Bayangan saat dia dihina oleh nenek Jekie, masih terpatri di ingatannya. Karin pun mengangguk lalu menjawab, "Saya berasal dari panti asuhan, saya enggak kenal siapa orang tua saya. Ibu pengasuh bilang kalau mereka berdua meninggal, tapi apa mereka berdua enggak punya keluarga lain yang bisa merawat saya? Saya tau rasanya kesepian karena merasa terbuang. Jadi saya enggak mau ada anak saya ngerasain hal yang sama."
"Gimana kalian bisa ketemu lagi?"
Karin melihat ke arah Jaya, inilah hal yang mereka rencanakan tadi siang. Untungnya mereka sudah mengira akan mendapatkan pertanyaan yang seperti ini. Sekarang mereka memutuskan siapa yang akan mengungkapkan kebohongan itu.
"Saya teman SMA Jemmi. Tau Jemmi lagi ada di sini, saya langsung minta tolong sama Jemmi buat antar saya ke rumah sakit," jelas Karin tanpa berbohong.
Kebohongan itu pun dijelaskan oleh Jaya. "Jaya ikut buat ngebantu, ternyata di sana Jaya ketemu Karin lagi. Awalnya juga Karin enggak mau ngaku tapi setelah dipaksa akhirnya dia ngaku."
"Mama boleh liat anak itu?"
Sebelum Karin menjawab, Jaya mendahuluinya. "Anak itu ada di rumah sakit, lagi dijagain sama Nolla. Jam berkunjung sudah habis. Mungkin besok baru bisa Mama besuk."
"Ya," jawab Anggita seraya menoleh pada suaminya.
****
"Papa kamu lebih banyak diam tadi," kata Karin.
Mereka sedang berada di dalam mobil. Setelah menjelaskan semuanya, Anggita mengajak Karin untuk makan malam. Namun selama makan malam berlangsung hanya sesekali terjadi pembicaraan. Makan malam sangat menyiksa bagi Karin karena canggung.
"Kita berdoa aja papa aku enggak curiga, karena papa aku bukan orang yang gampang dibaca isi pikirannya."
"Aku takut semuanya ketahuan."
Maksud Karin, dia takut seluruh kebohongannya ketahuan. Bahkan tentang siapa Emily sebenarnya. Karin ragu, apakah setiap kebohongan yang dia lakukan ini dapat dimaafkan oleh satu kebaikan.
"Kamu tenang aja." Jaya memegangi tangan Karin. "Kalo sampai kebohongan ini ketahuan, aku bakalan beritahu papa sama mama aku cerita aslinya. Alasan kenapa aku melakukan kebohongan ini."
"Apa mereka bakalan maafin kebohongan itu?"
"Mungkin, mereka bakalan kecewa. Awalnya. Setelah itu, pasti mereka ngerti dan maafin."
"Kalo dibohongi begitu, kamu juga melakukan hal yang sama?"
"Tentu aja." Jaya menjawab dengan lugas. "Besok persiapkan diri kamu ya."
Ada kebohongan lagi yang harus Karin lakukan. Mungkin beginilah cara dia hidup sekarang. Berbohong setiap harinya, terus merasa bersalah tapi tidak berniat untuk memperbaiki.
****
Karin sedang menyuapi Emily dengan sarapan dari rumah sakit. Agak sulit karena dia terus menolak dan juga menangis. Karin pernah menghadapi kejadian seperti ini, sehingga dia sudah tahu mengatasinya.
Sambil memutarkan kartun di televisi, Karin menyuapi Emily. Saat iklan, dia mengalihkan perhatian Emily dengan mainan. Walaupun membutuhkan waktu yang lama, Karin bisa membuat Emily makan perlahan.
Suara ketukan pintu membuat Karin berhenti mengarahkan sendok makan ke mulut Emily. Karin tahu, sekarang saatnya dia kembali berpura-pura. Menyiapkan kebohongan lain agar orang tua Jaya bisa percaya.
"Ya, masuk," jawab Karin tanpa beranjak dari bangkunya.
Tatapan Emily masih setiap pada layar televisi karena sedang menayangkan kartunya dengan gambar penuh warna. Emily memang seperti ini karena dibiasakan Karin menonton kartun di rumah.
Jaya menjadi orang pertama yang masuk ke dalam ruang rawat. Lalu diikuti dengan mama, papa dan terakhir adalah Jemmi. Barulah Karin berdiri menyambut tamunya.
