Aku berjalan di depan mereka, menuju ke aula pemujaan. Masih aula yang sama kala aku pertama kali membuka mata di dunia ini. Meski sudah sangat familiar, aku masih tidak bisa tidak terpana oleh kemasyhuran dan kepermaian arsitektur ruangannya.
Begitu aku memasuki mimbar, semua orang bangun dari duduknya. Mereka semua diam. Suasana beralih sedemikian sunyi. Kalian tidak akan pernah menebak bahwa ada dua ribuan orang yang berkumpul di sini jika memejamkan mata sedari awal. Keseluruhan netra itu tertuju padaku. Andaikan diriku sekarang adalah diriku sebelum datang di dunia ini, ditelanjangi oleh ribuan mata sekaligus sudah pasti langsung membuatku tidak sadarkan diri.
Sebuah aula yang diperuntukkan bagi masyarakat dari berbagai kalangan untuk kepentingan ibadah sudah semestinya bukan alang kepalang besarnya. Aku, sebagai orang suci kala ini, harus memimpin ibadah setiap bulan dan menyapa seluruh kerajaan setiap satu tahun. Kebetulan pada hari ini, aku harus melakukan keduanya.
Orang-orang yang tadi menjemputku juga berjalan ke mimbar. Mereka bukan orang suci sepertiku, melainkan para pelayan orang suci. Dibawanya alat musik mereka masing-masing, sedangkan milikku sudah dipersiapkan sebelum aku datang. Aku lupa nama daripada alat musik yang mereka pegang, pastinya bukan harpa suci. Hanya orang suci yang dapat memainkannya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya lambat-lambat, sebelum mengatur diri di atas bangku batu marmer. Lantas, aku memiringkan harpa hingga bertumpu di bahu. Pastinya aku tidak bisa memainkan alat musik ini. Aku bahkan tidak bisa memainkan gitar akustik, sebuah alat musik yang kata orang-orang mudah sekali untuk dimainkan. Namun, aku yakin sekali seisi aula menyaksikan adegan-adegan;
Sang orang suci duduk tegak bak buluh. Sikunya ditekuk bagaikan burung ibis yang akan melambung. Sesudahnya, dia menempatkan jari-jari pada senar dan dengan luwes menari-nari melawan kunci nada. Jemari kakinya naik turun mengikuti irama. Melodi yang memukau segera memenuhi aula. Terdengar sungguh menyenangkan dan mengistirahatkan jiwa lelah setiap orang yang hadir di sini.
Mata sang orang suci terpejam. Bibir merah mudanya terbuka dan lantunan nada yang sedemikian apik bergema. Dia bernyanyi bagai burung bulbul. Seluruh tubuhnya diselimuti oleh cahaya suci keemasan.
Para pendeta yang mengiringi sang orang suci seakan-akan tembus pandang. Permainan musik mereka yang tidak kalah syahdu serasa angin lalu. Ada satu objek belaka dalam netra serta minda orang-orang ini, sang orang suci yang lantas membuka sepasang manik ungunya.
Sang orang suci terlalu kudus, seolah-olah bukan bagian dari dunia ini. Dengan melihat sosoknya dari kejauhan saja dapat menenangkan sukma serta menyegarkan tubuh yang letih. Dia laksana dewi dari alam surga yang turun ke dunia fana.
Nyanyian dan permainan harpaku pun berhenti seiring dengan aku membuka mata. Para pelayan juga berhenti bermain seiring dengan kidung dan melodi harpaku semakin mengecil. Selain tidak bisa bermain harpa, aku juga tidak bisa bernyanyi. Tidak ada dalam sejarah kata 'aku' dan 'berbakat' bergabung menjadi satu frasa.
Lantas, bagaimana mungkin aku memunculkan adegan-adegan itu? Jadi, pada kala itu, aku sedang tidak menjadi diriku. Memang secara teknis, aku bukan lagi seorang Kirana Ayu yang berusaha bertahan hidup seusai di-PHK.
Akan tetapi, secara harfiah.
Ada sesuatu yang aku tidak tahu apa itu mengambil kontrol atas diriku. Sesuatu itu mengendalikan sebagian besar tindakanku. Berdasarkan pengamatanku, tindakan-tindakan yang tidak relevan tidak akan dikendalikan, seperti berjalan-jalan di sekitar Kuil Suci sebelum aku memulai ibadah dan tidak langsung menoleh waktu dipanggil oleh para pelayan pagi ini.
Aku masih belum tahu apakah terpaut dengan plot novel Romansa dalam Kuil Suci atau karakter Yang Suci Aeris. Aku pernah mencoba untuk menjawab 'tidak' kepada para pelayan, tetapi kata 'ya' yang keluar. Aeris sendiri adalah karakter sampingan, kalau tidak salah hanya disebutkan satu kali, yaitu pada bab pertama waktu dia pensiun menjadi orang suci setelah dua ratus tahun lamanya dan melakukan upacara pewarisan kedudukannya kepada si tokoh utama perempuan.
Apabila hal ini terkait dengan plot, tindakan-tindakanku yang dibatasi seharusnya berkisar pada plot itu saja, 'kan?
Ngomong-ngomong, dua ratus tahun, huh.
Tidak tahu kapan plot pertama akan dimulai. Aku sama sekali tidak mewarisi reminisensi Aeris. Semoga saja tidak sampai ratusan tahun .... Tak dapat aku bayangkan betapa jemunya nanti. Kadang kala mati terdengar lebih bagus ketimbang hidup begitu lama ....
Aku belum pernah menguji apakah Aeris bisa tewas sebelum plot dimulai. Firasatku sih mengatakan tidak akan bisa. Kalau dipikir-pikir, peran Aeris dalam novel juga esensial, terlepas dari dia adalah karakter latar belakang. Satu-satunya orang yang dapat memainkan harpa suci adalah orang suci. Harpa suci bukanlah sembarang instrumen musik yang dapat disentuh, manalagi dimainkan. Dalam novel disebutkan mengenai harpa ini; sebuah instrumen musik yang suka dimainkan oleh dewa di alam surga dan diturunkan ke dunia fana untuk dimainkan oleh anak kesayangannya, yaitu orang suci.
Aeris adalah orang suci sebelum tokoh utama perempuan. Andai Aeris tidak muncul, bisa ditebak plotnya akan mengarah ke mana. Judul novel itu bukan lagi Romansa dalam Kuil Suci, melainkan Cinta Rahasia dalam Istana.
Mungkin aku akan mencoba bunuh diri kalau sudah merasa bosan hidup, sekalian membuktikan kekuatan dari plot.
Aku pun tersadar bahwa lamunanku telah menciptakan kelengangan yang cukup lama, padahal acara ibadah sudah selesai. Mungkin dalam benak para jemaah ini aku sedang begitu fokus melakukan doa sunah atau berkomunikasi dengan dewa. Sedikit yang mereka tahu ... aku bahkan tidak percaya pada dewa mereka.
Aku melihat sekeliling sebelum berkata, "Semoga dewa memberkati kita semua." Kemudian aku dan para pelayan undur diri dari platform. Menyadari bahwa ibadah benar-benar selesai, kerumunan berangsur-angsur bubar. Tentu saja mereka tidak pergi tanpa suara. Terdengar bahana anak-anak yang berbunyi bahwa mereka ingin mengabdikan diri pada Kuil Suci selamanya. Tak sedikit pula orang-orang dewasa berbicara tentang aktivitas yang harus mereka lakukan setelah ini. Namun, yang paling mendominasi adalah pembicaraan mengenai performa diriku. Semuanya membicarakan hal itu.