Chereads / Bukan Novel Romansa dalam Kuil Suci / Chapter 6 - Petunjuk Kedua

Chapter 6 - Petunjuk Kedua

Kanan dan kiri jalan padat oleh orang-orang. Aku kira suasananya sarat akan kebisingan, yang terjadi justru sebaliknya. Atmosfir di sepanjang jalan tidak jauh berbeda sewaktu peribadatan di Kuil Suci. Orang-orang ini hanya diam memperhatikan, sedangkan aku duduk manis seraya memainkan lira di dalam kereta kuda dengan atap terbuka. Pengalaman pertamaku untuk diarak seperti ini. Sorot-sorot pemujaan itu membuatku merasa tidak nyaman.

Aku sedang melakukan sebuah kegiatan setahun sekali, yaitu menyapa seluruh kerajaan. Aku ditemani oleh satu pelayan dan puluhan kesatria Kuil Suci.

Ngomong-ngomong, tanganku sudah memainkan melodi yang sama berulang-ulang semenjak langit masih cerah hingga hampir ditelan oleh kelamnya malam ... tanpa berhenti dan jari-jariku tidak pegal sama sekali.

Tidak heran, sih. Aku saja dapat menanggung hampir satu warsa tanpa tidur, hal-hal kecil seperti ini bukan apa-apa.

"Yang Suci, kita akan tiba di kastel," ucap si kusir yang juga kesatria Kuil Suci keras di tengah-tengah entakan kaki kuda-kuda dan permainan liraku yang terdengar nyaring seiring dengan jalanan yang jarang oleh bangunan dan warga.

Tak lama kemudian, sebuah gapura super besar dan jangkung muncul dari kejauhan. Gapura itu disambungkan dengan tembok layaknya benteng abad pertengahan di Eropa. Tidak seperti kebanyakan gapura di Indonesia yang hanya dipasang di sisi kanan dan kiri jalan.

Sekelompok penjaga yang sedang berpatroli di atas kuda mereka di sana langsung mengelilingi kami. Tidak mungkin mereka tidak tahu bahwa rombongan kami berasal dari Kuil Suci. Mereka seharusnya dapat mengidentifikasi simbol Kuil Suci yang terpasang di kereta dan baju kesatria Kuil Suci. Mungkin profesionalisme.

"Kami dari Kuil Suci," jawab salah satu kesatria barisan depan kepada pimpinan kelompok penjaga. Pimpinan itu menganggukkan kepalanya dan berkata, "Silahkan masuk." Penjaga-penjaga itu lalu memberi jalan untuk kami selepas mendengar jawaban pemimpin mereka. Sebelum berangkat, para kesatria turun dari kuda dan menyalakan lentera yang bergelantungan di leher kuda mereka.

Salah satu penjaga ke depan menuntun kami. Ternyata, perjalanan masih cukup panjang untuk benar-benar sampai di kastel. Jalanannya berliku-liku dan menanjak. Kastel ini didirikan di daerah dataran tinggi. Lebatnya hutan di sepanjang jalan membuatku merasa seakan-akan sedang memasuki wilayah kastel terpencil milik bangsawan vampir berusia ribuan tahun. Mampu membuat bulu kuduk berdiri. Ditambah, hari kian pekat. Kendatipun di sekitar kami cukup terang oleh pemancaran lentera, aksen situasinya masih terasa mengecutkan. Sunyi senyap, tidak ada satu pun daripada rombongan merilis bunyi. Hanya derap kuda, suara jangkrik, dan deru angin malam yang terdengar ritmis.

Tidak tahan, aku memainkan lira.

Sepertinya aku salah langkah. Entah mengapa atmosfirnya tambah menegangkan. Aku mendapat ilusi bahwa aku adalah peri hutan cantik, tetapi jahat yang sedang menghipnotis mangsa manusia dengan alunan-alunan syahda ....

