"Cuma sampai di sini aja kan?" tanya Jemmi saat hanya mereka bertiga yang ada di ruang rawat Emily.
"Sampai apa?"
"Sampai pertunangan Kakak sama Marissa batal. Setelah ini, antara Kak Jaya sama Karin sudah enggak ada urusan kan?"
"Tentu aja ada. Sekarang papa sama mama sudah ngira anak Karin itu anak aku juga. Tentu aku harus membiayai dia." Jaya menoleh pada Karin karena teringat dengan perjanjian yang telah mereka buat. Dia tidak ingin membahas soal perjanjian itu pada siapapun.
"Iya." Jemmi mengangguk paham. "Tapi cuma sampai biayai Emily. Selain itu enggak ada kan?"
Jaya menggeleng. "Papa sama Mama nyuruh aku tanggung jawab sepenuhnya. Mereka ke sini buat meyakinkan apa benar Emily itu anak aku atau bukan. Kamu liat sendiri kan tadi? Mereka keliatan yakin dan mengira Emily mirip sama aku."
Jemmi tidak mampu membalas ucapan kakaknya, kalau dia berbicara soal Emily lagi kemungkinan dia akan membocorkan rahasianya. Kebohongan Jemmi sejauh ini masih lancar dan aman. Dia tidak ingin merusak hanya karena masalah sepele.
"Lalu apa sama Kakak sama Karin bakalan nikah?"
"Ya," jawab Jaya dengan tegas.
Karin hanya menoleh terkejut ke arah Jaya, tapi dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Memangnya dia bisa mengatakan apa? Nasibnya tergantung pada dua saudara ini.
"Hah?" Jemmi menatap kakaknya tidak percaya. Lalu dia hanya mendesah karena tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia kemudian beralih ke sofa yang disediakan.
Untunglah Jaya meminta kamar VIP untuk Emily. Sehingga mereka bisa membahas apa pun dengan nyaman. Termasuk soal kebohongannya bertiga.
Tidak ada lagi balasan dari adiknya, Jaya pun menghampiri tempat tidur. Bermain dengan Emily, mencoba terbuka karena sebentar lagi anak itu akan menjadi bagian dari hidupnya. Begitu juga dengan Karin, Jaya membawa cewek itu untuk menemaninya.
"Kak, aku mau pergi," kata Jemmi. Dia sudah tidak tahan berada di ruangan ini. Ada rasa yang ingin dilampiaskan. "Rin, aku pergi dulu."
"Hati-hati," kata Karin yang didengar oleh Jemmi sebelum dia menutup pintu ruangan.
****
Jemmi yang baru sampai dan duduk, langsung meminum minuman yang baru saja dibawakan pelayan. Tidak tanggung-tanggung dia menghabiskan setengah gelas dalam sekali teguk. Setelah itu dia baru menaruhnya di atas meja.
Pemilik minuman itu hanya bisa melihat Jemmi dengan wajah tanpa ekspresi. "Ini yang kamu bilang mau teraktir aku?"
"Pesan lagi aja," kata Jemmi sambil mengambil kembali minuman itu dan menyeruput habis isinya. "Pesan dua."
Bobby menarik napas panjang dan kembali melihat ke arah pelayan yang tadi mengatarkannya minum. Untung saja pelayan itu juga melihat ke arahnya. Bobby menunjuk kelas yang ada di tangan Jemmi, lalu menunjukkan tangannya angka dua. Pelayan itu mengangguk mengerti dan segera menyiapkan pesanan.
"Mau aku pesankan makanan sekalian?"
"Enggak. Gue cuma butuh minum," balas Jemmi ketus.
"Apa yang bikin kamu emosi gini? Masalah diperebutkan cewek?"
Jemmi menggelengkan kepalanya. Tatapannya tajam menatap ke arah Bobby. Sekali lagi dia menyeruput minuman itu tapi kali ini di dalam gelas itu hanya tersisa es batu. Dengan kesal, Jemmi membanting gelas itu ke meja. "Karin bakalan nikah."
Bobby malah tertawa dan makin membuat Jemmi menatap marah ke arahnya. "Terus kenapa kamu marah? Bukannya itu malah bagus kalo dia ada yang biayain hidupnya."
"Kamu enggak mau tau siapa cowok yang mau nikahin dia?"
"Siapa?"
