Berada di sekolah baru membuat Aila menggunakan tampilan yang berbeda. Softlens juga sepatu hak tinggi tanpa ragu digunakan olehnya selepas sang bunda pulang.
Hal yang sama sekali tak pernah Aila pikirkan sebelumnya pun kini terlintas begitu saja dalam benaknya. Ia bisa melakukannya, dengan sangat mudah seolah-olah sudah biasa menjadi pusat perhatian.
"Jadi nak Mikaila ini cucu dari Nyonya Hestia?"
Dengan bangga Mikaila mengangguk. "Ya, saya cucu nenek. Kebetulan saudara kembar saya lebih suka bersekolah di cabang Swiss jadi selagi ada waktu saya ingin meninjau tenaga pendidik. Seperti yang bunda jelaskan sebelumnya."
Bibir sih boleh saja berkata demikian, kenyataannya tangan Aila benar-benar gemetar karena merasa ketakutan saat ini. Kali pertama berlagak jelas saja tak akan mudah jalannya, untuk itu Aila perlu melakukan semua dengan rapi.
Ditatapnya para staf karyawan pengajar, mereka semua tampak kikuk seolah-olah memang sekolah swasta mewah ini hanyalah sebuah ajang. Dalam hati Aila mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan padanya. Sekejam apapun kedua orang tuanya mereka tetap memiliki uang dan kekuasaan yang bisa dimanfaatkan.
"Baiklah kami sudah paham, mari nak Mikaila kami antarkan ke kelas," ucapa salah seorang guru muda.
Dari raut wajahnya yang tersenyum paksa Aila bisa langsung menebak bahwa wanita muda ini tersiksa juga. Mungkin saja dia tenaga pendidik yang tak begitu dipedulikan, sepertinya kali ini pun hendak dikambinghitamkan.
Namun, Aila tak berniat mencari gara-gara. Dia yang masih gemetaran hanya memiliki niat untuk bisa bertahan dengan nyaman dan mendapatkan ranking tertinggi.
"Ya Bu," balas Aila singkat.
Dia lekas mengikuti guru muda itu dan berjalan keluar dari ruang kepala sekolah. Aila pikir dia akan diajak bicara, tetapi agaknya guru muda satu ini benar-benar pengecut.
"Ada kelas unggulan?" tanya Aila to the point.
Sungguh, demi apapun itu Aila sedang malas cari gara-gara. Jadi pertanyaan yang diajukannya pun random dan terkesan biasa-biasa saja bukan?
"Ma-maaf?"
Mengerjap polos Aila melihat jawaban barusan. Di depan para petinggi sekolah ini sang guru muda kelihatan memiliki semangat hidup, sekarang ....
"Ibu takut sama siapa sih? Nggak usah gugup sama saya," desis Aila.
"Ah, maaf Mikaila tapi sejujurnya di sekolah ini tidak ada kelas unggulan. Delapan puluh persen siswa diterima karena orang tua mereka berpengaruh dan memiliki banyak harta. Sebetulnya saya sudah sempat—"
"Jadi begitu, saya paham, Bu. Jadi bisa antarkan saya ke kelas saja? Sepatu saya cukup tinggi sampai tak bisa berlama-lama berdiri," tutur Aila mencoba untuk melembutkan nada bicaranya.
Guru muda di depannya kembali terlihat kikuk, hal itu disadari oleh Aila sayangnya dia terlalu enggan menjelaskan. Segera Aila masuk begitu guru muda menunjukkan kelas yang akan ditempati olehnya, satu-satunya kelas yang memiliki siswa 'agak' pintar dan pernah dilombakan dalam olimpiade tahun lalu.
"Selamat pagi, Bu. Ada siswa baru, boleh ijin masuk?"
Tersenyum lebar Aila, dia sudah menyiapkan diri apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti masuk seorang diri tanpa pengawalan.
Seketika semua pasang mata kini menatap ke arahnya. Tentu saja Aila menampilkan ekspresi dingin, dia tak mau membuang jati dirinya yang asli dan meniru Ayka yang suka menebar senyuman. Untuk Aila senyuman ini hanya sebagai formalitas saja, selebihnya jangan dipikirkan dulu.
"Oh iya, silahkan masuk."
Tanpa basa-basi Aila melangkah terlebih dahulu. Dia lekas berdiri di samping guru pengajar. Sambil berdiam diri Aila mengamati seluruh anggota kelas 12 MIPA 5, dan kentara sekali kelas ini sangat kacau.
