"Ei"
Begitulah kebanyakan orang memanggilku.
Panggil saja namaku A (Ei).
Seorang remaja laki-laki yang sedikit nakal, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah, semuanya itu akibat dari circle pertemanan ku sehari-hari yang memang tidak menentu.
Setiap hari aktivitas ku di sekolah cuma belajar dan organisasi OSIS saja. Jadi bisa di bilang aku lebih suka dalam melakukan banyak hal yang bagiku menantang.
Dan salah satunya adalah pada waktu liburan sekolah, aku di tawari oleh kakak kelasku namanya Siswanto, laki-laki yang memiliki perawakan tubuh kekar, kulit sawo matang, dan sikap tegas darinya selalu menjadi senjata baginya untuk mengatur dan memimpin di beberapa acara dan maklum saja dia adalah atlet sepakbola. Dia mengajakku untuk ikut gabung melakukan pendakian Gunung Panderman Kota Batu.
Aku sedikit terkejut, karena aku yang anaknya jarang keluar rumah sekarang ini di berikan tawaran menarik untuk melakukan pendakian.
"Gimana, kamu mau join gak mendaki gunung panderman sama anak-anak OSIS?". Ucapan pertama yang aku dengar setelah rapat selesai.
"Wah, sama siapa ae mas ini. Soalnya aku paling kecil sendiri nanti takutnya"
"Tenang aja nanti ada temen nya banyak sekitar 9 orang nanti berangkat nya boncengan."
"Aku pikir-pikir dulu ya mas dan izin orang rumah dulu." Jawabku berlalu mengambil tas persiapan untuk pulang.
Sepanjang perjalanan pulang aku memikirkan tawaran tadi yang menurutku menarik dan menantang. Tetapi resiko dalam pendakian dan meminta izin yang membuat sedikit takut karena menjadi pengalam pertamaku di usia remaja. Setibanya di rumah aku memberanikan diri untuk meminta izin pada ayah dan ibuku.
Malam hari saat semua sedang berkumpul di ruang keluarga aku mencoba untuk membuka pembicaraan.
"Pak, Buk aku lusa tanggal 16 agustus di ajak teman-temanku mendaki gunung panderman di kota batu mau upacara bendera HUT Indonesia disana, boleh gak aku ikut?". Ucapku dengan nada sedikit takut.
"Banyak teman nya atau bagaimana?". jawab ibuku dengan sedikit cemas dan rasa khawatir.
Maklum karena aku anak terakhir dan paling kecil dari 6 bersaudara.
"Yakin beneran tah mau ikut Le"
(Le = nama panggilan anak laki laki di jawa)
Dengan semangat aku menjawab "Iya aku siap dan pengen sekali ikut biar punya pengalaman pertama yang bisa diceritakan Buk."
"Yasudah gapapa bapak dan ibukmu mengizinkan kamu ikut, yang penting kamu harus berhati-hati dan jaga diri dalam perjalanan." jawab bapak dengan mengelus kepalaku lembut.
"Kalo disana harus jaga sikap dan sopan santun soalnya bukan hanya manusia aja yang di gunung."
"Siap laksanakan bos." jawabku engan semangat dan bahagia aku menuju kamar untuk istirahat.
Keesokan harinya, saat aku sudah di sekolah kembali bertemu dengan kakak kelasku Siswanto untuk menyampaikan jawaban ku tentang tawaran mendaki tersebut.
"Mas, aku oke ikut mendaki." jawabku dengan semangat.
"Yasudah ini," ujarnya sambil emberikan secuil kertas, "Yang kamu harus persiapkan untuk keperluan mendaki."
Ternyata isinya adalah daftar barang bawaan dan list budget buat persiapan mendaki.
Seharian aku di sekolah di penuhi rasa semangat dan bahagia karena memikirkan pengalaman pertamaku. Di sela waktu istirahat aku menceritakan rencanaku mendaki pada temanku namanya Andi.
Dia teman baik ku seorang atlet bola voli terkenal di sekolahku memiliki perawakan tinggi jangkung. Aku menceritakan rencanaku sama si Andi ini, akan tetapi di tengah obrolan kami di menceritakan hal-hal yang berbau mistis tentang keadaan Gunung Panderman tempat pendakian pertamaku nanti.
"Kalo berangkat kesana jangan pakai motor jenis matic karena jalanan nya banyak tanjakan curam banyak motor mogok gak kuat.'
