Tanpa menunggu aula pemujaan kosong oleh para jemaah, aku beserta para pelayan langsung meninggalkan tempat. Kendati disebut pelayan, mereka sejatinya adalah pendeta. Tentu saja pelayan orang suci tidak akan menjadi orang biasa. Mereka juga mempunyai kekuatan suci, tentu saja tidak diberkati selayaknya milikku. Mereka juga memegang posisi yang amat penting di Kuil Suci, tentu saja dengan aku sebagai bosnya.
Beberapa pelayan yang tidak membawakan harpa pergi menemaniku menuju ke kediamanku. Aku masih saja belum terbiasa dengan tempat ini. Kediaman penguasa Kuil Suci terletak di sudut yang paling dalam dan terpencil. Bukan main privasinya. Sebetulnya, mudah sekali untuk diidentifikasi. Letaknya di lantai paling atas serta hanya ada itu. Selain itu, orang-orang dengan seizinku saja yang dapat menginjakkan kaki di sana, menjadikannya tempat paling sepi di seluruh Kuil Suci.
Hanya saja, ada terlalu banyak lorong di lantai-lantai bawahnya serta lebih banyak hutan daripada bangunan di area Kuil Suci. Hal ini terkadang membuatku kesulitan menemukan tangga. Ditambah, area Kuil Suci sangatlah luas. Tidak seluas kota, tetapi aku pikir seluas satu kecamatan. Serius, aku sama sekali tidak melebih-lebihkan.
Maklum kalau terkadang aku masih tersesat.
Di dunia ini, sihir itu ada. Hal yang membuatku merasa konyol adalah mengapa sihir terbang sama sekali tidak ada?! Bukankah dalam kebanyakan film dan novel, sihir tersebut selalu diceritakan sebagai sihir yang paling dasar? Ngomong-ngomong, aku harus menaiki lebih dari empat ratus anak tangga secara manual!
Akan tetapi, tidak apa-apa. Hanya terjadi satu kali setiap satu bulan pun. Aku tidak tega menyuruh mereka untuk menggendongku sampai ke atas. Hitung-hitung berolahraga juga lah.
Dalam sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun dari kami yang bersuara. Aku sendiri juga tidak mau. Diriku sedang sibuk menghitung anak tangga, ingin mencetak rekor baru. Terakhir kali, aku dapat menaiki seratus tanpa istirahat dan sekarang, anak tangga yang keseratus sepuluh telah terlampaui! Tanpa istirahat!
"Berhenti," kataku. Sayangnya, aku kelelahan setelah anak tangga ke-113. Aku duduk dengan acuh tak acuh, tidak khawatir akan pakaian yang menjadi kotor. Ada sihir untuk mengatasai masalah ini.
Aku pun menatap pelayan-pelayan ini. Oh, lihatlah mereka! Mereka mempunyai sepasang kaki yang keren. Kaki-kakiku rasanya sudah seperti agar-agar, sedangkan mereka, masih berdiri tegak! Mereka kemudian balas menatapku dengan senyum tertutup di wajah. Aku ingin tersenyum balik, tetapi tidak bisa. Bukan karena lebih peduli tentang statusku sebagai orang suci, melainkan, sekali lagi, ada sesuatu yang mengontrol ekspresiku. Sepertinya hal ini terkait dengan kepribadian dari tokoh Yang Mulia Aeris. Aku sama sekali tidak mahal senyum, hanya tidak banyak bersosialisasi, oke?
Tidak tahu sudah berapa lama, aku akhirnya bangun. Sebelum melanjutkan perjalanan, aku melisankan mantra guna membersihkan kotoran apa pun yang menempel pada pakaian secara instan. Setelahnya, aku melempar sebuah kerlingan yang menyiratkan 'aku akan menaiki tangga' kepada salah satu pelayan.
