Dengan ragu, Tan mencoba menoleh ke belakang. Tanpa dia duga, suara itu ternyata dengkuran dari gadis yang dicarinya.
"Astaga, kukira tadi itu suara macan," oceh Tan seraya mengusap dadanya.
Lantas, dia berbalik arah dan menghampiri Amy yang masih tertidur. Posisi Amy layaknya posisi bayi dalam rahim, sepertinya dia sangat kedinginan. Sebab, tubuh mulus gadis itu hanya dibaluti piyama tipis yang berpadu dengan celana pendek saja.
Tan terenyuh, dia hendak mengambil selimut untuk Amy. Ada rasa sesal yang mengusik hatinya, perilaku bodohnya sudah menggangu Amy, sampai-sampai gadis berkacamata besar itu harus menderita karenanya.
"Dasar bodoh kau, Tan!" rutuknya, seraya mengacak rambut dengan gemas.
Tak lama kemudian Tan kembali dengan selimut yang dibawa. Dengan lembut dia menyelimuti tubuh mungil Amy. Dia berusaha tak mengusik tidur gadis tersebut. Sejurus kemudian, netranya tiba-tiba tersita oleh wajah polos itu.
Entah apa yang terjadi, tetapi saat Tan memandang wajah lembut Amy. Bibir seksi sang presdir gila itu tertarik keluar, hingga senyumnya mengembang begitu saja.
Sesaat kemudian, Tan tersadar. Lalu, dia menepuk-nepuk pipi beberapa kali. Mencoba membuat diri tersadar.
"Tan! Tan! Sadarlah!" gumamnya.
Seraya terus bergumam, manik mata Tan melirik jam dinding. Nahas, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Harusnya keduanya sudah bersiap untuk pulang. Namun, kini, Amy masih di alam mimpi. Tan kebingungan dan tak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang ini.
Sejenak dia berpikir, lalu berniat membangunkan Amy saja. Akan tetapi, di sisi lainnya dia tidak tega. Namun, lain sisi lagi keduanya akan terlambat jika Amy tak segera dibangunkan.
Sejurus kemudian sebuah panggilan membuatnya terhenyak.
"Sham," lirih Tan membaca nama seorang yang meneleponnya.
"Pagi, Presdir, kau sudah bangun?" sapa dari seorang pemilik suara bariton di seberang sana.
"Sudah, kau bisa kemari sebentar?" pinta Tan.
"Tentu, Anda sudah bersiap? Pesawat kita akan berangkat satu jam lagi, ada baiknya kita ke bandara sekarang," ujar Sham mengingatkan.
"Berisik kau, semuanya gara-gara kau!" hardik Tan.
"Apa?" Sham kaget sebab tak mengerti apa yang bosnya katakan.
"Cepat ke kamarku!" teriak Tan.
Sham tersentak, sehingga dengan refleks dia berlari untuk mendatangi Tan.
Sementara Amy yang tertidur lelap pun seketika membuka mata, tetapi sejurus kemudian menutupnya kembali.
Diiringi dengan gumaman, "Ya, pesankan satu ...,"
"Apa yang dia pesan memangnya?" gumam Tan menimpali.
***
Tak lama kemudian, Sham datang. Pria muda itu tak perlu lagi mengetuk pintu untuk masuk ke kamar sang bos. Dia sudah mengetahui kode dari pintu itu.
"Presdir!" sapa Sham sedikit berbisik.
Tan menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan tajam. Sham menimpali itu dengan seutas senyum.
"Hey, kau ke mana saja! Semalam aku mengetuk pintu kamarmu berulang-ulang!" geram Tan.
"Ada apa? Bukankah kau yang menyuruhku istirahat lebih awal?" sahut Sham masih keheranan.
"Aish, ya sudahlah, gak jadi marah!" rengek Tan, seperti biasa dengan tingkah anehnya.
"Omong-omong, kenapa kau masih belum bersiap?" tanya Sham.
"Kau lihat gadis itu, dia masih seperti orang setengah mati," ujar Tan, kemudian beranjak dari sana.
"Jadi ini alasanmu, membatalkan semua pembayaran untuk kamar yang dia tempati?" selidik Sham penasaran.
"Ya," jawab Tan singkat.
"Jadi, kau dan dia satu kamar, lalu—" Sham tak meneruskan perkataannya.
Akan tetapi, dia melakukan gerakan tangan, yang menunjukkan suatu perbuatan tidak pantas.
