Mengapa aku ngotot mengatakan bahwa aku terlempar ke dunia lain dari sebuah novel bodoh bin tolol yang berjudul Romansa dalam Kuil Suci?
Aku ingin membuat klarifikasi terlebih dahulu. Aku bukan salah satu golongan penggemar novel klise. Namun, kadang-kadang aku membacanya. Terkadang memberi kepuasan batin tersendiri saat aku berhasil menebak alur-alurnya dengan benar dan seperti harapan.
Jadi, mengapa aku ngotot mengatakan bahwa aku terlempar ke dunia lain dari sebuah novel bodoh bin tolol yang berjudul Romansa dalam Kuil Suci? Sederhana, lantaran aku menemukan banyak kecocokan dunia ini dengan yang diuraikan dalam novel itu.
Siapa kira bahwa novel itu betul-betul sampah?
Aku kira saat aku melihatnya terpajang di salah satu rak novel fantasi di sebuah toko buku terbesar di Indonesia--kalian tahu, 'kan---novel itu akan menjadi sebuah novel yang berkualitas. Sampulnya cukup keren, tampak sekali dikerjakan oleh desainer grafik profesional. Sinopsisnya ditulis dengan cukup baik, tidak membeberkan banyak informasi. Singkatnya, luarnya tidak ada masalah dan berhasil membuatku mengeluarkan selembar kertas bergambar Pak Sukarno dan Pak Hatta yang sedang tersenyum.
Kalimat 'jangan menilai buku hanya dari sampulnya' biasanya merujuk ke sampul buku yang jelek, tetapi isinya bagus. Tidak dalam kasusku.
Jalan cerita Romansa dalam Kuil Suci cukup mudah ditebak dan klise. Tidak apa-apa sebab masih dalam batas toleransiku. Sebenarnya, alur dari novel itu tidak seburuk itu. Hanya saja, si tokoh utama perempuan sungguh naif---aku lebih suka menyebutnya tak berotak---dan hih sangat suci!
Ada sebuah adegan ketika dia beserta tokoh utama laki-laki sedang diserang oleh Raja Iblis beserta pasukannya. Dia pun hampir tewas akibatnya. Tokoh utama laki-laki yang melihat wanitanya disakiti seperti itu langsung merasa tak tertahankan dan berniat untuk membunuh Raja Iblis. Mengetahui hal itu, dia langsung menyuarakan ketidaksetujuannya dan mengancam akan bunuh diri apabila tokoh utama laki-laki tidak mau mengambil sumpah untuk tidak membunuhnya. Terpaksa, tokoh utama laki-laki pun melakukannya dan hasilnya adalah ya, begitulah ....
Selain itu, di mana pun ada si tokoh utama perempuan, di situlah bahaya muncul. Dia sangat tidak berguna, bergantung kepada tokoh utama laki-laki sepanjang periode. Kalaupun si tokoh utama laki-laki sedang absen, selalu saja ada tokoh-tokoh lain yang rela menyelesaikan masalahnya. Si pelacur ini layaknya tanaman tali putri, parasit betul!
Sebenarnya, si tokoh utama perempuan sekali pun tidak lemah. Begitu-begitu, dia adalah orang suci alias penguasa Kuil Suci. Penguasa Kuil Suci pada dasarnya anak manusia yang disukai dewa. Yang terpenting ia punya sebuah tanda berpola khas, berwarna ungu, dan bersinar terang tatkala harpa suci dimainkan. Tidak peduli lah anak itu laki-laki atau perempuan dan lahir dari keluarga pengemis, bangsawan, petani, ataupun kerajaan. Begitu tanda itu bersinar, berkat dewa berupa afinitas suci yang amat kuat akan terserap di setiap sumsum tulang dan mengalir di setiap pembuluh darahnya. Apalagi, si tokoh utama perempuan memiliki afinitas suci yang lebih hebat dan tidak dimiliki oleh penguasa-penguasa Kuil Suci sebelumnya.