Panorama sepanjang tangga sungguh fantastis. Kanan serta kiriku benar-benar ramai pepohonan. Beberapa ranting dengan dedaunan lebat saling menjulur seakan-akan membentuk langit-langit alami. Saat ini belum memasuki musim gugur, sehingga diriku tidak dihujani dedaunan secara dramatis. Alangkah menyenangkannya mendapatkan lukisan diriku sedang berdiri di tengah-tengah momen ini ....
Akhirnya sampai. Seperti biasa, aku meninggalkan para pelayan tanpa memberi salam perpisahan maupun ucapan terima kasih. Kasar? Ya ... jika bukan karena ekspresiku dikontrol oleh sesuatu yang tidak aku ketahui ini ....
Aku tidak memberikan izin, sehingga mereka hanya bisa mengantar sampai di depan pintu. Memang benar pintu ini adalah pintu kediamanku, tetapi, di baliknya tidak langsung menuju ke ruanganku, masih ada lorong.
Sesudah pintu ditutup, aku spontan memerosotkan diri di lantai. Kakiku pegal sekali, ah! Ngomong-ngomong, aku masih perlu beberapa ratus langkah lagi untuk sampai ke kamar. Serius, aku perlu seseorang untuk menggendongku ....
Mungkin terdengar berlebihan, tetapi aku sama sekali tidak mempunyai kebiasaan berolahraga. Stamina tubuh Aeris pun nampaknya mengikuti stamina asliku. Seharusnya tubuhnya tidak mudah kelelahan, kecuali kalau Aeris juga tipe karakter yang lebih suka diam di kamar dan membaca novel macam aku ....
Payah sekali diriku ....
Lupakan. Aku masih harus jalan kaki.
Konstruksi lorong tak jauh berbeda dengan lorong kastil Eropa abad pertengahan pada umumnya. Biarpun terang oleh pendaran dari obor-obor yang tidak akan pernah padam ini, aku tetap tidak bisa untuk tidak merasa takut. Andaikan yang saat ini melangkah adalah aku yang dulu, sudah dipastikan aku akan berlari sekencang mungkin mencari jalan keluar sambil menangis histeris. Namun, tentu saja saat ini aku menyusuri dengan beraninya, lagi-lagi oleh sebab yang sama dengan aku yang tidak bisa mengelola ekspresiku.
Di sepanjang lorong tertutupi oleh mural dan relief. Aku tidak tahu siapa yang mengerjakan semua ini dan memvisualkan perkara apa saja. Kemungkinan sih berkenaan dengan alam atas, alam bawah, dan masa kejayaan beberapa orang suci. Namun, sepertinya lebih didominasi oleh kisah-kisah orang-orang suci sebelumnya. Aku amati, banyak sekali penggambaran seorang manusia yang berhasil menusuk suatu makhluk jahat yang tipikal dengan sebuah pedang berbalutkan cahaya. Bagai sebuah loop, makhluk yang ditusuk selalu sama. Perbedaannya hanya manusia yang menusuknya. Mungkin berkaitan dengan tugas orang suci yang mengalahkan kegelapan?
Aku juga melihat satu dinding penuh dengan lukisan-lukisan yang menyeramkan dan bertemakan kegelapan, kemungkinan melukiskan alam bawah. Yang terakhir adalah sebuah dinding yang tampaknya mengisahkan alam atas karena kekosongan saja yang kupandang.
Pasti meriwayatkan sesuatu.
Dalam novel, dunia ini diceritakan hanya memiliki satu dewa. Kalau dianalis menggunakan ilmu cocoklogi, 'alam dewa', 'alam atas', ataupun 'alam surga' di dunia ini berarti sebuah alam yang kelewat sepi dan seakan-akan kosong sebab dia sahaja di situ.
Maksa banget? Namanya juga cocoklogi.
Akan tetapi, aku juga belum menemukan relief maupun mural yang sekiranya mengilustrasikan kekhasan alam atas---penuh keindahan, taman bunga, dan sebagainya.
Satu hal yang pasti, semua ini dibuat dengan sedemikian cendayam.