Chereads / He's My Love Hero / Chapter 17 - Terpaksa Berjanji

Chapter 17 - Terpaksa Berjanji

Meysa berusaha membuka jendela dari luar, kelihatannya terkunci dari dalam.

"Alamat gue tidur di luar sih, ini," sesalnya.

"Gue bisa bantu buka. Tapi, lewat pintu depan aja. Lagian orang tua Lo, kayaknya udah pada tidur jadi, santai aja," jawab Aslan.

Tak ada pilihan lain, selain menerima tawaran itu. Meysa mengikuti langkah Aslan, membobol pintu rumahnya. Hanya dengan sekali sentuhan saja, entah menggunakan cara apa, cowok itu terlihat sudah ahli.

"Lo mantan maling, ya?" tuduh Meysa.

"Sembarangan aja kalau ngomong. Udah, sana masuk, besok sekolah, mau gue jemput?"

"Lo kenapa baik banget sih, sama gue? Padahal kita ini harusnya musuh loh?" Semakin ke sini, Meysa malah kebingungan.

"Lo udah anggap gue teman, jadi ya gak ada salahnya gue lakuin ini, 'kan?" Lagi-lagi masalah gengsi, cowok itu terus saja mencoba menutupi perasaannya.

"Hem, oke, hati-hati pulangnya gue masuk dulu ...."

Meysa berjalan mengendap-endap, agar langkah kakinya tak bisa didengar oleh sang papa. Lampu rumahnya sudah mati, kesempatan bagus untuknya masuk ke dalam kamar dengan segera.

Lampu menyala tiba-tiba.

Meysa temui, sang papa duduk di sofa dengan kedua tangan dilipat di dada, seolah siap menghajarnya dengan bertubi-tubi pertanyaan yang terlontar.

"Dari mana saja kamu?"

"Em, itu Pa, Meysa habis dari rumah temen," jawabnya.

"Yakin? Tumben kamu pakai baju seperti ini, kayaknya Papa gak pernah belikan yang model kayak gini. Dapat dari mana?" Mamanya tak bisa berbuat apa-apa, hanya menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

"Itu Pa, beli di pasar sama mama ...."

"Benar itu, Ma?"

"Iya, Pa." Untung saja mamanya bisa diajak kerja sama. Lagipula semua ini terjadi, juga karena kesalahan sang mama.

"Papa yakin, kamu habis keluar sama cowok gak bener itu. Ini peringatan terakhir, kalau kamu masih tetap melanggar, Papa akan bawa kamu pergi dari kota ini," ancamnya.

"Sebenarnya salah Aslan apa sih, Pa? Dia orang baik, bahkan sering nolong Meysa kalau kesusahan." Spontan gadis itu membelanya.

Plakk!!

"Berani kamu bela cowok itu di depan, Papa?"

"Papa yang egois, terlalu mudah menyimpulkan sikap seseorang dari luarnya. Meysa kecewa sama Papa!" Gadis itu berlari keluar, tapi suara teriakan mamanya menghentikan langkahnya.

Saat menoleh, papanya sudah terbaring tak sadarkan diri, dengan tangan kanannya memegang dada. Meysa menangis, melihat kondisinya.

"Cepat cari bantuan Nak, kita harus bawa papa kamu ke rumah sakit," suruh mamanya.

Hanya Bima, yang bisa dia mintai pertolongan malam-malam begini. Meysa berlari ke rumahnya, mengetuk pintu dengan keras, memanggil-manggil nama cowok itu. Kebetulan, Bima sendirian di rumah malam ini.

Bima terbangun, melihat ke arah jam dinding.

"Kayak suara Meysa, masa iya. Jangan-jangan gue mimpi lagi." Dia menepuk pipinya dengan keras, dan merasakan sakit.

"Itu artinya ini beneran. Tapi, ngapain Meysa ke sini malam-malam?"

Cowok itu memilih untuk mengintip lewat jendela terlebih dulu, untuk memastikan sebelum akhirnya dia membuka pintu rumahnya.

"Bim, tolongin bokap gue!"

Bima melihat ke arah kaki Meysa, untuk dipastikan menempel pada lantai.

"Bim, malah diem aja!"

"Eh, iya Mey, bokap Lo kenapa emangnya?"

"Dia pingsan!"

"Kok, bisa?"

"Panjang ceritanya, cepetan bantuin. Lo bisa bawa mobil, 'kan?"

"Aduh Mey, gue baru latihan. Takutnya malah bahayain kalian lagi," jawabnya ragu.

