Ryan menatap Aila yang baru saja datang. Dia menyilangkan tangan di depan dada sambil terus memelototi gadis mungil di depannya saat ini.
"Kenapa baru pulang jam segini, Dek?" tanya Ryan sambil tersenyum paksa.
Aila yang sadar telah melakukan kesalahan hanya mengangkat bahunya saja. Dia mencoba untuk tetap tersenyum sekali pun ingin tertawa ngakak.
"Ai? Aku tanya sama kamu loh, kenapa jam segini baru pulang? Padahal jelas-jelas kamu tahu kalau aku tersiksa berduaan sama Ayka!" Ryan berseru tak terima di depan pagar.
Aila yang hampir lima belas menit berdiri di depan sini pun tak kuasa untuk menahan tawanya. Dia ingin sekali mengatakan pada cowok ini untuk segera menyingkir saja, tetapi wajah imut Ryan menghibur hatinya.
"Aku belum pernah ke bioskop kamu pasti tahu hal ini, 'kan? Nah, aku tadi ke sana da keasikan makanya berakhir seperti ini. Jadi, haruskah kamu melarangku masuk, Yan?" balas Aila menggunakan bahasa selembut mungkin.
Haha, tentu saja dia langsung berhasil melakukannya. Terbuktikan dengan Ryan yang segera menyingkir.
Keduanya kini berjalan bersisian masuk ke rumah, berhubung semua orang sedang keluar mereka bisa sebebas mungkin. Kini Ryan bahkan dengan santai masuk ke kamar Aila, dia menyalakan lampu dan menggeleng miris melihat kondisi kamar ini.
"Mau mandi dulu," kata Aila.
Ryan hanya mengangguk saja. Cowok itu menatap sekeliling kemudian mulai membereskan barang-barang milik Aila.
Entahlah, Ryan sama sekali tak merasa jijik melihat tumpukan bra atau CD. Aila memang gadis yang teliti, tetapi itu hanya menurut penggambaran gadis itu saja. Di mata Ryan, kamar Aila yang terbengkalai seperti ini adalah bukti bahwa dia merasa bebas.
Haha.
Lain lagi saat dia habis dipukul atau ditampar kedua orang tuanya. Dia pasti akan menangis sambil diam-diam membersihkan seluruh kamar hingga tak ada debu satu pun itu. Jujur saja Ryan lebih suka membersihkan kamar Aila karena dengan begitu dia jadi tahu suasana hati sang gadis.
"Yan aku nggak punya CD!"
Seruan Aila membuat Ryan meringis. Dia menatap lemari di ujung ruangan lantas mendekatinya. Begitu membuka lemari, dia mencari-cari barang yang Aila butuhkan. Tak semudah yang dibayangkan, ia bahkan harus mencari disela-sela sampai menemukannya.
"Masih ada satu," balas Ryan.
Dari sela-sela pintu kamar mandi Ryan menyerahkan benda itu. Dia cowok, hampir berusia 18 tahun saat ini, dalam artian pikirannya pun terkadang bisa mengarah pada sesuatu yang sangat buruk. Untuk saat ini Ryan amat bersyukur karena dia bisa menahan dirinya.
Begitu selesai menyapu dan menata seluruh barang-barang Aila, kini Ryan merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk sang gadis. Mungkin karena tubuhnya yang benar-benar lelah hingga matanya mulai terpejam.
***
Sekiranya satu jam untuk Aila mandi. Begitu keluar gadis itu mendapati Ryan yang sedang tertidur dengan pulas di atas ranjang miliknya. Tentu saja melihat hal tersebut membuat Aila tersenyum sangat lebar, dia merasa bahwa kali ini gagal sebagai seorang sahabat cewek.
"Bagaimana mungkin dia membersihkan semua ini dalam waktu singkat? Dasar Ryan, bisa-bisanya dia membuatku merasa bersalah," gumam Aila.
Kini dia membiarkan Ryan tertidur. Masih pukul 8 malam, rasa-rasanya dia bisa membiarkan Ryan bertahan di sana selama lima belas menitan sambil mengeringkan rambutnya ini. Sesekali Aila meringis saat Ryan hampir saja terjatuh dari kasurnya.
"Dia pasti kelelahan," kekeh Aila.
Segera Aila mendekati Ryan begitu selesai menata rambutnya. Belum sempat Aila membangunkan Ryan, dia mengangkat ponsel milik cowok itu yang berkedip-kedip. Rupanya Tante (Mama Ryan) yang menelpon.