"Mama sama Papa aku mau jenguk Emily," kata Jaya.
Karin mengangguk sekaligus membatin, bahwa orang tua Jaya ke sini bukan untuk menjenguk Emily tapi lebih tepatnya untuk mengecek apakah benar ini anak dari Jaya atau bukan. Di sini, Karin hanya bisa berserah. Kalau sampai mereka tidak percaya juga, dia tidak akan memaksa lagi.
"Hey, Sayang," ucap Anggita saat melihat Emily.
Tangan Emily menunjuk ke arah televisi membuat siapa pun yang melihat jadi tersenyum. Begitu juga dengan Ghani, papa Jaya. Bahkan ucapannya membuat semua orang terkejut.
"Dia mirip Januari."
Ucapan dari Ghani disetujui oleh Anggita. "Januari waktu kecil begini."
Jaya terlihat bingung, namun tidak dengan Karin dan Jemmi yang saling pandang. Kalau dilihat-lihat, Jemmi dan Jaya memang miliki kemiripan. Sehingga orang tua mereka tidak sadar kalau Emily lebih mirip dengan Jemmi dibanding anak mereka yang lain.
"Apa kamu siap buat tanggung jawab?" tanya Ghani pada Jaya.
"Iya Pa."
"Berarti kamu siap juga bertanggung jawab untuk bilang ke keluarga Marissa soal pembatalan pertunangan?"
"Tentu aja Pa, Jaya siap menanggung semuanya."
Inilah tujuan Jaya dari rencana membuat kebohongan ini. Pembatalan pertunangan akan membuatnya terlepas dari perempuan yang tidak setia dengannya. Mulai saat Jaya mengetahui Marissa selingkuh, perasaanya seketika berubah. Hubungan tanpa kepercayaan hanya akan membawa petaka.
Anggita berhadapan dengan Karin, satu tangannya memegangi tangan cewek itu. "Saya mau bilang makasih sudah mau jaga nama baik kami, tapi sebenarnya kamu enggak harus ngelakuin itu. Kalo kamu jujur dari awal, kamu enggak perlu menghadapinya sendiri."
Karin tidak menyangka dia bisa berhadapan langsung dengan pemain sinetron yang biasa di tonton oleh ibu pantinya dulu. Walaupun sudah berumur, Anggita masih saja terlihat cantik seperti dulu. "Tante, Om, Jaya punya citra yang bagus di mata orang-orang. Saya enggak mau sebagai perusak."
"Jangan ngomong begitu. Apa yang kamu lihat di pemberitaan itu semua sudah diatur. Soal kamu sama Januari, itu enggak diliput media. Jadi enggak ada yang tau gimana cerobohnya dia."
Karin hanya tersenyum.
"Anak kamu kapan bisa pulang?"
"Dokter bilang, mungkin besok atau sore ini sudah bisa pulang."
Anggita memengangi bahu Karin. "Setelah dia pulang, bawa dia ke rumah. Kamu bisa tinggal di sana, enggak perlu lagi tinggal di apartemen punya teman Jemmi. Biar banyak yang bisa bantu kamu jagain anak kamu."
"Makasih, Tante."
"Kamu bisa panggil saya Mama," kata Anggita.
Karin terenyuh. Tidak pernah sekali pun dia memanggil seseorang dengan sebutan mama. Kecuali namanya Miranda, yang memang disebut 'ibu' oleh teman-teman akrab Miranda.
"Ma, jangan dipaksa. Karin mungkin belum bisa dipaksa," sahut Jemmi. "Mama sama Papa bukannya mau ke kantor? Nanti malah kesiangan."
Ghani melihat jam tangan mahalnya yang sudah menunjukkan ke angka sepuluh. Mereka berdua ada janji bertemu saat makan siang nanti. Sebelum pertemuan, mereka perlu mempersiapkan pembahasannya.
"Benar juga, kita harus pergi." Ghani merangkul Anggita. "Biarkan Januari tinggal di sini, mungkin mereka perlu waktu untuk penyesuaian."
Ghani dan Anggita pergi dari ruang rawat Emily. Jaya mengantarkan mereka sampai ke luar sekalian untuk memastikan bahwa orang tuanya benar-benar pergi. Setelah itu dia kembali ke ruang rawat, berhadapan dengan Jemmi dan Karin.