Sekumpulan tawa liar meledak ke seluruh ruangan, sebelum lambat laun mengecil dan tidak terdengar setelah pintu kamar mandi ditutup.
[ Apakah tuan rumah ingin mengekstrak memori Dewi Nur Larasati sekarang? Ya / Tidak ]
Mengabaikan pertanyaan sistem, aku buru-buru keluar dari bilik. Ada seorang gadis tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Gadis itu memang tidak bersimbah darah dan tidak terlalu dipenuhi oleh lebam, tetapi bukan berarti keadaannya tidak parah. Wajahnya bengkak dan merah.
UKS oh UKS, aku tidak tahu di mana itu!
Aku bergegas ke luar kamar mandi, ingin bertanya kepada siapa pun yang ada di sekitar sini. Sialnya, aku hanya menemukan kekosongan. Sepertinya masih dalam jam pelajaran.
"Sistem, berikan aku memori tubuh asli, cepat!" teriakku dalam hati.
Aku tidak mengerti apa pun soal pertolongan pertama. Aku takut akan mengakibatkan keadaannya semakin parah, sehingga aku putuskan hanya menatap gadis ini sambil berdoa ....
Malangnya gadis ini .... Maafkan aku ....
[ Jawaban diterima. Memori milik Dewi Nur Larasati akan ditransferkan kepada Anda mulai sekarang ...1% ....2% .....3% ]
Tak lama setelah sederet kalimat tersebut diujarkan oleh sistem, gelombang pusing mendera kepalaku dan hampir mengakibatkan ragaku kehilangan keseimbangan. Satu demi satu memori asing lekas bertaburan. Rasanya seperti sedang menonton sebuah film. Aku memerosotkan tubuh seraya memijat-mijat lembut kepala.
Kulirik gadis yang masih pingsan ini.
"Sistem, sampai kapan hal ini selesai? Ribuan memori milik raga asli telah kutonton dan kelihatannya masih berlanjut lama ...," keluhku dalam hati.
Hening ....
Ini salahku. Mengapa juga aku tidak mengestrak memori tubuh ini dari awal, sehingga siswi itu bisa langsung aku larikan ke Unit Kesehatan Sekolah.
[ 100%
Proses transfer memori milik Dewi Nur Larasati telah selesai. ]
Tancap gas, aku berjalan cepat menuju UKS untuk meminta bantuan petugas yang sedang berjaga. Aku tidak kuat membawa gadis itu seorang diri. Dalam sepanjang perjalanan, aku juga tidak menemukan siapa pun.
Jadi, mengapa aku tidak menolongnya begitu hadir dalam raga ini?
Pertama-tama, aku terlalu takut. Para penindas itu tidak melancarkan aksi sendirian. Satu lawan empat? Bercanda! Bakat-bakat kriminal gadis-gadis penindas itu juga sudah terlihat sejak dini. Mereka tak akan segan melukaiku yang mengenakan seragam guru. Aku bukan Bunda Teresa, kelangsungan hidupku adalah prioritas. Sebuah keputusan dongok untuk tahu-tahu hadir di hadapan mereka dan berlagak seperti pahlawan yang sedang membasmi kejahatan. Aku bukan tipe orang yang suka mengajak konfrontasi secara fisik. Tidak mempunyai kemampuan itu.
Aku menambah kecepatan begitu melihat papan kecil bertuliskan UKS yang tak jauh di sana. Tanpa bersopan santun mengetuk pintu, aku menyelonong masuk. Untungnya, aku menemukan dua orang petugas. Keduanya berjenis kelamin perempuan dan sedang mengobrol. Melihatku, mereka langsung menghentikan pembicaraan. Salah satu dari mereka menanyaiku, "Selamat siang Bu Dewi, apa ada yang bisa dibantu?"
"Ada seorang murid yang pingsan di kamar mandi perempuan di lantai bawah," jelasku.
Mendengar hal itu, mereka langsung bangkit dari duduknya. Yang satu membuka lemari untuk mengambil tandu, yang satunya lagi keluar dari ruangan.