Aku menghela napas dan meletakkan lira kembali.

"Yang Suci, sebentar lagi kita akan sampai." Sesuai omongan si penjaga, sebuah gapura kecil muncul sesudahnya. Jalanan yang terbuat dari batu-batu dijajar dengan rapi juga merupakan penanda.

Setelah sekian lamanya, sebuah kastel raksasa terlihat dalam netra, akhirnya. Ada sebuah kolam air mancur besar di tengah-tengah luasnya halaman kastel. Para penjaga yang sedang berjalan patroli berhenti sejenak untuk memberi salam hormat. Penjaga yang menuntun rombongan kami turun dari kuda setelah tiba di depan lobi. Pelayanku---dia menaiki kereta yang berbeda denganku---menginformasikanku untuk turun. Rombongan kami tidak membawa banyak barang. Aku hanya membawa diri dan lira, yang kemudian aku taruh di ruang tak kasat mata.

Aku hanya ditemani oleh pelayan dan seorang kesatria. Sisanya mungkin sedang menuju ke istal untuk memarkirkan kuda dan kereta.

Di tengah-tengah lobi, kami disambut oleh beberapa penjaga kastel dan seorang pria yang aku yakini sebagai pangeran ...? Pria itu kelihatan seperti berusia enam belas tahun dan tidak mengenakan baju zirah penjaga, melainkan satu set busana yang selayaknya menunjukkan si pemakai merupakan seorang bangsawan.

Dia tersenyum dan membungkuk. Tubuhku balas membungkuk dengan sendirinya. Hanya sebuah bungkukan singkat dan tidak rendah. Meski begitu, bukankah orang suci adalah eksistensi mahaluhur kedua di dunia ini?

Dia mengulurkan tangan, yang dibalas oleh uluran tanganku. Dia membawa telapak tanganku ke bibirnya, mencium buku-buku jariku dengan lembut. "Selamat datang di Kerajaan Annairam, Yang Suci. Izinkan hamba memperkenalkan diri. Nama hamba adalah Xavier dan hamba adalah putra mahkota saat ini."

Orang sekelas putra mahkota membahasakan dirinya sebagai hamba dan dengan cerobohnya memperkenalkan diri ... menandakan bahwa kedudukannya dibawah Aeris. Aeris cukup murah hati untuk membungkuk.

"Izinkan hamba untuk menemani Yang Suci ke kamar yang telah dipersiapkan."

"Panggil pelayan dan antarkan sang kesatria beserta pelayan Yang Suci ke kamarnya." Pria ini lalu melambaikan tangannya ke sekelompok penjaga, mengisyaratkan untuk pergi.

Hanya tersisa aku dan pria ini. Aku mengikutinya di belakang. Dia berbicara tanpa henti dalam sepanjang perjalanan. Dia berusaha menciptakan percakapan dua arah, tetapi Aeris adalah tipe orang yang tidak suka bicara dan dingin. Tentu saja respon yang didapatkannya adalah kebisuan. Dia pun mengganti metodenya. Seperti sedang mendongeng, tetapi intisarinya tentang kehidupan pribadinya, terutama kehidupan masa kecilnya.

"Yang Suci, ini adalah kamar Anda. Jika ada sesuatu, Anda cukup membunyikan bel di kamar, tidak perlu keluar mencari pelayan. Hamba akan memerintahkan beberapa pelayan untuk berjaga di sini segera." Dia membungkuk sececah sebelum pergi.

Aku langsung masuk dan menutup pintu dengan punggung.

Kesimpulan yang aku dapat dari cerita putra mahkota adalah usiaku jauh lebih tua darinya. Pertemuan ini adalah pertemuan yang kesekian kalinya. Aeris pertama kali berjumpa dengan putra mahkota ketika dia masih bocah ingusan. Hubungan mereka dideskripsikan oleh putra mahkota sebagai 'teman'.

Ah, aku tidak percaya.