Karin baru saja ingin pergi keluar, berjalan-jalan santai dengan Emily. Sambil mencoba stroller baru yang dibelikan Jemmi tadi malam. Saat ingin menaiki lift, dia malah bertemu dengan cowok yang sedang di pikirannya itu.
"Jem, mau ngapain lagi kamu ke sini bukannya tadi malam kam-"
"Ini Kak orangnya. Karin, yang tadi siang aku ceritakan." Jemmi segera memotong ucapan Karin, dia takut kalau sampai Karin mengatakan hal yang bisa membuat kakaknya curiga. "Rin, ini Kakak aku. Kamu pernah liat dia waktu kita masih SMA kan?"
Karin meneliti cowok yang melangkah ke luar dari lift. Cowok yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima, wajahnya sudah akrab di mata Karin. Namun baru kali ini Karin melihat cowok itu dengan sangat dekat.
"Ya, Kak Januari kan?"
"Kamu bisa panggil aku Jaya," katanya.
Dari tutur katanya saja sangat berbeda dengan Jemmi. Januri lebih lemah lembut tapi tegas, sedangkan Jemmi sering kali berbicara semaunya. Intonasi bicara sesuka hatinya.
"Ada apa ya?"
"Kamu mau ke mana?" tanya Jaya sambil menunduk untuk melihat Emily di stroller.
Melihat Jaya melakukan itu, Karin melirik ke arah Jemmi. Cowok yang dilirik Karin hanya bisa menggeleng dan malah membuat Karin bingung. Kedatangan Jaya ke sini saja sudah bikin Karin bertanya-tanya apakah kakak Jemmi itu tahu soal siapa Emily.
"Rencanya aku mau ngajak Emily keliling di taman dekat sini," jawab Karin.
Jaya kembali menegakkan tubuhnya dan menatap Karin. "Ide bagus, aku boleh ikut?"
"Hah?" Karin ternganga mendengar permintaan dari Jaya.
Ternyata, bukan hanya Karin yang terkejut karena itu. Melainkan, orang yang membawa Jaya ke sini juga terkejut. Jemmi segera menyuarakan pertanyaan yang ada di dalam kepala Karin.
"Ngapain Kak Jaya harus ikut?" tanya Jemmi. "Bukannya tadi cuma mau ketemu Karin sama anaknya?"
'Karin sama anaknya', dari perkataan itu Karin sudah bisa mengira-ngira jawaban dari pertanyaan yang ada di kepalanya. Jemmi belum memberitahu yang sejujurnya soal Emily. Gambaran cerita yang disampaikan Jemmi pada kakaknya kini sudah tertera di kepala Karin.
"Aku ma ngobrol sama Karin, kamu enggak usah ikut." Jaya lalu menoleh pada Karin. "Boleh aku ikut kamu bawa anak ini jalan-jalan? Ada yang perlu saya bicarakan."
"Soal apa Kak?" tanya Karin. Jika sampai apa yang disampaikan oleh Jemmi dan dia tidak sinkron semuanya akan terbongkar pastinya.
"Jangan bilang, Kak Jaya mau mengkonfirmasi cerita aku ke Karin?" tanya Jemmi yang sangat jelas kalau dia terlihat panik. "Apa sih yang buat Kak Jemmi enggak percaya. Uang itu aku habiskan buat bantu Karin sama Emily. Belanjaan dari toko bayi itu, ya stroller ini."
Sekali lagi, gambaran penjelasan Jemmi pada kakaknya makin jelas terlihat di pikiran Karin. Ternyata, Jemmi ketahuan karena pengeluarannya untuk Karin dan Emily ketahuan. Karin kira rahasia ini akan bertahan lama, namun melihat kecerobohan Jemmi sepertinya tidak akan bisa.
Jaya sepetinya tidak menghiraukan ocehan Jemmi. Dia masih saja menatap Karin. "Bisa kita pergi sekarang?"
Saat Karin menoleh ke arah Jemmi, Jaya malah mengambil alih stroller dan mendorongnya masuk ke dalam lift. "Ayo kita pergi sekarang, sebelum ke sorean."
Walaupun bingung, Karin tetap melangkah masuk ke dalam lift. Berdiri di samping Jaya dengan kaku. Kedua tangannya memengangi tas selempang yang berisi keperluan dia dan juga Emily.
"Jangan ngikutin," kata Jaya yang membuat Jemmi mundur selangkah dari pintu lift. "Enggak mau papa tau soal semalam kan?"
"Selalu itu jadi ancamannya," keluh Jemmi sebelum akhirnya pintu lift tertutup.
