Chereads / EXILE : yang terbuang / Chapter 17 - Minta Restu

Chapter 17 - Minta Restu

Karin sudah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang tua Jaya. Sangat mendebarkan, hingga membuat Karin ingin mundur saja. Namun tentu saja dia sudah tidak bisa lagi untuk mundur. Dia hanya harus menghadapinya.

"Jangan terlalu tegang," kata Jaya yang sedang mengemudi di sampingnya.

"Gampang buat Kak Jaya yang sudah sering ketemu banyak orang," ucap Karin tanpa menoleh pada Jaya.

"Apa yang kamu takutkan?" tanya Jaya. "Nantinya, aku bakalan membela kamu. Papa sama mama aku mungkin aja marah pertama kalinya tapi kalau kenyataannya aku sudah punya anak dari kamu, gimana?"

Karin memejamkan mata, rasanya masih tidak bisa menerima kalau orang-orang menganggapnya sudah pernah melahirkan. Jangankan untuk melahirkan, melakukannya saja Karin belum pernah. Kembali dia membuka mata saat merasakan sebuah tangan menggenggam tangannya.

"Kamu tenang aja," kata Jaya sambil meremas tangan Karin. Tangannya yang lain menekan klakson.

Tidak lama kemudian, seseorang yang berseragam satpam membukakan gerbang rumah. Jaya pun kembali menjalankan mobilnya dan berhenti tepat di depan garasi. Beberapa mobil lainnya berjejer di depan garasi.

Salah satu dari mobil yang berjejer itu, dikenali Karin sebagai mobil Jemmi. Setelah sekian lama, akhirnya Karin kembali lagi ke rumah ini. Waktu itu, Karin tidak pernah bertemu dengan orang tua Jemmi. Hari inilah pertama kalinya dia akan bertemu namun bukan sebagai teman Jemmi.

"Ayo masuk." Jaya menggandeng tangan Karin saat memasuki rumah.

"Den Jaya, bukannya tadi pergi sama Nolla?" tanya pembantu yang membukakan pintu untuk Jaya dan Karin. Mata pembantu itu juga melirik Karin dan tangan mereka yang saling bertaut.

"Jaya ada tugas lain. Papa sama mama mana?"

"Tuan sama Nyonya ada di ruang tengah. Lagi nonton."

Jaya mengangguk.

"Tamunya, mau saya sediakan minum?"

Jaya menoleh pada Karin. Cewek itu masih terlihat tegang. "Ya. Buatkan aja dia minum dingin. Sepertinya dia membutuhkan itu."

Nira mengangguk dan segera pergi ke ruang dapur. Jaya tidak langsung mengajak Karin beranjak dari tempatnya. Dengan tangan yang masih bertaut, Jaya menatap Karin.

"Apa masih takut?"

Mata Karin terlihat berkaca-kaca saat ditatap oleh Jaya. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Melakukan hubungan itu, tanpa ikatan yang jelas. Hamil di luar nikah, orang tua mana yang bisa mempercayakan anaknya pada perempuan seperti itu.

Bayangan soal dirinya di depan lift dan mendengar ucapan dari nenek Jekie, kini terniang di kepala Karin. Apakah malam ini, dia harus mendengar hinaan itu lagi? Selama hidupnya, sudah banyak orang yang terus menyakiti hatinya secara sengaja. Karin tidak pernah benar-benar sepenuhnya kuat.

"Kalo gitu, aku antar kamu kembali ke rumah sakit sekarang," kata Jaya setelah lama terdiam dan memikirkan perasaan Karin.

"Januari kamu sudah pulang?"

Perhatian Karin dan Jaya kini beralih pada sosok perempuan yang sedang menghampiri mereka. Kini Karin tidak bisa kabur lagi. Perempuan yang beberapa kali dia lihat di televisi itu kini sedang menghampirinya.

"Ternyata kamu bawa teman, pantas aja enggak langsung datangi Mama."

Jaya melirik Karin dan cewek itu juga melihatnya. Dilihatnya kalau Karin mengangguk yang artinya dia siap untuk menjalankan rencana. Lalu Jaya melihat ke arah mamanya lagi.

"Ma, bisa bicara sebentar? Ada hal penting."

