Aku dan teman-teman beristirahat di samping trek perjalanan, dengan duduk di jalan yang masih setapak dari bebatuan. Embun air dan bekas air hujan masih membasahi jalan setapak. Kami saling menanyakan kondisi masing-masing.
"Gimana nih, para perempuan dan yang lain nya masih aman kan?" ucap leader di depan.
"Aman mas, lumayan melelahkan sejauh ini bagi aku yang pemula." jawab Putri.
"Sebentar mas, istirahat dulu ya capek nih bawa ransel yang isinya perlengkapan dan air minum." jawab Risma dengan suara sedikit ngos-ngosan.
"Iya mas, capek bener. Mana lagi jalannya licin belum lagi ada lumut. Berat nih di kaki sepatu pada basah." ucap Shella sedikit mengeluh trek yang basah dan sepatu yang berat.
Mas Simon menjawab sambil tertawa "Yasudah sayangku semua istirahat dulu secukupnya kalian."
Aku yang masih orang baru mendaki ini mencoba untuk bertanya kepada Mas Ryan.
"Mas ini pos selanjutnya pos 2 ya?". Tanyaku polos.
"Iya tapi ya mungkin masih berapa menit lagi perjalanan." jawabnya santai.
"Yang sabar nanti kalo udah sampai puncak kamu bisa istirahat tenang." tambahnya meyakinkanku.
"Iya deh Mas, maklum ini pendakian pertama jadi masih bingung mau gimana-gimana." jawabku.
Aku mencoba melihat kondisi di sekitarku yang sangat gelap dengan lampu senter yang ada di kepala. Ternyata banyak sekali sayuran yang di tanam warga penduduk sekitar.
Mungkin saja kalo pagi atau siang para penduduk sekitar berkebun sampai disini.
Dalam hati aku membayangkan, aku yang masih muda aja sampai di titik ini sudah cukup melelahkan, apalagi penduduk sekitar saat berkebun berjalan kaki kesini dengan membawa beban pulang-pergi.
Banyak sekali tanaman sayuran yang di tanam di tengah-tengah atau sela-sela pohon yang cukup sinar mataharinya. Ada beberapa gubuk petani yang berdiri kokoh, tempat para penduduk menyimpan hasil kebun dan pupuk mereka. Di kanan kiri jalan setapak yang kadang di manfaatkan oleh pendaki untuk ber istirahat.
Beberapa obrolan kecil yang keluar dari aku dan teman-teman untuk melepas lelah di jalan.
"Tolong!!!"
Tiba-tiba Shella berteriak minta tolong. Sontak kami pun kaget lalu menghampiri, dan ternyata di dalam sepatu dan betis Shella ada beberapa lintah yang sudah cukup membesar. Lintah ini mungkin masuk dalam sepatunya Shella saat kita bertemu dengan pendaki yang turun berwajah tegang tadi.
Dilihat dari ukuran lintah yang menyedot darah di kakinya yang sudah cukup besar.
"Ahh, bagaimana ini kalau darahku habis?" rengek Sheila histeris ketakutan karena kakinya di gigiti lintah.
Dia berpikir karena nanti bisa kehabisan darah. Lintah memang sering muncul dalam kondisi lembab berair apalagi di tambah setelah hujan seperti ini. Aku dan teman-teman yang laki-laki mencoba untuk melepaskan beberapa lintah yang menempel di kaki Shella.
Karena kalau kita salah tindak, bisa saja lintah itu pindah ke tangan kami. Fajar dan Siswanto mencari kayu untuk melepaskan lintah dari kaki dan sepatu Shella. Aku mencari garam dapur yang aku bawa tadi untuk keperluan memasak di puncak nanti untuk aku taburkan di tubuh lintah itu, agar lintah bisa mati.
Darah mengucur deras dari beberapa luka bekas gigitan lintah tersebut. Risma membuka ranselnya untuk mencari kotak pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) untuk mengobati kaki Shella.
