Keturunan Terakhir Konglomerat
"Kau harus menikah dan segera mendapatkan keturunan, nenek ini sudah tua! Kau menunggu apa lagi?"
Seorang wanita baya menatap tajam ke arah sang cucu yang masih dengan santainya duduk seraya acuh tak acuh. Pria yang usianya sudah cukup matang untuk mengarungi bahtera pernikahan itu, seolah enggan menanggapi ocehan sang nenek yang menjadi pelindungnya semenjak dia kehilangan kedua orang tua.
"Ha ha ha ha ...." Alih-alih menjawab, pria muda itu justru tertawa dengan nada yang menggelikan.
"Tan!" sentak si nenek dengan wajah yang mulai memerah.
"Tenanglah, Nyonya Wang, diriku masih muda, masih memiliki banyak waktu untuk itu, haha ... hahaha ...." dalihnya seraya tertawa lagi.
Lantas, Tan mengerlingkan sebelah mata untuk menggoda neneknya. Wang benar-benar dibuat kesal, setiap kali Tan diingatkan tentang pernikahan selalu saja berakhir sama. Pria muda yang masih menjadi keturunan terakhir keluarga Kim ini memang sangat sulit diatur.
"Hei, anak muda, bukankah kau tahu sendiri mereka akan mencari celah dan mencari kelemahan untuk menyingkirkanmu dari posisi presdir di perusahaan K company?" Wang berusaha mengingatkan cucunya dengan para petinggi yang kapan saja bisa merebut posisinya.
"Ha ha ha ... ha ha ha ...." Setelah tawa renyah itu kembali terlontar tatapan Tan berubah menjadi tak tentu arah.
"Berhentilah tertawa, anak nakal!" bentak Wang.
Bola mata Tan berputar, lantas menatap Wang lekat. Kini, kedua pasang mata itu bertumpu dalam fokus yang sama. Cukup lama dia bertahan dengan hal itu.
"Hm hm hm, ha ha ha ...." Tawa itu kembali memecah kesunyian.
Wang sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan cucunya, pria muda yang tak pernah mendengarkan perkataannya dan begitu bebal itu. Sejurus kemudian Wang meraih bantal yang ada di sofa. Dia mencoba mengarahkan itu ke Tan dan berniat melemparkannya.
"Sekertaris Sham, kabuuur!" teriak Tan seraya beringsut dari duduk dan lari meninggalkan sang nenek.
Pria berkacamata yang selalu setia mendampinginya pun lantas ikut lari terbirit, dia tidak ingin menjadi sasaran kekesalan Wang.
"Kim Tan, jangan lupakan pertemuan keluarga besok! Awas saja jika kau mangkir lagi!" kecam Wang, seraya melemparkan bantal tadi.
Akhirnya kedua pria itu pun selamat dari amukan Wang. Hal ini bukan pertama kali terjadi, tetapi setiap tahun berganti pasti saja drama yang sama terulang. Tan masih saja tertawa renyah yang terdengar mengerikan itu. Dia melambatkan ritme langkahnya setelah sampai di halaman rumah.
Sham yang menyusul Tan hampir kehabisan napasnya, seraya terengah-engah, dia pun bertanya, "Presdir, bagaimana ini?"
"Astaga, sudahlah jangan ikut-ikutan cerewet seperti Nyonya Wang!" sahut Tan, seraya menoleh ke arah Sham.
"Tapi tetap saja kolega dan kerabat pasti sibuk untuk mencari tahu tentang pernikahanmu," jawab Sham.
"Biarkan saja mereka," tepis Tan dengan entengnya.
"Mereka akan berusaha membuat alasan dan menyingkirkanmu, bagaimana kau bisa setenang itu? Presdiiir." Sham merengek seraya menghentakkan kaki.
Seperti biasa Tan hanya menimpalinya dengan tawa renyah. Kemudian melanjutkan langkah untuk menuju kantor.
"Aish," desis Sham, kemudian tanpa pikir lagi dia menyusul sang majikan.
Begitulah kisah Tan si keturunan terakhir dari keluarga Kim yang digadang-gadang sebagai keluarga terkaya pemilik perusahan terbesar di Jakarta untuk saat ini. K company memang menjadi raja dan memimpin dalam bursa laba untuk beberapa tahun terakhir.
Terlebih lagi dengan hadirnya Tan sebagai presiden direktur atau yang lebih dikenal sebagai CEO, dia datang membawa perubahan yang signifikan dan udara segar, hingga membuat K Company semakin melejit.
***
Suasana di kantor cukup ricuh dan ramai, para staf masih bercengkerama dengan rekan kerja membahas hal di luar pekerjaan. Terkecuali gadis berparas manis yang mengenakan jas laboratorium di meja pojok, dia begitu saksama membaca sebuah dokumen tentang produk-produk baru yang akan dirilis perusahaannya.
Dia tak terganggu sedikit pun dengan kericuhan yang terjadi di dalam ruangan tersebut.
"Eh, eh, katanya presdir datang loh hari ini." Seorang rekan mencoba mengganggu konsentrasinya.
"Katanya dia sangat tampan," ucapnya lagi.
Gadis itu masih bergeming, tak terusik sedikit pun. Memang begitulah dia, saat otaknya bekerja, tak ada yang mampu membuyarkan konsentrasinya, sekalipun ledakan bom molotop di sampingnya.
"Iih, Amy, gak asyik, ih!" keluh si rekan, yang menyadari diri tak diacuhkan.
"Ini jam kerja, Nanda. Kita harus profesional," sahutnya dengan tatapan masih fokus pada berkas di meja.
