Niatnya memang tidak ingin membantu Jemmi atau pun Jaya lagi. Namun kenyataan membuat Karin harus meminta bantuan pada mereka.
Tengah malam, Emily membangunkan Karin karena tangisannya. Pertama, Karin mengira itu hanya tangisan biasa karena lapar. Tanpa menaruh curiga, Karin bangkit dari tempat tidur dan pergi ke dapur membuatkan susu. Saat dia kembali, barulah Karin mengecek suhu tubuh Emily.
Demam.
Pertolongan pertama yang bisa Karin lakukan adalah mengompres Emily. Tetapi itu tidak berarti apa pun. Anak itu masih saja menangis dan makin membuat Karin bingung. Dia hanya sendiri di sini, dulu saat di panti, ketika ada anak yang demam pengurus panti sudah menyiapkan obat herbal untuk penurun panas. Namun di sini, Karin tidak mempunyai apa pun.
Orang yang pertama kali dia hubungi tentu saja Jemmi sebagai ayah dari Emily.
"Apa?" tanya Jemmi saat pertama kali menerima telepon. Kemudian dia melanjutkan lagi omongannya, "Emily nangis, kenapa?"
"Badannya panas. Udah aku kompres tapi nggak ada reaksinya. Bisa antar aku ke rumah sakit sekarang?"
"Apa kamu enggak bisa naik taksi aja?"
Pertanyaan dari Jemmi seakan memancing kemarahan Karin. "Oke aku naik taksi sekarang, tapi sampai di sana aku bakalan bilang siapa papa Emily yang sebenarnya."
"Lima belas menit lagi aku sampai di sana," ucap Jemmi setelah mendengar ancaman dari Karin.
Setelah itu sambungan ponsel terputus. Karin kembali melihat Emily lagi. Mau bagaimana pun kesalnya Karin pada Jemmi, tidak akan bisa membuat dia menjauhi cowok itu. Apa lagi sekarang mereka terikat karena Emily.
****
Seperti perkataannya, mobil Jemmi terlihat berhenti di depan gedung apartemen. Karin yang sudah menunggu di lobby segera menghampiri. Sayangnya, yang datang bukan hanya Jemmi tapi juga Jaya. Akan tetapi sekarang bukan waktunya untuk mempersalahkan itu. Karin lebih baik fokus pada Emily.
"Keadaannya gimana?" tanya Jemmi yang duduk di kursi samping pengemudi.
"Badannya panas, padahal udah aku kompres pakai air dingin." Kana memajukan Emily agar bisa mendekat ke arah Jemmi.
Tangan cowok itu memegangi dahi Emily. Mereka semua sama-sama tidak mengerti mengurusi bayi yang terkena demam. Maka dari itu, Jaya segera mengendarai mobilnya ke rumah sakit terdekat.
Saat Emily sedang ditangani dokter, Karin disuruh untuk mengisi data diri pasien dan keluarga. Selain itu, dia juga disuruh membayar biaya administrasi terlebih dahulu. Waktu Karin ingin membayar, Jaya sudah lebih dulu memberikan kartu kreditnya pada kasir.
"Pakai uang itu buat keperluan lain," kata Jaya. "Jemmi bilang, kamu lagi enggak ada pekerjaan pasti lagi membutuhkan uang. Apa lagi biaya untuk anak kamu pasti enggak sedikit."
"Kak Jaya enggak perlu ngelakuin ini," kata Karin.
"Aku ngelakuin ini untuk ngebantuin kamu sebagai teman Jemmi dan enggak ada sama apa yang aku bilang tadi sore," jelas Jaya.
Kejadian tadi sore dan malam ini, seperti roda yang berputar bagi Karin. Pada saat sore, Karin menolak untuk membantu Jaya. Lalu malam harinya, Jaya yang malah membantu Karin tanpa diminta. Jadi tidak heran jika rasa bersalah seperti menggerayangi tubuh Karin.
"Rin, apa sudah selesai? Kamu disuruh masuk ruangan," kata Jemmi yang tiba-tiba saja ada di belakang mereka.
Pada saat yang sama, petugas administrasi memberikan bukti pembayaran dan juga mengembalikan kartu kredit milik Jaya. Karin pun mengangguk pada Jemmi. Sebelum dia pergi, Karin menyempatkan diri untuk berkata sesuatu pada Jaya.
