Genta tertawa kecil. "Kalau begitu bisakah saya mendapatkan hadiah?" ujar Genta menunduk sambil menyodorkan pipinya.
Ekspresi Kania langsung berubah. "Dasar pamrih."
"Bukan begitu, Ka'. Tapi memang tidak ada yang gratis di dunia ini."
Kania medengus. "ish!" ujarnya protes pada suaminya. "Papa kamu enggak pernah ikhlas," ujarnya pada puteri semata wayangnya. Tapi Kania pada akhirnya menuruti keinginan Genta mengecup pipi pria itu dengan perasaan setengah hati.
Genta tertawa kecil. Kania kemudian beralih lagi pada kalung yang diberikan oleh Genta untuknya. Mencoba memasangnya sendiri. Kemudian mengambil ponselnya guna melihat kamera yang difungsikannya sebagai cermin. Memastikan seberapa cocoknya dia menggunakan perhiasan mewah tersebut.
"Kamu suka?" tanya Genta memastikan sekali lagi pada isterinya.
Kania menganggukkan kepalanya. "Ehm, aku suka!" senyum lebar wajah perempuan itu juga terbit membuat Genta berdecak puas. Dia senang jika Kania puas dengan pilihannya.
"Sayang, kamu ingin papa belikan juga hm?" tanya Genta pada puteri semata wayangnya tersebut.
"A, Pa, Pa!" hanya itu yang dia katakan tanpa bisa mengucapakan kata lebih. Entah dia juga menginginkannya atau tidak. Tapi dia menggapai Genta untuk menciumi wajah ayahnya tersebut.
Kania melirik katalog dan undangan pameran yang juga terdapat dalam kotak tersebut. perempuan itu mengerutkan keningnya. "Memangnya dikasih hadiah undangan pameran kalau beli perhiasan yang Om?" tanya Kania membuat perhatian Genta teralih sebentar. Oh, dia melupakan benda itu.
"Tadi Aku ketemu Mila. Dia memberikannya."
Kania mengerutkan keningnya. "Mila mantan tunangan Om tersebut?" tanyanya dengan ekspresi yang berubah.
"Perlu saya ralat sayang. Saya dan Mila tidak pernah tunangan. Kami hanya pernah terlibat rencana perjodohan mama itu saja."
Wajah Kania berubah masam. "Sama saja," ujar perempuan itu.
Genta menaikkan alisnya memperhatikan ekspresi sang isteri. "Kamu cemburu?" tanya Genta.
Kania menyemburkan tawa berlebihannya. "Aku cemburu?? Om ngaco deh!" ujar Kania tertawa lagi padahal tidak ada yang lucu. "Ngapain coba?! Lagian aku tadi juga belanja mingguan dengan Abi." Kania masuk ke dalam rumah setelah mengatakan hal tersebut membuat Genta melototkan matanya. Dia berharap dia tidak salah dengar.
Genta menatap anaknya. "Benar mama tadi belanja bareng Om Abi?" tanya Genta. Tapi apa yang bisa dikatakan bocah kecil itu. Ia hanya tertarik pada dasi Genta. Memilinnya dengan cari mungilnya lantas menumpahkan liurnya disana.
Genta kemudian beralih pada bibi yang berada tidak jauh dari sana. "Bi, saya tahu bibi mendengar kami."
Wanita paruh baya itu tergugu sebentar. Merasa tidak enak hati. Dia tidak bermaksud menguping. Dia hanya tidak sengaja mendengar ketika dia mengepel rumah. "Tidak sepenuhnya seperti itu kejadiannya, Pak. Mas Abi bertemu tidak sengaja dengan Non Kania. Tapi beliau sudah menolak sebisa mungkin untuk diantar pulang."
"Diantar pulang?" balas Genta terkejut.
Bibi menganggukkan kepalanya. "Hanya karena Non Mika mengantuk. Kalau telepon mamang untuk jemput dulu, lama Mas."
"Mika juga dibawa."
"Sama saya juga Non Kania belanjanya. Sama sekali tidak ada Mas Abi Mas. baru saat kami menuju kasir."
Genta menganggukkan kepalanya setelahnya. Pria itu menarik bibirnya tipis. "Mama tidak mau mengaku kalau cemburu, gengsian sekali bukan?" ujar Genta berbisa pada anaknya.
"a," tanggap Mikaela entah apa maksudnya. Entah dia mengerti maksud ayahnya atau bukan.
