Tim kesehatan yang membawa ambulans, menggeleng saat mendapati Amy hanya keseleo. Namun, bisa-bisanya pria kaya itu memanggil mereka seolah ada kasus darurat saja. Amy lagi-lagi tersenyum kikuk. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Kaki Amy berhasil dikompres dan dibalut oleh petugas kesehatan itu. Sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih Sham memberikan uang lebih kepada mereka, dan mengakhiri tugas para pelayan masyarakat tersebut.
Amy masih terduduk di kursi yang berada di depan hotel. Dia menelisik pergelangan kakinya yang sudah diobati itu.
"Kau tidur di kamar berapa? Biar kuantar ke sana," tawar Tan.
"Di, anu, eum. Biar aku sendiri saja," racaunya. Amy tak tahu harus menjawab apa.
"Kakimu sakit, Gacul, lagi pula ini salahku, aku yang menabrakmu tadi," sesal Tan.
"Tidak, tidak apa-apa, aku baik-baik saja," elak Amy, dia tak ingin bosnya tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ini perintah, di mana kamarmu, biar kuantar," sentak Tan sudah tak sabar.
"Kalau tidak salah kamar 39, Presdir," timpal Sham.
"Baiklah, sini kopernya biar aku yang bawa," pinta Tan pada Sham yang membawakan koper Amy, "lagian kenapa, tidak disimpan di kamar saja, nih koper!" lanjutnya.
"Biar saya saja, Tuan," pinta Amy.
"Diam kau! Lebih baik menurut saja. Lain kali jika sakit, katakan sakit, jangan berpura-pura kuat," rutuk Tan.
"Apaan, sih, padahal Tuan yang begitu, bukan diriku," sahut Amy.
"Apa yang kau ketahui? Huh! Tidak usah sok tahu!" tegas Tan seraya memelototi Amy.
"Cih!" Amy berdecih, lalu berdiri dan bersiap untuk beranjak dari tempat itu.
Lantas, Tan meminta sekertarisnya untuk pergi beristirahat terlebih dulu. Sebenarnya saat ini Amy sangat kebingungan. Dalam hati dan pikirannya terus menerka, apakah Shaka dan perempuan itu sudah pergi dari kamarnya atau belum. Amy tak yakin dengan keputusannya untuk kembali ke sana, dia akan sangat malu jika Tan mengetahui semuanya. Namun, di sisi lain dia tak memiliki alasan untuk menolak pria tampan itu untuk mengantarnya.
"Bagaimana ini?" batin Amy masih terus berjalan ditemani Tan.
"Apa yang kau pikirkan, Gacul?" selidik Tan melihat gadis yang berjalan tertatih di sampingnya terlihat begitu gusar.
"Semuanya," jawab Amy sekenanya.
"Salah satunya apa?" tanya Tan sekali lagi.
Ternyata dia tak seburuk apa yang orang-orang bicarakan. Hatinya penuh empati, meskipun terkadang tingkahnya begitu mengerikan.
"Tuan, berhenti memanggilku gacul, namaku Amy, kau sudah tahu bukan?" protes Amy yang tak suka saat Tan memanggilnya gacul.
"Suka-suka diriku," jawab Tan, yang membuat Amy kesal berkali-kali.
Tanpa terasa, Amy dan Tan sudah sampai di depan kamar nomor 39 yang Sham sebutkan. Keduanya menghentikan langkah di depan pintu. Nahas, suara aneh itu masih saja terdengar dari dalam sana. Jelas, sangat jelas. Tan mendengar suara itu, hingga mamou menerka apa yang terjadi di dalam sana. Sehingga membuatnya mengernyitkan dahi, merasa heran.
Tan yang ingin memastikan menempelkan teling ke daun pintu. Beberapa saat setelah melakukan hal tersebut, Tan terperanjat. Dia mundur dari ambang pintu beberapa langkah, karena tak kuat jika terus mendengarkan.
"Siapa yang di dalam sana?" tanya Tan.
"Anu, eum, teman SMA sekaligus cinta pertama saya, Tuan," jawab Amy.
"Dengan siapa dia di salam sana?" selidik Tan yang kesal sebab sama sekali Amy tak terlihat marah.
"Pacarnya mungkin," jawab Amy dengan entengnya.
"Apa? Lalu, kau membiarkannya begitu saja?" cecar Tan semakin kesal.
Amy mengangguk menjawab semua pertanyaan tersebut.
"Dasar bodoh! Cepat masuk!" hardik Tan.
