Bagaimana bisa?
Aila menunduk, mencoba untuk menyembunyikan bekas tangisan pagi tadi. Kedatangan Ryan ke kamarnya kali ini sama sekali tak sesuai dengan harapannya hingga dia hanya bisa terus menundukkan kepala.
"Sudah lima belas menit, Ai. Sampai kapan kamu mau begini? Aku sudah biasa melihatnya, kita juga bukan orang asing saat ini, Ai, tolong jangan membuatku merasa bersalah karena tak bisa selalu ada di sampingmu."
Tak ada niatan untuk Aila membalas ucapan Ryan barusan. Untuknya saat ini berdiam diri adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya, lagian bukankah Ryan sendiri tau alasannya?
Ya, cowok ini tak akan bisa 24 jam bersama dengannya. Dia datang seperti mimpi, membuatnya nyaman sementara lantas pergi begitu saja. Aila tak bisa kembali terbuai dengan kenikmatan sesaat, mulai beberapa menit lalu dia sudah memutuskan untuk menjaga dirinya sendiri agar tak mudah jatuh lagi.
"Ai aku —"
"Aku rasa kita harus menjaga jarak mulai detik ini," potong Aila.
Kini dia mengangkat kepalanya, menatap Ryan yang sepertinya kekeuh untuk tak pergi sampai dia sendiri yang memutuskan untuk mengusirnya lebih dulu. Ryan meringis, tetapi dia memaksakan senyumannya.
"Kamu mau makan dulu nggak? Ayo sini duduk, di dalam tas milikku ada banyak makanan. Aku sengaja bawa ini semua buat kamu loh," tutur Ryan mengabaikan ucapan Aila barusan.
"Yan!" Aila berseru tak suka.
Untuknya saat ini Ryan berlebihan. Konflik batin yang dialaminya saja belum cukup, kesehatan mentalnya, kondisi fisiknya, semua sedang tak baik-baik saja. Aila ingin Ryan menjauh, sebentar saja, tolong jangan mendekat sampai suasana hatinya baik-baik saja.
"Aku nggak pengen kita bertengkar lebih dari ini. Pergi sekarang, Yan, kita bicarakan semuanya besok di sekolah," usul Aila.
Meskipun dia tak akan datang ke sekolah lagi. Bunda membuat keputusan dadakan, dia akan dipindahkan ke sekolah swasta di bawah naungan keluarga.
Bahkan untuk masalah ini pun Aila enggan bercerita. Dia tak mau Ryan ikut-ikutan pindah juga.
"Oke kalau itu mau kamu, tapi seenggaknya biarkan tas ini menginap, ya? Kamu butuh makan, pasti sungkan kalau mau turun dan makan di meja makan," tutur Ryan.
Melihat sorot mata penuh dengan tekad, Ryan sepenuhnya mengalah. Cowok yang sudah lama menjadi teman Aila itu menyadari sesuatu dari tatapan itu, apapun yang keluar dari bibirnya hanya akan dibantah oleh Aila.
Lebih baik aku mengalah saja untuk saat ini, sepertinya aku benar-benar salah mengambil langkah, gumam Ryan dalam hati.
"Iya, kalau untuk yang satu itu terserah saja. Pulanglah, bajumu perlu diganti," balas Aila melembut.
Seutas senyum cerah terpampang di bibir Ryan. Setelah beberapa detik dia melompat keluar dari jendela kamar Aila.
***
Tak hanya berbicara tentang kehidupan pribadi, terkadang Anika juga ingin bergabung dengan jejeran manusia pembully. Sifatnya yang asli tak seperti ini, selayaknya anak-anak yang berada di kelas unggulan.
"Aku juga sama saja, sialan!" umpat Anika.
Dia menyesap kopi hitam miliknya sambil menikmati pemandangan malam dari balkon apartemen miliknya. Gadis yang berusia 19 tahun itu berdecih kala merasakan sesuatu melingkari pinggangnya.
Namun, bukannya mengelak, Anika justru menaruh cup kopi miliknya di atas meja kemudian berbalik. Gadis itu melingkarkan tangannya ke leher pria yang sepuluh tahun lebih tua darinya.
"Sudah bangun ya sayangku?" Pria di depannya bertanya sambil menyembunyikan wajah di ceruk lehernya.
