Plak!
Baru juga Ayka kembali kemarin, kini semua pusat perhatian orang tuanya sudah terarah pada Aila. Hari pertama sekolah, dia terlambat bangun karena salah menyetel alarm.
Hal seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya, makanya tadi Aila sempat bingung dengan dirinya sendiri. Jelas-jelas ini menyetel alarm dua jam lebih awal, lantas bagaimana bisa dia terlambat bahkan tak diijinkan sekolah begini?
"Sudah kelas dua belas bukannya makin pintar malah semakin gila saja kamu ini, Aila! Kalau sudah malas sekolah sana pergi tanpa membawa bekal apapun dari rumah ini! Kamu pikir kami bersedia merawat anak yang bodoh dan pembangkang sepertimu ini?!"
Suara menggelegar sang bunda menusuk sudut hati terdalam Aila. Pergi dari rumah memang pilihan yang tepat dalam situasi seperti ini. Akan tetapi apakah dia bisa bertahan hidup tanpa sepeserpun yang dan secuil pengalaman?
Haha, jawabannya adalah tidak. Dia hanya akan mati kelaparan jika nekat melakukannya. Dua mingguan saja, sudah cukup selama ini dia bermimpi dan bisa bermain sesuka hati. Ayka sudah kembali kini waktunya untuk kembali ke penjara kegelapan ini lagi.
"Awh Bunda!!!" teriak Aila kala sang bunda menjambak rambut yang telah dikucir kuda olehnya.
"Makanya kalau diajak ngomong itu jawab! Mau sampai kapan kamu diam saja, hah?! Punya mulut gunanya apa Aila?!"
Teriakan sang Bunda makin menjadi-jadi saja. Aila ingin menangis, tetapi saat ayahnya menatap tajam segala isakan perlahan lenyap tak bersisa.
Belum dilepas jambakan ini, Aila sudah mendapatkan tendangan di betis dari sang Ayah. Dalam hati dia menertawakan dirinya sendiri saat ini. Haruskah dia membolos untuk alasan konyol seperti ini?
***
Ryan yang kini sudah tiba di sekolah dan duduk di bangku kelas 12 pun tampak gelisah. Dia bahkan membentak Anika yang hendak duduk di sampingnya.
Ya, bangku sebelah Ryan saat ini benar-benar masih kosong. Akan tetapi dia tak membiarkan siapapun duduk di bangku tersebut kecuali Aila yang entah ada di mana sekarang. Berkali-kali Ryan menelpon, tetapi tak satu pun panggilan darinya yang diangkat oleh Aila.
"Dia sakit atau sengaja mengabaikanku?" tanya Ryan dalam hati.
Saat ada masalah Aila akan memberikannya kabar terlebih dahulu, tapi kali ini dia berbeda. Entah bagaimana bisa sudah jam pelajaran kedua Ryan belum mendapatkan kabar apapun.
"Bundanya pasti marah-marah lagi," gumam Ryan lirih.
Untungnya karena baru hari pertama dan para guru-guru sedang bergabung dalam MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah ) jadi sama sekali tak ada pembelajaran. Hanya ada pembagian jadwal beserta guru yang mengajar juga penentuan wali kelas baru.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, siswa di kelas lain diacak sedangkan untuk kelas ini selaku unggulan jadi tak akan mengalami perubahan.
"Lo mau sampai kapan nungguin dia?" Ariel, sosok yang memang sebetulnya dekat dengan Ryan mengajukan pertanyaan.
"Entah, sampai gue nggak hidup di dunia ini lagi mungkin," balas Ryan sungguh-sungguh.
Seperti biasanya, kalah ini Ariel pun memukul lengan Ryan pelan. "Lo semestinya sadar kalau kami semua ada di pihak yang bener. Gue tahu Lo sayang sama Aila, tapi ada batasannya, Yan. Jangan lupa kalau saat-saat kerja kelompok dia bukan apa-apa tanpa kami."
Ryan juga tahu fakta satu ini. Sedari awal pun semuanya memang tak bisa hidup sendirian di dunia yang kejam. Selama dua tahun di SMA, tanpa sepengetahuan Aila, Ryan selalu saja diam-diam mengemis belas kasihan Ariel juga Anika.
'Hanya itu satu-satunya cara agar kami bisa bertahan bersama, meskipun sebetulnya yang kulakukan benar-benar salah,' gumam Ryan dalam hati.