["Ryan!"]
Tersenyum tipis Aila saat mendengar teriakan sang Tante. Meskipun tak begitu akrab dia paham seberapa Ryan disayang oleh keluarganya. Haha, masalahnya Aila iri, dia pun juga ingin mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu.
"Malam Tante, maaf sebelumnya tapi Ryan ketiduran di rumah saya jadi belum pulang. Ini sudah mau saya bangunkan kok," jelas Aila dengan senyumannya yang tak luntur sama sekali.
Dia tahu bahwa sang Tante tak akan melihat senyuman ini. Hanya saja tak ada larangan untuk melakukannya bukan?
["Duh Ai, harusnya kamu kabarin Tante dong. Anak itu akhir-akhir ini sering pulang malam gara-gara Ayka. Kalau sama Ayka dia pasti ke tempat-tempat aneh, untungnya kali ini ada kamu jadi Tante bisa tenang,"] ucap Mama Ryan dengan suara yang begitu lembut.
Aila ingin bertanya-tanya, apakah Ryan benar-benar aman bersamanya?
Memangnya apa yang saya dengan Ayka yang merupakan saudara kembarnya bahkan memiliki wajah yang sama persis? Aila memiliki begitu banyak pertanyaan dalam benaknya saat ini. Namun, jangankan memikirkan hal itu dia malah tertawa geli.
"Hehe, maafkan aku Tante," tuturnya yang mulai berbicara santai.
["Aduh, nggak perlu meminta maaf begitu sayangku. Tante tahu kalau kalian selama ini selalu saja bersama saat menghadapi apapun, bahkan sering nggak tidur buat belajar bukan? Jadi, nikmati waktu berdua dan ... kalau bisa jangan bawa Ayka, okey?"] Mama Ryan benar-benar terdengar sangat bersemangat.
Sikapnya seolah-olah menunjukkan bahwa dia menyetujui apapun yang Aila lakukan pada Ryan. Duh, Aila jadi ingin membuang sosok yang dianggapnya Kaka itu ke kali, hehe
"Okey Tante, aku bakalan sama Ryan terus kok hehe. Maaf ya karena Ayka agak merepotkan dia akhir-akhir ini, kalau gitu aku tutup dulu teleponnya," balas Aila dengan senyumannya.
["Iya, Ai, selamat malam cantik!"]
"Malam juga, Tante."
Begitu selesai menelpon, Aila memegang da_danya lantaran mendapati Ryan yang duduk dengan tampang kusutnya. Dia mengulurkan ponsel milik Ryan kemudian tersenyum lebar.
"Bukan salahku, maksudku tadi Tante tiba-tiba saja menelpon. Rasanya tak cukup pantas untuk membiarkannya begitu saja, bukankah aku cukup baik?" Aila dengan santainya mengatakan kalimat tersebut.
Ryan menguap sambil menerima ponsel miliknya. Sudut mata cowok itu tampak berair, dia tampak mengumpulkan nyawa, mungkin saja setengahnya masih melayang entah kemana.
" Baguslah kalau begitu, aku akan melanjutkan tidur lagi," timpal Ryan.
Tentu saja Aila langsung menahan lengan cowok itu. "Nggak ada tidur lagi, Yan! Kamu harus pulang, ini sudah jam setengah sembilan lebih loh. Kalau nggak pulang nanti Tante khawatir."
Bukannya menurut Ryan justru menyahut datar. "Lah bukankah tadi Mama sudah mengatakannya? Begini, By, saat bersama denganmu Mama tak pernah merasa risau. Lagi pula kamu calon mantu idamannya."
Ryan mungkin belum sadar bahwa saat ini Aila sudah mengangkat bantal miliknya, cowok itu baru tersadar kala kepalanya dihantam benda tersebut.
"Awh, By!"
"Apa mau protes?!" seru Aila.
Ryan yang mendapati sisi beringas gadis itu hanya meringis saja. "Aku yang salah, maaf okey?"
"Kalah merasa bersalah ya pulang sana buruan!"
Melihat Aila sepertinya tak bisa diajak bekerja sama, dengan malas Ryan berdiri. Dia melangkah menjauh, bersiap melompat dari pintu, tetapi cowok itu justru kembali lagi. Tak cukup dengan hal itu Ryan mencium kilat kening Aila hingga gadis itu mengumpat habis-habisan.
Setelah berhasil melarikan diri Ryan mengepalkan kedua tangannya ke udara.
"Yes, dapat!" serunya bersemangat.
-Bersambung ....