Amy menggaruk kepala yang tak gatal, dia bingung antara harus masuk atau tidak. Jika dia masuk otomatis akan melihat pemandangan menjijikan untuk kedua kali, sementara jika tidak, dia tak tahu harus tidur di mana malam ini, sementara jadwal tiket untuk pulang adalah esok hari.
"Bagaimana ini?" Amy bermonolog seraya tafakur beberapa saat.
"Oi, ayok masuk!" tukas Tan.
"Tapi—" tolak Amy ragu.
Tan terus mendesak Amy agar masuk ke dalam sana. Pria itu geram saat mengetahui jika Amy diam saja saat diperlakukan tak baik oleh temannya itu. Bukan sebab Amy sudah menjadi tunangannya. Namun, dengan alasan kemanusiaan dia membantu Amy.
Brak!
Amy membuka pintu dengan kasar sesuai perintah Tan. Dia melangkah tegap ke dalam sana, sekali lagi. Suara ribut yang dibuat Amy membuat sejoli yang dimabuk cinta disertai mabuk obat haram pun terhenyak. Kali ini, mereka benar-benar berhenti dengan permainannya.
Sejurus kemudian, Amy menatap tajam satu persatu dari dua orang tak beretika itu.
"Tak tahu malu!" hardik Amy dengan nada ketus dan menusuk.
Namun, sejurus kemudian, Sakha yang tak terima atas ucapan Amy melempar satu bantal ke arah Amy dan berhasil mengenai wajahnya.
"Aw!" rengek Amy.
"Dasar sampah!" hardik Sakha.
Tan yang melihat hal tersebut, sontak tak terima. Dia benar-benar merasa simpati pada gadis culun yang diperlakukan kasar di hadapannya. Seketika itu, Tan masuk seraya tertawa seperti biasanya. Pria itu pun meletakkan koper di ambang pintu.
Prok! Prok! Prok!
Tan melangkah perlahan dari ambang pintu menuju kamar tersebut. Tawa mengerikan itu terdengar menggelegar, membuat Sakha dan wanitanya harus menutup telinga.
Tan berdiri di samping Amy. Lantas, dia merangkul gadis yang kini tertunduk dengan sikap polos itu.
"Apa katamu? Sampah? Kau mengatakan gadis secantik berlian ini sampah?" oceh Tan setelah puas tertawa.
"Haish, siapa kau? Untuk apa kau membelanya? Cantik apanya, apa kau buta? Huh! Lihat saja, kacamata itu bahkan lebih tebal dari kaca jendela!" racau Sakha.
Pria tak tahu malu itu menghina Amy habis-habisan. Yang mendapat sekali lagi tawa khas Tan sebagai bentuk jawaban.
"Ayok, Sayang, kau tak pantas bergaul dengan sampah seperti dia," ujar Tan menuntun Amy untuk keluar dari kamar tersebut.
"Woi, jangan gila! Kau juga hanya ingin memanfaatkan kebodohannya, bukan? Setelah itu kau akan melemparnya ke jalanan, begitu bukan?" seloroh Sakha, meledek Tan sebab dia berusaha melindungi Amy.
"Ternyata, mulutmu itu lebih buruk dari sampah organik!" sahut Tan.
Dia benar-benar geram pada pria di hadapannya. Tak habis pikir, jika ada seorang pria yang mulutnya seperti itu.
"Kha, hentikan! Dia ini—"
"Apa? Siapa dia? Kekasihmu? Atau om-om yang kau goda! Huh!" cecar Sakha.
"Ya, saya kekasihnya, mau apa kau?" timpal Sakha.
Hahaha!
Sakha tertawa seolah meledek dan mengejek.
"Sakha hentikan!" Amy mencoba menjelaskan jika Tan adalah bos yang mengajaknya ke sana.
Akan tetapi, Sakha terus saja memotong perkataannya.
"Dasar baji—"
"Sudah, Tuan, hentikan! Biarkan saja mereka, aku ke sini hanya ingin kamarku kembali, tapi sepertinya kamar ini sudah tak layak buatku. Di sini bau sampah, ayok pergi saja!" Amy mencegah Tan untuk melayani Sakha.
Hingga akhirnya keduanya pergi meninggalkan kamar tersebut.
Beberapa saat kemudian ....
"Sham, batalkan pembayaran untuk kamar no 39, dan tiket pesawat untuk teman atau keluarga dari Amy juga minta untuk tak dihapus atau ditangguhkan, atau dibatasi, lakukan saja apa pun!"
***