Chereads / He's My Love Hero / Chapter 13 - Merasa Bimbang

Chapter 13 - Merasa Bimbang

Baru pukul tiga pagi. Meysa sudah terbangun, setelah memasang alarm, berperang dengan rasa malasnya. Dia sudah berada di kursi belajar, dengan beberapa buku pelajaran di depannya.

"Pokoknya gue harus lakukan yang terbaik. Ini satu-satunya cara, biar gue berguna buat sekolah," gumamnya penuh keyakinan.

Satu jam berlalu, rasa kantuk mulai menguasai dirinya. Tak kuasa, dia terlelap tidur hanya dengan satu pejaman mata saja.

Tok, tok, tok!!

Berkali-kali tanpa sahutan dari dalam. Mamanya membuka paksa pintu kamar Meysa, mendapati anak gadisnya masih tidur, lebih parahnya lagi, di atas tikar, bukan kasur.

"Mey! Bangun!!"

"Nanti aja Ma, Meysa masih ngantuk banget, lima menit lagi ya," jawabnya.

"Gak ada alasan, ayo cepat, bangun!! Kamu lupa hari ini seleksi peserta olimpiade?"

Mendengar ucapan itu, membuat kedua bola matanya terbuka lebar-lebar. Rasa kantuk yang seketika hilang. Semangatnya kembali muncul, tanpa mendengarkan perkataan mamanya lagi, dia berlari masuk ke dalam kamar mandi.

Di depan sana, sudah ada Bima, yang menunggunya. Cowok itu merapikan rambutnya, menghadap ke arah spion, sambil bersiul.

"Ayo!" Meysa datang dan menepuk pundaknya.

"Lo yang nyetir ya, tangan gue lagi sakit," pintanya.

Meysa melirik ke arah sebuah perban, yang terbalut rapi pada pergelangan tangan kanan Bima.

"Kenapa tuh?"

"Gak, cuma luka kecil aja. Waktu manjat pohon gak sengaja kepleset dan akhirnya jatuh," jelasnya.

"Masa? Pasti ada sesuatu yang Lo, sembunyikan, ya?"

Meysa menarik paksa tangan Bima, membuat cowok itu merintih kesakitan.

"Ini kayak lupa pukul, Lo habis berantem?" tanya Meysa setelah mengintip bagian di balik perban tersebut.

"Jangan bohong, gue bilangin mama Lo, baru tahu rasa," ancamnya.

"Iya deh, gue jujur. Luka ini karena semalam gue ketemu sama Remon, dan gak sengaja bikin dia marah, untung dia baik hati, mau biarin gue pergi, kalau gak, mungkin gue gak akan ada di sini, jemput Lo," jawabnya.

"Hah? Remon? Bisa-bisanya Lo bilang dia baik hati, setelah bikin luka kayak gini. Gue gak terima, kalau ketemu nanti awas aja, gue kasih pelajaran!"

"Udahlah, Mey, gak usah bales dia, malah memperpanjang masalah nanti," tolaknya.

"Lo gimana sih, dibantu bukannya seneng malah kayak gitu. Lo itu sahabat gue, harusnya kita saling membela," kesal Meysa.

"Iya bukan begitu, maksudnya ...."

Meysa sudah tak mau lagi mendengarkan alasan Bima, dia menggeser cowok itu, dan segera mengambil alih kemudian motor.

"Mey, dengerin gue dulu ...."

"Lo mau naik, apa gue tinggal?"

"Iya deh, jangan galak-galak gitu napa," jawabnya.

Di perjalanan pun, Meysa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, membuat Bima sedikit was-was.

"Pelan dikit bisa gak?"

"Gak!" bentaknya langsung membuat Bima terdiam.

Perjalanan yang biasanya memakan waktu hampir setengah jam, kini hanya sepuluh menit dilalui oleh Meysa.

"Gak nyangka, keren banget gue, bisa sampai sekolah secepat ini," ucapnya begitu bangga saat menuruni motornya dari parkiran.

"Lain kali jangan kayak gitu lagi Mey, pengen mabuk rasanya," sahut Bima menahan muntah.

"Norak banget sih, jadi orang!"

Cewek itu sudah berjalan terlebih dulu dengan jaket hitam yang dia pegang pada tangan kirinya. Beberapa murid yang mengenalnya, kini mulai menyapa, pertama kali bagi Meysa mendapat perlakuan baik dari teman sebayanya.

"Aneh banget, padahal gue gak kenal sama mereka, kenapa pada senyum ke gue ya," ucapnya keheranan.

