu akan mendekati fase bulanannya? Kania tidak tahu pastinya. Dia tidak pernah mengalaminya sebelumnya yang seperti ini.
"Om, Kania mau lagi," ujar perempuan itu yang membuat Genta mengerutkan keningnya.
"Mau apa? hot coklat? Milik saya kopi, sayang. Kamu tahu betul kita tidak memesan minuman yang sama."
Kania menggelengkan kepalanya. "Bukan mau yang itu, Om!" bisiknya.
"Lalu? pop corn?" Genta melirik pop corn isterinya yang masih ada.
Kania menggelengkan kepalanya lagi. "Bukan itu juga."
"Lalu apa sayang?" tanya Genta benar-benar tidak mengerti.
Kania makin gelisah. "Aku tiba-tiba kepengen 'permennya' Om lagi." Wajah Kania benar-benar merah saat mengatakannya. Perempuan itu menunduk saking tidak beraninya menatap wajah Genta. Degup jantungnya tidak karuan.
Mata Genta spontan melotot. Laki-laki itu butuh waktu beberapa saat untuk benar-benar mencerna perkataan isterinya. "Permen?" tanya Genta memastikan. Ia tidak ingin salah paham lagi terhadap Kania yang membuatnya lengah tanpa sadar menyakiti isterinya itu.
Kania menganggukkan kepalanya.
"Ehm, sayang …" Genta berdehem sendiri. "Kamu yakin?"
"Tapi kita tetap tidak satu kamar dulu." Kania berkata hal lain setelahnya membuat Genta mengerutkan keningnya.
"Maksudnya?"
Perempuan itu memainkan tangan Genta yang jauh sekali perbedaannya dengan tangan mungilnya. "Aku masih kurang nyaman dengan kita yang bertindak seperti suami isteri, tapi aku pengen coba kayak teman-temanku yang lain. Kayak aku pacaran, tapi jalur legal. Kapan lagikan? Teman-teman aku udah banyak yang melewati pergaulan bebas seperti itu. mereka juga udah pergi ke club. Aku belum sama sekali."
Genta menarik nafasnya. "Tapi akan membuat kamu terlihat buruk sayang. Seolah-olah saya hanya menginginkan kenikmatan itu dengan kamu."
"Tapi aku sekarang memang itu hanya aku inginkan dari Om. Aku belum bisa membuat kita seperti suami isteri sungguhan. Apalagi cinta seperti yang Om lihat dari aku dalam lima tahun ini." Kania berkata realistis.
Genta berdehem. "Sial sayang, kamu membuat saya ingin film ini segera berakhir."
Kania berdecak tipis. "Dasar genit!"
"Kamu yang memancing saya duluan," ujar Genta memelas.
"Iya …" ujar Kania. "Mau keluar sekarang?" tanya Kania lagi membuat Genta terkejut untuk kesekian kalinya.
"Sayang, kamu yakin tidak ingin tahu endingnya."
"Aku tertarik dengan akhir cerita yang lain," jawab Kania dengan wajah memerah lagi. Genta tidak bisa untuk tidak menahan senyumnya. Oh! Kania akui sekali dia benar-benar labil.
***