"Kak, setelah ini ada yang mau aku bicarakan."
****
"Emily terinfeksi virus dan sistem kekebalan tubuhnya sedang bekerja. Diperlukan perawatan beberapa hari untuk bisa memantau kesehatannya."
"Terima kasih Dok," kata Karin yang kini sedikit merasa lega karena Emily sudah tidak menangis lagi. Penanganan selanjutnya, Emily dipasangi infus dan dipindahkan ke ruang rawat.
Jaya dan Jemmi masih setia menungguinya sampai Emily mendapatkan ruangan. Semua biaya rumah sakit Jaya berjanji akan mengurusnya. Karin makin merasa lega dengan itu.
Kemudian, sebelum keduanya pergi Karin memberi kode untuk mengikutinya. "Jem, bisa jaga Emily sebentar. Aku perlu ketemu dokter lagi ada yang mau aku tanyakan."
"Oke. Tenang aja," kata Jemmi tanpa curiga.
Mata Jaya mengikuti langkah Karin yang berjalan melewati lorong dan kemudian cewek itu berbelok. Mungkin di sanalah tempat mereka akan berbicara. Dia menoleh lagi pada Jemmi yang ternyata sudah masuk ke dalam ruangan.
Jaya membuka pintu ruangan Emily dan berkata, "Aku tunggu kamu di mobil ya. Kalau udah selesai nyusul aja atau kalau mau nginap di sini kabarin."
"Iya, iya," jawab Jemmi dengan malas.
Jaya pun segera menghampiri Karin di belokkan yang tadi. Dia penasaran apa yang ingin dikatakan oleh cewek itu. Sampai-sampai Jemmi tidak boleh mengetahuinya.
"Apa yang mau kamu bicarakan?"
Karin berbalik badan setelah beberapa waktu menunggu Jaya menyusulnya. Kini keputusannya sudah bulat untuk melanggar omongannya tadi sore.
"Aku setuju untuk bantuin kamu buat batalkan pertunangan itu."
"Hey, jangan bilang ini karena kamu ngerasa hutang budi soal pembiayaan rumah sakit?" tanya Jaya yang menduga bahwa Karin merasa tidak enak padanya. "Kalau kamu enggak mau, aku bisa pakai cara lain buat batalkan pertunangan. Tenang aja, aku sudah pikirkan caranya."
"Aku ngelakuin ini, untuk Emily. Aku mau dia dapatkan kehidupan layak yang sudah kamu janjikan itu."
Jaya malah terdiam, mendengar siap kata yang dilontarkan Karin. Tadi setelah ditinggalkan oleh Karin di taman Jaya sangat menyesal karena sudah berkata seperti itu pada cewek yang baru saja dia kenal. Jaya merasa tidak sopan karena harus melampiaskan masalahnya ke orang asing. Harusnya masalah itu dia tangani sendiri.
Maka dari itu, saat mendengar Karin membutuhkan bantuan sebisa mungkin Jaya membantunya. Dengan harapan apa yang dia ucapkan tadi sore dapat termaafkan. "Kamu terpaksa ngelakuin ini?"
Karin menggeleng dan kini setetes air mata meluncur begitu saja melewati pipinya. "Apa pun demi yang terbaik untuk Emily, aku harus sanggupi."
"Rin, maaf soal tadi sore. Aku enggak bermaksud buat maksa kamu."
"Kita lakuin aja," kata Karin yang kini sudah benar-benar yakin. Berbohong sekali lagi mungkin tidak akan sulit bagi Karin. Beberapa hari ini dia sudah melakukan itu dan jika besok-besok harus melakukan lagi pasti bisa dia tangani.
"Makasih," kata Jaya. Dia juga membutuhkan bantuan Karin agar bisa lepas dengan status pertunangannya. Jaya tidak ingin kalau dia harus terjebak dengan hubungan yang salah bersama Marissa. Lebih baik memiliki hubungan yang palsu bersama Karin. Setidaknya dengan Karin, Jaya dapat memulai segalanya dari awal.
Sambil memasang senyuman, Karin berkata, "Aku harus kembali sekarang. Sebelum Jemmi datang menyusul ke sini."