"Meysa!" Panggilan itu membuatnya menoleh.

"Bima lagi, ngapain sih, gue pikir Lo udah tepar di kamar mandi," jawabnya.

"Gue mau kasih tunjuk sesuatu ke Lo!"

Cowok itu menarik paksa tangan Meysa, membawanya pada sebuah poster besar yang terpasang di bagian barat lapangan.

Foto mereka berdua, dan Aslan, terpapang jelas di sana. Sehingga seluruh penghuni kampus bisa melihat wajah mereka.

"Oh, sekarang gue paham kenapa banyak banget anak yang panggil gue tadi, padahal kita gak saling kenal ternyata ini, penyebabnya," ucap Meysa.

"Kita jadi terkenal, Mey!"

"Malu banget gue rasanya, kalau sampai gak lolos seleksi nanti, mau ditaruh di mana muka gue coba," gumamnya.

"Berpikir yang baik dulu. Tapi, menurut penerawang gue, yang gak lolos itu Aslan!" Tanpa beban Bima mengatakan hal tersebut.

"Sok tahu banget jadi orang, jangan meremehkan lawan begitu aja, emang Lo tahu kalau misalnya dia belajar diam-diam, cuma gak diperlihatkan aja?"

"Halah gak mungkin, orang dia malah tawuran semalam, dan Lo, juga tahu kita suruh dia benahi rumah pohon, mana ada waktu buat belajar," jawab Bima.

"Benar juga, udah deh, ngapain sih, urus hidup orang. Mendingan kita siap-siap ke ruang kepala sekolah, udah telat ini," ajaknya.

Saat mereka masuk, tidak terlihat sama sekali wajah Aslan ada di sana. Hanya tiga orang guru, yang tengah sibuk dengan kertas di tangannya masing-masing.

"Permisi, Pak ...."

"Kalian sudah datang, ayo duduk," suruhnya.

"Kenapa cuma berdua, mana Aslan?"

"Dia ...." Bima hendak menjawab tapi, kakinya diinjak dengan kasar oleh Meysa membuatnya sempat menahan suara ingin menjerit kesakitan.

"Kita gak tahu Pak, mungkin telat," jawab Meysa kemudian.

"Mey, ngapain sih, Lo halangi gue buat bilang kalau si Aslan itu gak niat ikutan seleksi ini. Dengan begitu kita bisa mewakili sekolah tanpa harus susah-susah ngerjain soal," bisik Bima.

"Lo jadi orang jangan gitu, gak baik, inget karma. Jangan buat Aslan kena masalah, kalau dia tahu ini ulah Lo, apa gak takut tuh tulang remuk?"

Bima bergidik ngeri membayangkannya.

"Pak, waktunya sudah mepet, tapi Aslan belum muncul juga," ucap seorang guru muda yang baru masuk ruangan.

"Dia buat saya kecewa, di depan kepala sekolah," sahut guru matematika yang mengandalkannya.

"Kita tunggu sampai lima menit, kalau dia benar tidak datang, seleksi hari ini batal, dan kalian berdua yang lolos ke babak selanjutnya," tegas kepala sekolah.

Bima sudah kesenangan, sementara Meysa merasa sedih karena dia tak menyangka nyali Aslan ternyata tak sebesar yang dia kira.

Di gedung belakang sekolah. Bukannya berangkat, mereka masih nongkrong di sana.

"Lan, bukannya hari ini Lo harus seleksi?" tanya Edo padanya.

Tama yang baru datang, terdengar heboh menunjukkan postingan grup sekolah, tentang poster yang dipajang oleh kepala sekolah.

"Bos kita jadi artis, Bro!!" ucapnya kegirangan.

"Apaan sih, kayak gini aja dipajang segala. Giliran kita menang lomba kemaren, cuma dipasang di mading," kesal Aslan.

"Di mana-mana memang gitu Lan, jangan kaget kalau bidang pendidikan lebih diutamakan ketimbang olahraga, gue juga kadang iri pengen banget pinter kayak mereka, Mama gue bahkan punya harapan lebih dulu," sahut Edo.

"Mama Lo pasti nyesel udah ngelahirin Lo, yang ternyata bodoh!" Tama berucap tanpa dipikir terlebih dulu.

"Woy! Kasihan tuh!" sahut yang lain.

"Emang kayak gitu kenyataannya ...."

Melihat kisah temanya yang menyedihkan, membuat hati Aslan serasa tergerak. Meski masih bimbang, antara hadir atau tidak ke acara seleksi itu.

Bersambung ....