"Jadi, Mbak, sepertinya anak itu ditindas, " ucapku memecah kesunyian. "Tadi, kan, saya ingin ke kamar mandi. Saya pilih kamar mandi murid karena dekat dengan kelas yang saya ajar. Nah," aku mengatur napas sejenak, "pas saya masuk, saya melihat adegan itu. Saya sendiri tidak kuat untuk membawanya ke UKS dan tadi tidak ada orang di sekitar situ."
"Saya tidak ingin meminta bantuan murid lain. Saya ingin ini dirahasiakan," tambahku.
Siswi itu masih berbaring tak sadarkan diri.
Aku pun tersadar bahwa petugas yang satunya tidak muncul gelagatnya di TKP. "Lha petugas yang satunya mana, Mbak?"
"Sebentar lagi paling sampai dia, Bu."
Tak butuh waktu yang lama untuk orang yang dibicarakan datang. Setelah tandu dibuka, mereka meletakkan siswi itu di atasnya dan membawanya ke UKS.
Ingin kuikuti mereka, tetapi kemudian teringat bahwa murid-muridku telah terlantar cukup lama.
"Saya masih harus mengajar IPA satu. Terima kasih ya, Mbak."
X IPA 1.
Sebuah kelas di mana tokoh utama perempuan dan laki-laki kedua berada. Kulirik singkat pada jam yang terpasang terbalik di pergelangan tangan kanan. Masih ada tiga puluh menit untuk mengajar mata pelajaran Kimia di kelas ini.
Ya, aku adalah guru kimia.
Sebelum Dewi Nur Larasati memulai pengajarannya di SMA ini, SMA Negeri 8 Surakarta, dia sudah diberi tahu oleh guru-guru lain soal kelas mana yang murid-muridnya paling pintar, nakal, dsb. Kata mereka, X IPA 1 adalah kelas IPA terpintar. Aku percaya itu. Aku tidak mendengar keributan kelas ini dari luar, padahal sudah kutinggal cukup lama.
Aku menutup pintu kelas.
"Maaf ya, anak-anak. Ibu tadi menemui sedikit masalah. Ibu tidak ingin basa-basi karena waktu tinggal tiga puluh menit. Mari kita lanjutkan lagi. Sekarang siapa yang mau maju menulis jawaban?!"
Seperti yang diharapkan dari kelas paling pintar. Tanpa ditunjuk, tiga murid sudah maju ke depan.
Aku mengamati seluruh ruangan. Di barisan kedua dari depan ada Indah, panggilan tokoh utama perempuan, sedangkan Putra, panggilan tokoh utama laki-laki kedua, ada di belakangnya persis. Indah sedang berbicara dengan teman sebangkunya, begitu pula dengan Putra.
Seperti namanya dan yang dideskripsikan dalam novel, Indah memanglah indah dengan kulit kuning langsat, rambut panjang yang lurus, dan bibir tipis meranum, serta kedua alisnya yang melengkuh jelita. Bukan jenis kecantikan yang menarik bagiku, tetapi orang buta pun dapat mengatakan bahwa dia cantik.
Putra juga setampan itu. Sama seperti Indah, ketampanannya bukan seleraku.
"Bu, sudah."
"Oh, ya. Siapa nama dan nomor absen kalian?"
"Saya Khadijah absen tiga belas, Bu."
"Saya Dewa absen lima."
"Saya Yohannes, absen terakhir sendiri, Bu."
"Baik, sekarang kalian duduk," suruhku setelah memberi centang kecil pada nama mereka dalam daftar presensi.
Hari ini adalah hari Selasa. Hari ketujuh Dewi menjadi pengajar di SMA ini dan hari kedua di kelas ini.
Dewi masih belum menjadi wali kelas kedua tokoh utama. Hal itu akan terjadi dalam dua bulan lagi. Dia akan menggantikan wali kelas mereka yang meninggal karena penyakit jantung.