"Kak Jaya," jawab Jemmi.
Bobby sempat terkejut tapi hanya beberapa saat. Setelah tersadar, dia kembali terkekeh. "Terus? Aku makin nggak ngerti kenapa kamu marah."
"Nih, aku ceritain." Jemmi mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman. Dia juga mendekatkan bangku agar lebih dekat dengan meja.
"Aku bakalan dengar."
Bobby sebenarnya sudah mengetahui ke mana arah pembicaraan ini. Namun dia tetap saja mengikuti apa yang diinginkan temannya itu. Dia sudah tahu bagaimana Jemmi bersikap saat mempunyai masalah. Cowok itu selalu ingin menghindar.
Sebelum Jemmi bercerita, pelayan datang menyela. Dia membawakan minuman pesanan Bobby. Setelah pelayan itu pergi, barulah Jemmi bersiap lagi untuk bercerita.
"Soal, Marissa yang selingkuh itu kamu tau kan?" tanya Jemmi dengan wajah yang serius.
Bobby merespon dengan mengangguk.
"Kak Jaya terlalu baik, dia enggak mau mengadukan soal itu. Dia malah cari cara lain biar pertunangan mereka batal. Cara lainnya adalah mengakui Emily itu sebagai anaknya."
"Jaya udah tau Emily anak siapa?"
Jemmi menggeleng dan dia melanjutkan penjelasannya. "Kak Jaya percaya dengan cerita yang aku sama Karin karang. Emily anak Karin dengan pacarnya yang udah ninggalin dia. Sisanya, ditambahkan Karin kalau dia enggak mau mengugurkan Emily karena dia enggak mau membunuh Emily."
"Makin runyam ya, masalah kalian."
"Bukan sampai situ aja. Kak Jaya mengakui Emily sebagai anaknya dan papa mama aku percaya. Mereka malah nyuruh Jaya nikah sama Karin sebagai pertanggung jawaban keluarga aku ke Karin. Mereka menganggap Karin cewek yang baik karena sudah mempertahankan anak itu."
"Papa sama mama kamu benar," sela Bobby. "Karin memang orang baik dan mungkin sedikit bodoh juga."
"Bodoh?"
"Ya, dia aku bilang bodoh karena ... cewek mana yang mau ngurus anak orang lain dan membiarkan orang tau kalau itu anak dia hasil dari hubungan di luar pernikahan? Jem, masih banyak orang yang menganggap negatif soal itu. Aku sendiri kalau jadi cewek enggak bakalan mau ambil keputusan yang dia ambil sekarang."
"Karin butuh uang, makanya dia mau melakukan itu." Jemmi kembali mengambil minuman yang dibawakan oleh pelayan.
"Yakin?" tanya Bobby. "Gaji dia di restoran Miranda itu lebih dari cukup untuk biayai hidupnya sendiri."
Jemmi yang sedang menyeruput minumannya kini terdiam. Dia tidak lagi membalas ucapan Bobby. Kalau di pikir-pikir, apa yang dikatakan cowok yang ada di hadapannya ini ada benarnya juga. Bukan karena uang Karin mau menerima Emily sebagai anaknya.
Satu hal lagi, bukan karena uang Karin mau menerima permintaan tolong Jaya. Jemmi masih tidak habis pikir apa yang membuat Karin bisa menerima permintaan dia dan kakaknya dengan begitu cepat. Bisa jadi yang dikatakan Bobby ada benarnya. Karin cewek yang baik dan juga bodoh.
Bobby memperhatikan ekspresi Jemmi sambil tersenyum. Beginilah akhirnya setiap pembicaraan mereka. Selalu diakhiri dengan Jemmi yang merenungkan kata-katanya.
"Kenapa kamu sibuk kalau Jaya nikah sama Karin?"
"Mereka enggak pantes aja," keluh Jemmi. "Liat aja sifat mereka, enggak ada cocok-cocoknya."
"Karin anak yang pintar, Jaya ganteng. Kalo mereka punya anak pasti bakalan jadi perpaduan yang keren. Apa yang salah?" tanya Bobby.
Jemmi diam saja.
"Lagian, Jaya nikah sama Karin itu bagus. Kamu tetap bisa mengawasi dia dan kehidupan Emily juga jadi terjamin. Kenapa harus jadi masalah? Cemburu?"