Mengapa tokoh utama perempuan tidak pernah mengandalkan dirinya sendiri? Sebagaimana yang aku paparkan di atas, Marianna---nama penulis novel Romansa dalam Kuil Suci yang goblok itu---menciptakan tokoh utama perempuan sebagai karakter yang kesucian dan kemurniannya tidak akan bisa dicapai oleh makhluk mana pun. Si tokoh utama perempuan sadar bahwa dia memiliki kekuatan terlampau sakti, tidak ada yang sanggup menendang pantatnya. Oleh karena itu, dia bersumpah tidak akan menggunakan kekuatannya untuk menindas semua makhluk yang ada di dunia ini. Dia hampir meninggal dibunuh? Tidak apa-apa, dia percaya pada kesempatan kedua, ampuni saja! Dia dimanfaatkan? Tidak apa-apa, dia senang menjadi bermanfaat bagi orang lain!
Intinya, baik salah maupun benar keadaannya, si tokoh utama perempuan memegang teguh prinsip lebih baik disakiti daripada harus menyakiti. Prinsip macam apa ini!
Aku tidak tahan dengan hal-hal bersifat masokisme.
Kemudian, hampir setiap bab dalam novel itu gelap dan kejam, dan tokoh utama laki-laki sakit jiwa. Ia berdarah dingin; hatinya sangat hitam dan pengampun sama sekali bukan kata yang tepat untuk mendefinisikan kepribadiannya. Ia obsesif, posesif, pembunuh, manipulatif--apalah itu sebutannya. Intinya, ia bukan orang yang baik!
Kecuali--ya, ada pengecualian. Sifat-sifat jahat dan ekstrem itu seolah-olah tidak pernah menjadi bagian dari diri tokoh utama laki-laki saat ia bertemu dengan, siapa lagi jika bukan si tokoh utama perempuan. Ia menjadi sangat penyayang, sabar, dan penuh pengertian, sungguh kontras bukan?
Konyol!
Apabila dinalar, makhluk sesuci tokoh utama perempuan tidak akan sudi dengan makhluk sebajingan tokoh utama laki-laki. Selain itu, mana mungkin pribadi serupa tokoh utama laki-laki mengenal cinta dan kasih sayang.
Karakterisasi tokoh utama perempuan dan tokoh utama laki-laki sungguh tak masuk akal! Jika bukan karena selembar kertas berwarna merah yang cukup untuk makanku selama satu minggu, tentu aku tidak akan lanjut membaca setelah bab ketujuh. Sama-sama seratus ribu, tahu begini periode itu aku beli terang bulan satu lingkaran penuh rasa kitkat! Kasihan mataku, tersiksa membaca novel sampah itu sampai selesai. Ngomong-ngomong soal terang bulan, aku jadi ngiler ....
Mengapa pula Ghrametdia, sebuah grup penerbit mayor, meloloskan naskah tolol ini?!
Aku paling benci apabila karakterisasi tokoh utamanya tidak masuk akal. Entah sebagus apa penyusunan diksinya, entah seunik dan serumit apa jalan ceritanya, jika aku menemukan ada satu saja dari tokoh-tokoh utamanya ternyata gak ngotak, hanya satu kata dariku: TIDAK. Sebagai pembaca senior yang telah membaca ratusan novel dan jutaan kata, bab-bab akhir dari novel dengan tokoh utama seperti ini biasanya dieksekusi dengan buruk. Sesuai asumsiku, Romansa dalam Kuil Suci juga tidak luput.
Jujur, aku sudah lupa konten bab-bab terakhirnya. Yang jelas, ketika membacanya, aku kerap berekspresi: Hah? Apa-apaan? Ekspresi ini adalah jenis ekspresi yang biasa aku keluarkan tatkala membaca bab-bab terakhir suatu novel yang kurang gereget.
"Yang Suci Aeris."
"Yang Suci Aeris."
"Yang Suci Aeris."
"Yang Suci---"
Aku menghentikan langkah dan berbalik. "Katakan."
Wanita berpakaian serba putih serupa orang kudus di depanku inilah yang baru saja memanggil.
"Pemujaan akan dimulai sebentar lagi. Izinkan kami menjemput Anda ke aula pemujaan." Dia menundukkan kepala ketika mengatakannya. Aku merespon dengan "ya" lirih. Aku tidak peduli apakah dia akan mendengar jawaban itu atau tidak. Lagi pula, aku tidak bisa menjawab "tidak". Bahkan tanpa aku jawab pun, orang-orang di belakangnya yang sama-sama berpakaian serba putih tetap akan menjemputku.