"Nah, kalian kedatangan teman baru jadi harap diam. Untuk nak Mikaila, silahkan memperkenalkan dirinya."
Ingin Aila curiga tentang guru-guru yang sudah tahu namanya, tetapi saat teringat siapa kakeknya dia memilih bungkam saja.
"Pagi, perkenalkan namaku Mikaila Alexandra Amzhari. Call me Aila, semoga bisa berteman." Aila mengatakannya dengan singkat, padat dan sedikit terburu-buru.
Berkat hal itu guru pengajar pun kikuk dan langsung memberikan komando untuk bertepuk tangan. Sayangnya tak ada satu pun yang menanggapinya. Melihat hal itu Aila meyakini sesuatu.
'Ini bukan kelas unggulan ataupun yang lainnya, di sini hanya ada mereka yang merasa hebat dengan segelintir kekuasaan orang tuanya.'
***
"Aila?"
"Hem, kenapa?"
Jika boleh jujur Aila cukup nyaman. Bahkan di hari pertama saja dia merasa bahwa segalanya sedang berpihak padanya saat ini. Jangan lupakan bahwa dia sudah mendapatkan geng seperti yang Anika lakukan di sekolah lamanya.
"Lo pindah karena masalah apa?"
Pertanyaan barusan membuat Aila yang hendak menyantap makan siangnya pun jadi tak minat. Dengan tatapan mata yang tajam, dia menatap Refia—teman sebangkunya sambil berkata, "Ciuman di jam pelajaran. Kupikir itu baik-baik saja, siapa yang menyangka bahwa cukup menggegerkan satu sekolah."
Kontan saja keempat gadis yang semula memasang tampang percaya diri pun menciut nyalinya. Mereka berempat saling lirik.
"Lo nggak ngerasa bersalah gitu?"
Kini Aila dibuat tertawa geli, mana bisa dia merasa bersalah kalau ucapannya hanya mengada-ngada?
"Seriusan Ai? Gimana rasanya cipokan?" Nicky mengajukan pertanyaan setelah menyedot habis segelas jus jeruknya.
Istirahat pertama, untuk mengambil hati mereka dan membuat jalan menuju masa depannya mudah Aila menghabiskan cukup banyak uang kali ini. Ah, sebetulnya dia memang hampir menghabiskan seluruh tabungannya untuk high heels tipe ini.
"Biasa aja, mungkin karna udah terbiasa sih," balas Aila.
"Mau nyoba sama gue?"
Lima gadis yang asyik bercengkerama itu sama-sama menoleh ke samping. Semuanya melotot kecuali Aila yang tampak kebingungan.
"No, gue nggak ciuman sama sembarang orang," balas Aila.
Regia tampak menyenggol lengan Aila. Gadis itu tentu saja langsung melirik sinis, apa salahnya menolak dengan tegas? Toh yang dia ucapkan hanya bualan. Cowok sialan ini tiba-tiba saja datang dan menghancurkan segalanya.
"Kalau gitu, no nae namjachingu hallae?"
"Siro!" tolak Aila lagi.
Bukan marah, cowok di depan Aila tertawa terbahak-bahak sampai menggebrak meja. Aila pikir ini hanya bercanda, melihat keadaan sekitar ... dia menertawakan dirinya sendiri.
Most wanted?
Ryan saja selalu mendapatkan masalah saat berdekatan dengannya. Jadi, cowok ini akan sama saja bukan?
"Lo nggak—"
"Bisa minggir nggak? Muka lo kalau maju-maju gini makin kelihatan jelek," nyinyir Aila.
Tawa cekikikan terdengar dari segala penjuru. Seolah sudah habis kesabarannya, cowok di depan Aila itu mencekal lengan sang gadis mungil. Wajahnya yang kian maju membuat Aila refleks memalingkan muka hingga sebuah kecupan mendarat di pipinya.
Sorakan kian terdengar. Dengan gerakan cepat Aila menendang betis cowok itu sampai dia mengaduh kesakitan.
"Kalau Lo macam-macam lagi, lain kali bukan betis tapi dua telur itu bisa pecah. Gak usah ganggu gue, dasar tukang caper."
Dia akhir kalimat Aila mengucapkannya tepat di telinga cowok itu. Kini setelah kepergian Aila bisik-bisik pun terdengar dengan sebuah gumaman pelan dari seseorang.
"Calon bini gue galak juga ternyata, haha."
-Bersambung ....