Selama di lift sampai perjalanan menuju ke taman yang ada di dekat gedung apartemen, Jaya tidak mengatakan apa pun. Karin juga jadi bingung harus memulai pembicaraan yang bagaimana. Sesekali dia hanya melirik ke arah Jaya yang terus mendorong stroller Emily. Hingga mereka sampai di sebuah kursi taman yang kosong.
"Mau duduk dulu?" tanya Jaya.
Karin mengangguk. "Boleh Kak."
Setelah duduk di kursi, Karin memeriksan keadaan Emily yang ada di dalam kereta dorongnya. Mata anak itu masih terlihat segar dan melihat ke kiri kanan. Senyum Karin mengembang melihat reaksi Emily.
"Gimana kalau aku yang bertanggung jawab dengan anak ini?" tanya Jaya tiba-tiba.
Karin langsung menoleh dan mengira kalau dia salah dengar. "Kak Jaya ngomong apa tadi?"
"Jemmi bilang kalau ayah anak ini pergi gitu aja tanpa tanggung jawab."
Sepertinya Karin harus memberi ucapan selamat pada Jemmi karena sudah berhasil membuat kakaknya percaya. Pernah sekali Jemmi bercerita kalau kakaknya itu susah sekali untuk dibohongi. Bahkan dia tidak pernah berani berbohong. Lebih baik Jemmi tidak bercerita sama sekali dari pada berkata bohong.
"Ya, persis sama apa yang dia bilang."
"Kenapa kamu mau mempertahankan anak ini?"
Karin tersenyum getir, pertanyaan itu lagi yang dia dapatkan. "Aku bukan berasal dari keluarga yang lengkap, aku tau rasanya ditinggalkan. Makanya aku enggak mau mengulang kesalahan yang pernah diperbuat sama orangtuaku."
"Kalo gitu, biarkan anak ini aku ikut rawat juga."
"Maksudnya?"
"Seperti yang tadi aku bilang, aku mau ikut bertanggung jawab untuk anak ini."
Karin mengerjapkan matanya beberapa kali sambil menatap Jaya. "Aku benar-benar nggak ngerti Kak."
"Aku butuh alasan untuk membatalkan pertunangan aku," kata Jaya tapi terdengar ragu.
"Soal perselingkuhan itu ya Kak?"
"Kamu tau?" tanya Jaya. Dari tadi dia bingung bagaimana menjelaskannya dengan cewek yang duduk di sampingnya ini karena merasa hubungannya dengan Marisa terlalu rumit.
"Jemmi ada cerita soal itu Kak."
"Oke, artinya kamu sudah tau soal itu." Jaya terlihat lebih lega. "Aku nemuin kamu karena kata Jemmi kamu enggak punya keluarga lagi. Benar?"
Karin mengangguk saja.
"Soal papa anak ini gimana? Apa nantinya dia bakalan mengakui anak ini?"
Pikiran Karin langsung tertuju pada Jemmi. Bagaimana mungkin cowok itu berani mengakui kalau ini adalah anaknya. Sekarang saja dia sudah bisa menemukan cerita yang sempurna hingga membuat kakaknya percaya.
"Dia enggak akan mengakui ini sebagai anaknya karena dia enggak mau kehidupannya hancur."
"Kalo gitu, biar aku yang mengakuinya. Biar kamu sama anak ini bisa dapat tempat layak dan sudah pasti kehidupan sampai pendidikan anak ini bakalan terjamin."
"Kak Jaya mau mengakui anak ini sebagai anak Kakak? Gimana sama nama baik keluarga Kak Jaya?"
Jaya menggeleng. "Itu enggak masalah, soal nama baik masih bisa diperbaiki. Tujuan aku untuk mengakui anak ini, biar aku bisa membatalkan pertunangan. Lebih baik aku yang terlihat buruk dari pada calon tunangan aku. Apa kamu setuju?"
Mata Karin mulai berair dan menggenang di pelupuk matanya. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Kalau Kak Jaya mau selesaikan masalah sendiri, jangan libatkan orang lain."
"Apa tawaran ini enggak cukup sesuai?" tanya Jaya.
Karin lalu berdiri dan mendorong stroller itu menjauh dari bangku taman. Menolak bukan karena tidak suka dengan tawarannya, namun Karin kecewa dengan perlakuan Jaya. Dia pikir, kakak adik itu memiliki sifat yang jauh berbeda. Ternyata sama saja. Keduanya selalu melimpahkan masalah mereka pada orang lain.
Kali ini, Karin tidak mau menjadi tameng dari masalah keluarga Agler lagi.