Raut wajah mamanya kini berubah bingung melihat ucapan tegas Jaya dan juga kedua tangan orang yang ada di hadapannya ini saling bertaut. Dia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Soal apa?"

"Bisa kembali ke ruang tengah dulu?"

****

Mereka akhirnya sampai juga di ruang tengah. Jaya dan Karin berhadapan dengan Ghani dan Anggita. Lima menit pertama tidak ada yang bersuara di antara mereka sampai Nira datang membawakan minuman untuk Karin.

"Januari, apa yang mau bicarakan ke Papa sama Mama?" Anggita bertanya setelah Nira pergi dari hadapan mereka.

"Ini Karin, Pa, Ma." Jaya memperkenalkan Karin sambil menoleh pada cewek itu. "Jaya ketemu dia setahun lalu."

"Lalu?" tanya Anggita.

"Mama ingat, waktu Jaya bilang butuh waktu sendiri di Bali?"

"Waktu kamu marahan sama Marissa itu?"

Jaya mengangguk. "Saat itu, Jaya melakukan kesalahan ke Karin. Jaya pikir, Karin perempuan penghibur yang disediakan di hotel itu. Ternyata Jaya salah, Karin ada di sana karena mencari temannya."

"Perempuan penghibur?" tanya Anggita yang sudah mulai panik mendengar ucapan anak pertamanya.

Jaya mengangguk sambil menunduk. Bukan hanya Karin yang berat melakukan pembohongan ini, tapi dia pun merasakan hal yang sama. Ini pembohongan terbesar yang pernah Jaya lakukan ke kedua orang tuanya.

"Jaya dan Karin pernah melakukan itu. Awalnya Jaya kira enggak akan berdampak apa-apa. Setelah selesai, Jaya ngasih Karin sejumlah uang dan Jaya pergi gitu aja tanpa tau apa yang dialami Karin selanjutnya."

"Apa?" Mata Anggita menatap Karin dan Jaya berganti-gantian.

"Karin hamil," ucap Jaya dan setelah itu mendongakkan kepalanya untuk melihat reaksi kedua orang tuanya.

Mamanya tentu saja terkejut dan terlihat linglung. Sedangkan papanya tetap masih dia mematung, seperti yang biasa dia lakukan saat serius mendengarkan seseorang. Jaya makin takut dengan reaksi kedua orang tuanya.

"Mungkin itu anak orang lain," tuduh mamanya.

Jaya segera menggeleng dengan cepat. "Sampai sekarang, Jaya masih ingat kalau waktu itu Jaya yang pertama dan Karin enggak pernah melakukan itu ke orang lain."

"Apa buktinya? Januari, sekarang banyak orang yang pintar berbohong demi keuntungan pribadi. Kamu kan enggak kenal baik sama perempuan ini."

"Ma, kalo Karin mau ambil keuntungan buat dia sendiri mungkin dari awal dia datang ke sini. Karin tau siapa Jaya, tapi dia malah melindungi nama baik Jaya. Melindungi nama baik keluarga ini. Uang yang Jaya kasih waktu itu, baru dia mau gunakan kemarin malam."

"Kemarin malam? Buat apa?"

"Badan anaknya panas dan dia mau bayar pakai uang itu."

"Apa, anaknya ini anak kamu?" Kini yang bertanya adalah Ghani.

Jaya mengangguk.

"Kamu hamil dan melahirkan anak itu?" sambung Anggita yang masih melihat ke arah Karin.

Sekarang semua mata tertuju pada Karin yang berarti bahwa sudah waktunya dia berbicara. "Iya Tante."

"Kenapa enggak kamu gugurkan aja," ucap Anggita tanpa berpikir panjang.

"Ma," tegur Jaya.

Tidak terasa air mata Karin menetes begitu saja. Cepat-cepat dia menghapusnya. "Anak ini, enggak ngelakukkan kesalahan apa pun. Apa pantas untuk dibunuh?"

Anggita terdiam beberapa saat setelah mendengar jawaban dari Karin. Dia membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu. Nada bicara Anggita pun mulai melemah. "Saya minta maaf, bukan maksudnya begitu. Tapi, dengan hamil dan punya anak, apa itu enggak terlalu berat buat kamu yang masih muda?"