Namun, di permukaan dia harus bersikap baik, kesalahannya bisa mempengaruhi Aila. Tak boleh banyak berulah, jangan bertingkah dan harap bersabar.
"Nggak bisa, Riel. Lo sendiri tahu gimana gue, dari SMP ya gini, 'kan? Gue itu say—"
"Lo sayang sama Aila sampai mau modar kalau tu anak nggak bisa dilihat dimana-mana bukan? Serah loh deh Yan, cuman bisa berdoa semoga keadaan aman-aman aja!"
Ryan tertawa geli, dia menatap Ariel yang kini sedang menggeleng kecil. Dia saat ini tak salah bukan? Lantas kenapa si sialan ini membuatnya berakhir seperti ini?
***
Hanya ada satu hal yang ingin Ayka katakan saat ini. Misinya benar-benar berhasil. Baru saja tiba di Swiss pagi tadi dia sudah mendapatkan informasi menyenangkan.
"Jadi kamu sudah mengurung anakmu yang nakal itu, Maya?"
Suara neneknya tampak melakukan panggilan video dengan sang bunda. Terima kasih untuk Aila yang telah membuat mood-nya kembali. Tiga hari belakangan Ayka merasa sangat gagal karena tak berhasil merayu Ryan, akan tetapi segalanya menjadi sangat berubah saat ini.
"Aku menang, Mika," bisik Ayka lantas mulai memoleskan bedak di pipinya yang memerah karena blush on.
Gadis yang berusia 17 tahun itu menyampirkan tas-nya kemudian mendekati sang nenek. Seolah sudah terbiasa, Ayka langsung mendapatkan 50 dollar uang sakunya, tanpa ada drama pamitan dia langsung pergi.
Memang berbeda dengan Aila yang mendapatkan uang saku 50 ribu perhari. Dilihat dari sisi kelayakan, Ayka jelas menang lebih dengan uang jajan sebanyak itu. Tak hanya itu saja, berangkat sekolah pun Ayka mendapatkan fasilitas mobil, berbanding terbalik dengan Aila.
"Dia kan pasti lelah karena harus menunggu angkot pagi-pagi begini. Bukankah sebagai saudara yang baik aku juga harus sesekali membuatnya tak bersekolah supaya tidak panas-panasan?" kekeh Ayka.
Dia bersiul, cuaca dingin Swiss membuatnya harus mengenakan mantel tebal. Mobil Civic miliknya sudah terparkir cantik di teras, Ayka menyapa tetangganya dengan ramah.
"Morning too Ayka, where you'r grandma?"
"On my kitchen. Biasanya jam segini dia kan sedang sibuk menyeduh kopi susu aneh itu," balas Ayka.
Temannya yang memang berdarah campuran Indonesia pun tertawa. "Bagaimana pun juga dia itu nenekmu anak nakal. Btw, boleh menumpang seperti biasanya, 'kan? My old brother leaving me again."
Ayka tentu saja langsung setuju karena mereka memang satu sekolah. "Come on, akan kuantarkan tuan putri dengan selamat!"
Keduanya tergelak lantas melenggang pergi. Di samping pagar rumah teman Ayka itu, sang kakak yang digosipkan hanya mampu meludah dengan sembarangan.
"Dia yang sering meninggalkanku, bagaimana mungkin malah membuatku menjadi bhadjingan?!"
"Mulutmu!"
Seruan sang Mama membuat laki-laki yang setahun lebih tua dari Ayka itu terburu-buru melenggang pergi. Sedangkan di dalam mobil Ayka melirik gadis di sampingnya yang sibuk melakukan siaran langsung.
"Kau tak mau kakakmu diketahui mereka semua bukan?" Ayka menebak tepat sasaran hingga gadis di sampingnya langsung memencet mute di layar ponsel apel miliknya.
"Haha, dia terlalu tampan untuk wanita belingsatan di luaran sana, Ayka," balas gadis itu.
Dia tampak bersiul kesenangan lantas kembali melanjutkan ucapannya. "Lagian siapa yang mau memiliki saudara ipar yang hanya tahu cara memuaskan kakakku di atas ranjang itu? Ah ngomong-ngomong, terakhir kali kau memakai pengaman saat berkunjung ke rumahku malam itu, 'kan?"
Wajah Ayka memucat seketika. Bagaimana bisa gadis ini tahu?
-Bersambung ....