Tan pun mengerti apa yang dimaksud sekertaris pribadinya itu. Sejurus kemudian, pria berahang tegas itu membuang muka, seraya menggerutu. Sontak hal itu membuat Sham menjadi lebih salah paham lagi. Anehnya, pria yang selalu menempel dengan Tan itu justru merasa sangat senang dengan kejadian tersebut. Sebab, terkadang dia merasa tak tega saat menyaksikan penantian Tan untuk Sara yang terkesan sia-sia.
Sham berjingkrak-jingkrak kegirangan, baginya itu sebuah laporan bagus untuk Wang. Pria itu sudah tak sabar ingin melihat reaksi Wang.
"Apa yang kau lakukan?" tegur Tan.
"Aku sedang euporia!" sahut Sham sekenanya seraya melempar senyum pada sang presdir.
"Dasar gila! Apa yang kau pikirkan sebenarnya?" selidik Tan.
Sekali lagi Sham memeragakan tangan sebagai kode.
"Membuat cicit untuk Nyonya Wang," ucapnya dengan nada mengejek.
"Bukan begitu, maksudku!" seru Tan hendak menjelaskan.
Akan tetapi, dia hanya mengingat sebagian dari kejadian semalam. Sehingga tak mampu menjelaskan semuanya pada Sham. Sejurus kemudian Sham mengingat perkataan Tan yang tak bisa pulang bersamanya. Lantas, pria berkacamata itu menyimpulkan, jika Tan masih ingin bersama-sama dengan Amy.
Setelah membuat kesimpulan tersebut, Tan memilih pergi meninggal Tan yang masih marah-marah tidak jelas itu. Sham pikir sang presdir sedang merasa malu.
"Nikmati hari liburmu, Pak!" seru Sham yang berlari ke arah pintu untuk keluar.
"Berhenti Sham, kau salah—"
"Ya, ya, aku tahu, maafkan aku yang sudah mengganggu," sela Sham, kemudian pria bersuara seksi itu hilang di balik pintu
"Dasar Berandal! Apa yang dia pikirkan sebenarnya?" gumam Tan.
Kemudian dia mendengkus, masih menatap jejak-jeka kehadiran Sham di kamarnya.
"Padahal, aku hanya tidak tega meninggalkan si Gacul pulang sendirian. Ah, bagaimana ini, aku terjebak. Tapi, benarkah aku tidak melakukan apa pun? Lalu, kenapa pakaianku sudah berserakan, apa si Gacul itu melakukan pemaksaan padaku? Apakah dia membuat konten jorok? Ah, tidak, tidak, tidaaak! Tidak bisa kubiarkan diriku ternoda!" gerutu Tan seraya mondar-mandir tak karuan.
"Tuan, apa yang kau lakukan? Apa kau sedang menyetrika lantai?"
Amy yang terganggu dengan ocehan Tan, seketika bangkit dan bertanya saat mendapati sang bos sekaligus tunangan kontraknya itu begitu gelisah.
"Itu dia biang keroknya! Apa kau sudah bangun, lihat apa yang terjadi karena ulahmu!" teriak Tan seraya menunjuk jam dinding yang menunjukkan pukul 09.15 waktu setempat.
"Apa?" tanya Amy, lantas mengarahkan pandangan ke benda berbentuk lingkaran yang tertempel di dinding.
Gadis itu memicingkan mata sebab penglihatannya memang sudah tak sebagus orang lain. Lantas, dia mencari kacamata yang disimpan di meja dekat sofa. Setelah mendapatkan alat yang membantu penglihatannya tersebut, gegas Amy mengenakan itu dan melihat ke arah jam dinding.
"Apa?! Aku terlambat, tidak, tidak! Bagaimana aku akan pulang? Tidak!" racau Amy sembari bertingkah tak karuan.
"Oi! Gacul! Tenanglah!" bentak Tan yang melihat Amy seperti kehilangan akal.
"Tidak bisa, bagaimana ini? Bagaimana aku bisa tenang jika tidak bisa pulang?" racaunya.
"Salah sendiri, kenapa kau tidur seperti orang mati!" seloroh Tan ikut kesal.
"Kau kan yang mengganggu tidurku lebih dulu, tiba-tiba datang seperti orang tidak waras," omel Amy.
Tan yang baru pertama kali mendengar Amy mengumpat seketika terdiam. Dia melongo dan justru terpesona melihat kemarahan Amy yang tak biasa itu. Kecantikan gadis culun yang begitu lama terpendam seolah muncul tiba-tiba, bagai pahlawan super yang mendapatkan kekuatannya.
"Kenapa dia begitu cantik saat marah seperti itu," batin Tan.
Sejurus kemudian, Tan tersadar, ketika sebuah benda ringan mendarat di wajahnya.
***