Genta memilih membaringkan Mika di karpet yang tidak jauh dari living room. Bukannya Genta tidak mau membujuk Kania yang sedang cemburu. Tapi perempuan itu sama halnya dengan perempuan yang berhibernasi dalam kondisi sekarang. Diganggu sedikit saja bisa-bisa Genta diserang. Lebih baik nanti saja, menunggu Kania sedikit lebih tenang.
***
Genta menutup laptopnya kemudian berjalan memasuki ke dalam kamarnya. Bertepatan dengan hal itu Kania juga membaringkan Mikaela ke dalam boxnya. Genta jarang membawa pekerjaan pulang. Hari ini dia sengaja mengulur waktu. Kania hanya melirik Genta sebentar kemudian mengabaikan laki-laki itu dengan cara memasuki selimut sambil menunggunginya.
Genta melihat bantal dan selimut yang tergeletak tidak jauh dari sofa yang berada di dalam kamar itu. Mengisyaratkan bahwa Kania tidak ingin tidur dengannya malam ini. Genta mengusap wajahnya. Mengingatkan dirinya bahwa Kania begitu muda. Perempuan itu lebih mudah marah dibandingkan dengan dirinya. Genta yang lebih dewasa. Apalagi Kania yang ada bukanlah Kania dengan jarak usia dua puluh lima tahun dengannya. Melainkan Kania dengan jarak usia tiga puluh tahun. Gadis itu masih remaja dengan emosinya yang blak-blakan.
"Sayang, saya tidak marah kamu pergi dengan Abi siang tadi. Saya sudah dengar semua penjelasannya dari bibi. Hanya saja ke depannya, bisakah kamu melibatkan saya untuk berbelanja mingguan seperti itu. Saya tidak masalah untuk direpotkan. Sungguh, ini bukan karena Abi saja." Genta memberanikan dirinya berbicara pada isterinya.
Kania diam, tanpa bergeming sedikitpun tapi Genta yakin isterinya tersebut mendengar. "Soal Mila. Kamu tidak perlu cemburu dengannya."
"Aku tidak cemburu!" bantah Kania cepat kendatipun dia belum berbalik menatap Genta.
Genta menarik nafas kemudian menghembuskannya. "Baiklah! Kamu tidak cemburu. Tapi saya ingin mengucapkan kata maaf sama kamu. Tadi saya tidak sengaja ketemu Mila. Dia mengajak saya berbincang sebentar. Kami hanya minum sebentar di café terdekat tanpa membahas hal yang aneh-aneh. Saya tidak sempat menolak Mila. Kamu tahu benar bagaimana dia."
Genta mengusap wajahnya. "Kamu harus percaya kalau saya sebenarnya saya nyaris melupakan soal Mila. Saya benar-benar tidak ingat lagi perempuan itu jika dia tidak mengungkit-ungkit soal perjodohan. Sungguh!"
Kania masih tidak bergeming. "Sayang, sungguh tidak ada pembahasan aneh-aneh yang kami lakukan. Hanya bertanya seputar kabar dan kondisi sekarang. Basa-basi biasa. Kamu juga tahu bukan kalau saya tidak pernah menanggapi lebih perempuan manapun. Saya hanya menanyakan keadaan dia satu kali sebagai basa basi. Itu saja. Dia juga menanyakan keadaan kamu, ikut senang dengan hubungan kamu dan saya."
"Aku percaya," ujar Kania tanpa berbalik. Pertanda perempuan itu masih marah. "Om tidurlah! Aku juga ingin tidur, besok aku akan makan siang dengan Abi. Menepati janji untuk mengembalikan uang Abi yang dibayarkan untuk belanjaku siang tadi."
"Sayang … saya benar-benar mohon sama kamu untuk membatasi hubungan kamu dengan Abi. Saya benar-benar takut kehilangan kamu." Genta memelas.
"Kenapa aku tidak boleh?!!" kali ini Kania bangkit menantang mata suaminya tersebut. nafas perempuan itu memburu pertanda amarah. Mata Kania berkaca-kaca siap menangis. Dia benci berada dalam kondisi yang seperti itu.
"Abi mencintai kamu, sayang." Raut Genta sendu meminta pengertian.
"Tante Mila itu juga mencintai Om. Setidaknya pernah mengharapkan Om." Kania membalas yang membuat Genta terdiam. Kania sekarang menangkupkan telapak tanganya pada wajah. Bahu perempuan itu bergetar pertanda dia menangis. "Aku kecewa sama Om!" ujar Kania.