"Wahhh, motorku matic apa kuat ya?" jawabku menjadi ragu.
"Dicoba aja dulu, kalo gak kuat nanti bisa naik ojek."
"Oke siap kalo begitu." jawabku mengiyakan.
Dia kembali menceritakan beberapa hal di luar dugaan nalarku tentang beberapa pantangan yang dilakukan di sana. Banyak sekali pantangan yang harus di jauhi dan tidak boleh di langgar, salah satunya jangan berkata kotor saat berada di sana.
"Kamu kalo disana jangan berbicara kotor ya nanti dalam bahaya kamu."
"Loh, emang kenapa disana?". pikirku dengan rasa ingin tahu.
"Nanti kamu bisa hilang tersesat kalo bicara ngawur disana." ujarnya dengan nada serius padaku.
"Banyak lho pendaki yang hilang dan tidak di temukan kembali karena melanggar pantangan tersebut." imbuhnya menambahi.
"Hmmm, Jadi takut buat mendaki kesana, soalnya aku gampang banget merasakan hal-hal di luar nalar." jawabku dengan takut, mulai mengandai-andai yang tidak jelas.
"Yakin aja gak bakal terjadi apa-apa pokonya kamu jaga sikap aja disana." ujarnya sedikit menenangkanku.
Alasan dia menceritakan hal itu karena ibunya Andi adalah orang asli sana, kampung yang indah dan segar, jauh dari hirup pikuk polusi udara yang mata pencaharian masyarakatnya petani sayuran di lereng wilayah Gunung Panderman.
Karena dia teman akrabku dari awal masuk SMA dia mengingatkan ku supaya lebih hati-hati dan waspada apalagi kondisi musim yang tidak menentu kadang pagi cerah terus sore harinya hujan. Benar-benar tidak bisa di prediksi.
Sepulang sekolah aku biasanya sih tidak langsung pulang karena ada jadwal bimbel tambahan di luar jam sekolah tetapi hari ini aku bergegas langsung pulang istirahat, sampai dirumah setelah bersih-bersih biasanya langsung tidur, tetapi aku mengingat ada beberapa peralatan bawaan yang di bawa untuk mendaki besok jadi ya aku menyiapkan peralatan dulu. Sialnya ada beberapa alat yang aku tidak punya, jadinya ya aku pinjem sama temanku hehe.
Malam itu ibuku datang ke dalam kamarku membawakan segelas teh hangat. Duduk di tepi ranjangku setelah meletakan the di meja belajarku. Mengelus kepalaku dan kembali mengingatkanku tentang sikap dan sopan santun saat di gunung nantinya, karena aku sedikit nakal dan kadang lupa kalo sudah di tempat yang baru ditambah kondisi diriku ini yang mudah sekali peka terhadap hal yang tidak terlihat.
Jiwa keibuan dan rasa khawatir mengalir deras dalam diri ibuku terlihat dari raut wajahnya saat membantuku mempersiapkan peralatan bawaan karena aku anak kesayangan nya.
"Ingat pesan ibu yah, meskipun kamu sudah beranjak dewasa. Tapi kamu selalu menjadi anak kesayangan ibu,"
Seakan tidak tega mengizinkanku mendaki besok, di tatap terus wajahku dengan penuh rasa khawatir dan cemas. Aku tidur di pangkuan ibuku malam hari itu.
Hari yang aku tunggu telah tiba cuaca pagi hari sangat cerah dan mendukung. Aku mulai aktivitas dengan sedikit olahraga lari sebagai pemanasan untuk modal naik gunung. Setelah olahraga pagi tak terasa jam menunjukan hampir jam 12.00 WIB, aku pulang ke rumah dan beristirahat menghemat tenaga untuk pendakian nanti sore.
Jam menunjukan pukul 15.00 WIB , aku sudah bersiap berangkat menuju tempat berkumpul sesuai kesepakatan yaitu di SMA kami yaitu Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kandangan.
Rasa tidak sabar dan tidak karuan yang menyelimuti tubuhku sepanjang perjalanan ditambah rasa semangat membara saat menuju ke sekolah mengingat lokasi sekolahanku terletak persis di depan pemakaman umum.
Sekitar 20 menit perjalanan aku tiba di tempat kesepakatan dan ternyata sudah ada beberapa temanku sekitar 8 orang telah menungguku.