Shella menangis ketakutan dan sedikit merintih menahan sakit dan gatal bekas gigitan luka tersebut. Risma mulai membersihkan luka yang ada di kaki Shella. Sedangkan Putri mencoba menenangkan Shella dengan merangkul dan menutup matanya agar tidak merasa takut dan sakit saat lukanya di bersihkan.
"Aduh sakittt…." Rengek Shella sambil merintih.
"Tenang ya Shel, ini masih di bersihin biar gak membekas dan iritasi." jawab Risma sambil membersihkan luka di kaki Shella dengan kapas dan antiseptik.
"Aduh gatalll sekali ini kaki ku huhuhu." tangis Shella.
"Iya ini cukup banyak luka dari lintahnya sabar sedikit ya." ucapan Risma menenangkan.
"Nanti aku bisa jalan gak ya." terisak tangisan Shella sedikit tenang.
"Bisa kok, nanti setelah di bersihkan, aku kasih kapas lalu di bungkus lagi pakek plester." Risma mulai membalut kapas dan plester di kaki Shella.
"Ini udah selesai, sekarang kamu ganti kaos kaki yang baru yang ada di tas, yang ini di masukan dalam kantong plastik pakaian kotor ya,"
"Sini aku bantu carikan kaos kaki yang baru di ransel ." ucap Putri.
Putri mencari kaos kaki ganti yang ada dalam ransel Shella dan memasukan kaos kaki yang basah tadi ke dalam kantong plastik pakaian kotor milik Shella.
"Ayoo, aku bantu pakaikan kaos kakinya biar tidak kena luka bekas lintah, terus aku bantuin berdiri pasti bisa kok buat jalan." kata Risma memasangkan kaos kaki ganti buat Shella dan setelah itu merangkul Shella membantu berdiri.
"Gimana Shell masih kuat nggak buat nerusin perjalanan?". tanya Mas Simon.
"Masih mas, cuma gak bisa jalan cepet sembari nunggu luka ini agak kering ya mas pelan-pelan aja jalan nya." jawab Shella.
"Ris kamu sama Putri nanti jagain Shella ya, biar nanti dia jalan di tengah-tengah kalian buat jaga-jaga aja sih." teriak Mas Simon di depan.
"Mana tas nya Shella biar aku bawain nanti gantian sama Siswanto atau Fajar." tanyaku pada Risma dan Putri.
Aku meraih tas Shella yang diberikan Risma yang berada di depanku. Ya maklum aku di posisi logistik jadi harus siap setiap saat dan demi temanku juga harus bisa. Kami mulai perjalanan lagi,
Shella berjalan pelan-pelan takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan lagi, mengingat kakinya yang terluka otomatis kondisi kaki mulai berkurang tenaganya dan mentalnya mulai sedikit syok menurun.
Karena dia merasa dirinya hanya menjadi beban teman-teman nya saat mendaki, karena dia adalah perempuan yang mudah overthingking terhadap hal-hal yang sensitif.
Kami mulai berjalan kembali. Mas Ryan di depan mencari jalan agar kami semua tidak salah menapak kaki. Mas Simon di belakangnya membersihkan semak belukar yang menutupi sebagian jalan yang kami lalui.
Risma dan Putri saling bahu membahu membantu berjalan Shella menapak di jalan setapak yang kurang lebih lebarnya hanya 1 meter ini. Cukup sempit untuk ukuran jalur pendakian. Tapi apalah saya kami tidak berani membuat jalur baru agar sampai lebih cepat ke puncak,
Karena takut segala risiko terutama tersesat dan terperosok ke jurang, yang ada di sebelah kanan jalan dari pos pendaftaran menuju pos 2, yang ada depan mata kami semua. Tapi sudah terasa cukup berat mengingat kemampuan kami berjalan sudah berkurang, karena hawa ngantuk dan lelah sudah datang menyelimuti aku dan teman-teman pastinya menjadikan rasa malas menyeruak keluar.