Rasa geli menjalar di sekujur tubuh Anika, tetapi dia masih saya mempertahankan tawa gelinya.
"Aku tidak tidur, akhir-akhir sepertinya mas yang mudah kelelahan. Di kantor pasti banyak kerjaan, ya?" tanya Anika.
Suara gadis muda itu melembut seiring dengan usapan di punggungnya. Pria yang dipanggil Anika dengan embel-embel 'mas' itu tampak menyunggingkan senyum manisnya.
"Hem, pekerjaan kantor memang banyak. Namun, bukan itu masalahku, Sayang, akhir-akhir ini istriku sangat rewel. Aish, mengingatnya membuatku muak dan lelah."
Balasan yang didapatkannya membuat Anika diam-diam meringis. Dia ... selalu saja disadarkan dengan fakta yang ada bahwa dirinya tak lebih dari simpanan (hewan peliharaan yang sangat disayang ).
Berkat ayahnya yang hobi menyewa wanita malam di luar sana, Anika mulai mengenal dunia hitam ini. Anika menutup rapat-rapat matanya menikmati segala sensasi naik turun dalam perjalanan hidupnya.
'Demi uang,' bisiknya.
Segalanya akan baik-baik saja kalau ayah maupun ibunya tak berpisah. Semuanya akan aman seumpama kakak laki-lakinya tak berniat melecehkannya. Andai saja sepeser uang jajan masih bisa Anika dapatkan dia juga tak mau bergabung ke dunia ini.
"Sayang? Kau lagi-lagi tidur, ya?"
Suara lembut pria ini membuat Anika ingin menangis. Seumur hidupnya hanya ada laki-laki sialan yang hanya tahu cara meminta tanpa memberi apa-apa. Namun, dia berhasil menemukan sosok 'pria' yang lebih tua darinya, mampu memberikan pelukan kehangatan juga segala hal yang ia inginkan.
Jadi, bagaimana bisa Anika keluar dari dunia luar biasa yang memanjakannya ini?
"Nggak kok, Mas. Aku cuman lagi mikir aja mau les dimana biar pinter," balas Anika.
"Ngapain mikir? Kamu tinggal pilih, Sayangku. Jangan khawatirkan masalah biaya, demi kamu apapun dan berapa pun tak masalah. Jadi tolong tetap di sampingku."
***
Kabar pindahan Aila tersebar dengan cepat. Beberapa guru yang memang tak begitu suka saat Aila memprotes nilainya pun diam-diam bersorak menyuarakan kebebasan mereka.
Tentu saja Ryan hanya bisa menertawakan nasibnya sendiri saat ini. Sementara Ariel yang sudah anteng duduk di samping Ryan pun bersiul pelan. Duduk di samping si pintar adalah salah satu cara untuk menghemat biaya kursus, kata Ariel.
Meskipun demikian sebetulnya dia merasa tak enak lada Ryan. Mereka satu SMP dan sering kali berada di klub yang sama, kecuali Aila semua orang tahu seberapa keras perjuangan Ryan di belakang panggung. Memang Aila pintar di akademik, urusan lainnya tentu saja Ryan yang melakukannya.
"Kalau sedih telepon saja dia, bodoh," maki Ariel.
"Sudah berkali-kali, sepertinya nomor gue lagi-lagi diblokir. Riel, dia bener-bener niat kabur dari gue deh kayaknya," balas Ryan dengan suara parau.
Ariel menepuk-nepuk punggung Ryan pelan. "Nggak akan jauh, lagian kan cuman pindah sekolah bukan pindah rumah. Lo kenapa akhir-akhir ini agak lebay sih bro? Gue aja kalau sama An—"
Merasa hampir saja keceplosan, Ariel buru-buru memperbaiki ucapannya. "Maksudnya gue sama adek aja gak gitu-gitu amat. Kita beda sekolah gak masalah yang penting masih ketemu di rumah."
Haruskah Ariel bersyukur karena Ryan tak menyahut?
Itu memang bagus karena bisa saja Ryan tak menyadari ucapannya di awal tadi. Aka tetapi bukan berarti Ariel senang diabaikan. Dia meringis, hendak kembali menghibur Ryan, tapi ....
"Ariel! Minta uang buat beli es krim dong. Gue lagi bokek, hehe."
... suara Anika lagi-lagi mengalihkan dunianya.
-Bersambung ....