Nanda berkomat-kamit mengikuti gerakan bibir yang Amy ucapkan. Dia hafal betul apa yang akan Amy katakan untuk menjawab keluhannya.
Beberapa saat kemudian presdir yang sangat ricuh dibicarakan pun datang, pria bertubuh proposional itu melangkah tegap beriringan dengan sekertaris pribadinya yang sama-sama pria tampan.
Suasana yang tadinya ricuh tak terkendali kini berganti menjadi sambutan dan sapaan, mulai pintu masuk sampai menuju ruangan kerjanya silih berganti terdengar. Hanya senyum simpul yang diberikan Tan pada pegawainya sebagai jawaban dari sapaan dan sambutan tersebut.
Dua pria bersetelan senada itu sampai di ruangannya dan segera mengadakan rapat rutin bersama para manajer yang diadakan setiap bulan. Pria berahang tegas itu dengan cekatan memeriksa dokumen-dokumen yang dilaporkan, serta dengan cerdik menemukan kecurangan, meski sekecil apa pun.
"Sekertaris Sham!" panggilnya setelah dia melingkari sebuah dokumen yang dirasa ada sebuah kejanggalan.
"Ya, Presdir!" jawab Sham seraya menghampiri Tan.
"Panggil orang yang mengurusi perikalanan, di sini tercatat biaya iklan begitu membengkak, tapi artis yang dikontrak tidak cukup terkenal, ini kecurangan, tidak bisa dibiarkan!" jelasnya panjang lebar.
Padahal itu masih dalam suasana rapat, dia tidak segan untuk segera memberi sangsi pada mereka yang mencoba mencari keuntungan untuk kepentingan pribadi.
"Baik, Presdir!" jawab Sham dengan patuh.
Dengan cepat Sham memeriksa data dan menemukan orang yang dicari Tan.
"Yang Presdir cari ternyata, Pak Haris, beliau masih kerabat Anda, Pak!" jawab Sham.
"Baiklah, semuanya boleh bubar, rapat selesai," tukas Tan.
Sejurus kemudian dia bangkit dari duduk dan menyiapkan selembar kertas yang dimasukan ke amplop, lantas dia menyimpannya pada saku jas yang dikenakan.
"Sekertaris Sham, jika ada jadwal yang bisa kau handle, pergi saja, jika memang harus aku yang pergi ubah jadwalnya, aku harus pergi ke suatu tempat!" titah Tan pada Sham sebelum dia berlalu meninggalkan ruangannya.
"Baik, Presdir!" Sham begitu patuh.
Tak banyak bicara, pria berkacamata itu tahu pasti akan ada drama yang terjadi di antara para kolega itu. Namun, tugasnya hanyalah mematuhi perintah Tan. Pria yang sebaya dengannya itu.
"Bisa-bisanya dia mau mengambil keuntungan dari perusahaan Nyonya Wang," gerutu Tan seraya berjalan tegap menuju parkiran.
Lantas, dia menekan tombol yang menjadi gantungan kunci mobil. Sejurus kemudian sedan hitam menyala dan bersuara, Tan pun gegas menaikinya kemudian menginjak pedal gas dan melaju ke tempat yang dituju.
***
Sesampainya di sebuah gedung yang digunakan untuk bermain biliar, Tan bertemu dengan seorang pria paruh baya. Seraya tertawa renyah yang menjadi ciri khasnya dia pun menghampiri pria tua yang didampingi dua gadis cantik nan seksi itu.
"Enak sekali kau bermain dengan uangku," sarkas Tan dengan wajah yang sulit dideskripsikan.
"Presdir ...." Pria tua itu gelagapan, dia tidak menyangka Tan bisa menemukannya.
Seketika pria itu menghampiri dan berusaha meminta maaf pada Tan.
"Anda sudah kembali dari Jepang?" tanya pria itu sekadar basa-basi.
"Hahaha hahahah!" Alih-alih menjawab, Tan justru tertawa.
Entah apa yang dia tertawakan, setiap merasa tertekan, emosi, dan ketakutan. Dia selalu melontarkan tawa renyah, tetapi terdengar begitu menyakitkan.
"Mulai besok, kau beristirahat saja dan bermain sepuasnya, ajak juga mereka tidur, jika cacingmu itu masih bisa berdiri," ujar Tan seraya menunjuk pada dua gadis yang sedari tadi menemani pria itu.
Pria itu terkejut untuk kedua kalinya, dia tidak habis pikir jika Tan akan berbuat seperti itu.
"Apa? Kau keterlaluan dan tidak punya sopan santun!" tolak pria itu.
"Dengar Haris, seorang pekerja itu harus profesional sekalipun kita kolega. Perusahaan tidak membutuhkan pekerja yang hadir untuk mengisi absensi, tapi membutuhkan mereka yang produktif dengan otak dan tenaganya," tutur Tan dengan begitu tegas.
"Anak muda sepertimu tahu apa tentang bisnis? Huh! Berani-beraninya kau—"
"Aku memang tidak tahu bagaimana cara memperkaya diriku dengan berbisnis dengan perusahaan sendiri, tapi aku tahu bagaimana cara menjadikan K Company menjadi perusahaan raksasa di sini, salah satunya dengan membuang batang yang busuk, seperti kau!" sarkas Tan dengan tatapan penuh dengan kekesalan.
"Kurang ajar!" sergah Haris masih tidak terima.
Tan tersenyum lebar, sejurus kemudian dia tertawa kembali. Lantas, Tan mengeluarkan amplop dari saku jasnya, lalu melemparnya ke arah Haris.
"Selamat berlibur panjang," ucap Tan lantas dia pergi meninggalkan Haris yang masih termangu.