"Gue percaya sama Lo, Bim." Tak pernah Meysa bicara seserius ini dengannya. Cowok itu akan berusaha semaksimal mungkin, dengan penuh kemantapan hati, akhirnya dia mau.

"Lo emang sahabat terbaik gue."

Pelan-pelan Meysa mengarahkan mobilnya keluar dari garasi. Sementara Bima, kembali turun untuk membantu membopong tubuh papa Meysa.

Perjalanan yang cukup menegangkan, untung saja tak ada banyak kendaraan yang melintas malam ini, setidaknya Bima masih bisa mengendalikan kemudi dengan aman.

Meysa memanggil suster agar papanya bisa segera ditangani. Mereka menunggu di depan ruang periksa.

"Semua ini salah gue, kenapa harus ngelawan papa tadi," sesalnya.

"Mama yang salah sayang, sudah mengijinkan kamu pergi dengan Aslan," sahutnya.

"Apa!" Bima terkejut mendengar kenyataannya.

Seorang dokter keluar, memberitahukan kalau papanya sudah siuman dan sekarang mereka diperbolehkan untuk masuk. Namun, papanya harus dirawat sampai esok hari, jika keadaan membaik baru boleh dipulangkan.

"Meysa, Papa minta sama kamu, jauhi cowok itu," ucapnya saat pertama kali gadis itu masuk.

"Bima juga, jangan malah kamu dukung Meysa. Katanya sahabat yang baik, harusnya kamu bisa ngerti semua ini demi kebaikannya," omelnya.

"Pa, udah dong, kondisi Papa masih sangat lemah, jangan marah-marah kayak gini ya," tutur istrinya.

"Gak bisa Ma, sebelum Meysa janji kalau dia gak bakalan dekat dengan cowok gak beretika itu lagi," tegasnya.

Dengan berat hati, Meysa mengulurkan jari kelingkingnya. Dia tak mau, kondisi papanya memburuk karena masalah ini.

"Meysa janji, akan menjauhi Aslan. Tapi, kasih Meysa waktu buat bicara baik-baik sama dia ya, Pa," pintanya.

"Papa pegang janji kamu."

Di koridor rumah sakit, Meysa berjalan menyusurinya, tanpa tahu ke mana tujuannya kini. Langkahnya berhenti, begitu dia melihat sebuah bangku di hadapannya. Meysa duduk mematung, menyandarkan tubuhnya di dinding rumah sakit.

"Minum dulu, Mey." Bima menyodorkan sebotol air minum.

"Dapat dari mana, emang ada toko buka semalam ini?"

"Udah, tinggal minum aja susah amat. Gue tahu, Lo lagi galau, gue perhatikan juga akhir-akhir ini Lo sudah mulai terbawa rasa dengan Aslan," jawabnya.

"Sok tahu."

"Mey, gue udah kenal Lo bertahun-tahun dari kecil malah. Baru kali ini, gue lihat Lo jatuh hati ke cowok, setelah kejadian ...."

"Stop! Jangan ingatkan gue lagi," potongnya.

"Oke, gue minta maaf hampir keceplosan. Nanti pagi, Lo masuk sekolah, 'kan?"

"Iya, temani gue nginep di sini ya, serem banget kalau sendirian, mama juga udah tidur kayanya," pinta gadis itu.

"Iya deh."

Bima duduk di sampingnya, kepala Amira terasa seperti ketarik, setiap kali ada di dekat bahu cowok itu. Kepalanya sudah siap mendarat untuk bersandar di sana.

"Tidur Mey, besok sekolah, jangan sampai telat bangun," suruhnya lantas keduanya memejamkan mata.

Tanpa terasa, suara panggilan seorang kembali membangunkan mereka. Padahal, Meysa rasa dia baru saja tidur beberapa menit yang lalu, pagi sudah tiba saja.

"Kalian pulang duluan, biar Mama yang jaga di sini," suruhnya.

"Meysa masih ngantuk banget, Ma," jawabnya.

"Jangan sampai kalian dihukum ayo, cepat!"

Dengan mata terpejam, keduanya berjalan menuju ke parkiran.

"Naik taksi aja ya, biar mobilnya dibawa kalau papa Lo, sembuh."

Meysa mengangguk, bahkan kalau ada kasur di sekitarnya, dia akan langsung membaringkan tubuh tentunya.

Mereka masuk ke dalam taksi, dan sempat-sempatnya malah tertidur.

"Neng, udah sampai, Mas, ayo bangun!" panggil sopir itu.

Bersambung ....