"Ini, bisa kamu baca dulu." Karin meletakkan sebuah kertas yang sudah dia siapkan dari semalam. Siang ini dia sengaja mengundang Jaya untuk makan siang bersama di rumah sakit. Setelah makan siang mereka selesai, barulah Karin menunjukkan tujuannya pada cowok itu.
"Apa ini?"
"Baca aja."
Jaya mengambil kertas itu lalu membacanya dengan keras. "Perjanjian kerja sama. Pertama, membiayai Emily apa pun yang akan terjadi nantinya. Kedua, mengakui sepenuhnya Emily sebagai anak sendiri. Tiga, tidak meninggalkan Emily."
Setelah itu, Jaya terdiam. Matanya masih membaca tulisan yang ada di kertas itu dalam keheningan. Setelah sepuluh peraturan yang ada di kertas itu dibacanya, Jaya menatap Karin dengan padangan bingung.
"Peraturan sebelas dan seturusnya, bisa kamu tambahkan sendiri." Karin menyodorkan pulpen pada Jaya.
"Kenapa semua peraturan yang ada di sini hanya tentang Emily?" tanya Jaya.
Karin melirik kertas itu lagi dan baru menyadari kalau memang apa yang tertulis di sana soal Emily. Tidak ada tentang dirinya. Bahkan, saat Jaya dan Karin harus berpisah Karin meminta agar Emily ikut dengan Jaya.
Saat menulis peraturan itu, Karin tidak ingin mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Setidaknya, Emily tetap bersama dengan keluarganya. Jemmi juga jadi lebih mudah untuk mengawasi Emily. Tidak akan ada yang dikhawatirkan Karin lagi.
"Iya, gimana? Apa Kak Jaya bisa mengikuti syaratnya?"
"Oke, perjanjian ini cukup begini aja. Enggak perlu ditambahkan atau dikurangi. Aku setuju dengan apa yang kamu tulis." Jaya meletakkan pulpen di samping kertas itu. Tidak ada satu kata pun yang dia tambahkan dalam kertas perjanjian.
"Kak Jaya enggak mau tambahkan syarat lain?"
Jaya menggeleng lalu dia menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Emily di atas tempat tidur pasien. Setelah itu dia melihat lagi ke arah Karin. "Kalau apa yang kamu lakukan ini demi anak itu, aku juga mau ngelakukannya sebagai balas budi ke kamu karena sudah mau berbohong biar pertunangan aku batal."
Karin tidak menanggapi omongan Jaya, karena baginya melakukan kebohongan sudah membuatnya merasa bersalah. Sehingga dia tidak ingin membahas lebih lanjut lagi. Dia lalu beralih, berdiri dari tempat duduk dan berjalan mengambil tasnya. Setelah itu Karin kembali lagi, mengambil kertas perjanjian tadi dan menempelkan sebuah matrai di sana.
"Apa kamu seserius ini?" tanya Jaya karena tidak mengira kalau kertas perjanjian itu menjadi hal yang penting untuk Karin.
"Buat berjaga-jaga." Karin mengambil pulpen dan membubuhi tanda tangan pada kertas itu. Lalu dia putar kertas itu untuk menghadap Jaya. Sekali lagi dia menyodorkan pulpen pada cowok itu lagi. "Sekarang giliran Kak Jaya yang bertanda tangan."
Jaya mengikuti apa yang disuruhkan oleh Karin. Walaupun ini masih di awal, Jaya begitu yakin kalau hubungan ini akan terus berlanjut. Dari penjelasan Jemmi, Karin bukanlah orang yang sulit untuk dimengerti.
"Karin itu, cewek yang enak menyampaikan perasaannya. Sekali pun dia kesal atau marah, dia enggak akan pernah tega ngebiarkan orang yang dia kenal kesusahan."
Begitulah ucapan Jemmi tadi malam yang masih terniang di kepala Jaya sampai siang ini. Jaya masih ingin membuktikan apa perkataan Jemmi benar atau tidak. Namun sejauh ini, dia belum menemui kekeliruan dalam penjelasan Jemmi itu.
"Kenapa?" tanya Karin tiba-tiba.
"Apa ada lagi?" tanya Jaya saat tersadar dari lamunannya.
"Bukan, maksud aku kenapa Kak Jaya ngeliatin aku?"
"Aku cuma penasaran, cowok seperti apa yang sudah ninggalkan orang baik kayak kamu?"
Karin hanya menaikkan kedua bahunya, karena dia sendiri tidak mengerti bagaimana menjelaskan sosok itu. Sebab cowok yang meninggalkannya hanyalah fiksi dan orang-orang malah percaya. Tidak pernah ada seorang laki-laki yang meninggalkan Karin sebab dari awal dia tidak pernah memiliki siapa pun.
"Emm," gumam Karin mencoba mencari topik pembicaraan lain. "Rencana Kak Jaya selanjutnya apa? Bisa kita diskusikan sekarang?"
Mata Jaya melirik ke arah jam di dinding, sudah waktunya dia pergi untuk menjemput papa dan mamanya di bandara. "Aku harus pergi sekarang, bisa kita bicarakannya di jalan via telepon?"
"Apa ini urusan mendesak?" tanya Karin yang tidak ingin membahas sebuah rencana melalui sambungan telepon.
"Aku sudah janji buat jemput papa sama mama aku di bandara."
Bagian ini, Jaya memang berbeda jauh dengan Jemmi. Kalau Jemmi ada di posisi Jaya saat ini mungkin dia akan membuat orang tuanya menunggu. Akan tetapi, Jaya tidak seperti itu.
"Oke, kita bahas lewat telepon aja."
Sebelum Jaya berpamitan pergi dari ruangan Emily, dia meminta nomor Karin terlebih dahulu. Dari kemarin Jaya selalu lupa meminta kontak Karin secara langsung. Sebenarnya dia bisa saja meminta nomor Karin lewat Jemmi, tapi Jaya selalu menjunjung tinggi kesopanan. Jika bukan karena mendesak, dia tidak akan meminta kontak orang yang ingin dia hubungi ke orang lain. Hal-hal kecil seperti inilah salah satu bentuk kesopanan tapi selalu diabaikan orang kebanyakan.
****
"Hallo." Karin menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Dia tidak ragu untuk menerima panggilan itu karena dia tahu dengan siapa dia berbicara.
"Rencana dari aku, malam ini aku bakalan kenalin kamu ke papa dan mama aku. Kita ceritakan semuanya soal kita," jelas Jaya tanpa berbasa-basi lagi.
"Cerita yang gimana biar mereka percaya?" tanya Karin.
"Kita berdua ada disebuah pesta, kenalan di sana dan ngelakuin itu. Sekali. Setelah itu kita enggak pernah ketemu aku lagi."
"Gimana bisa orang tua Kak Jay percaya kalau Emily anak Kak Jaya? Biasa aja mereka mikirnya aku ngelakuin itu sama orang lain."
"Jemmi bilang, rencana b memalsukan tes DNA."
Karin menarik napas panjang saat Jaya menyebut nama Jemmi. Ternyata cowok itu juga ikut campur tangan dengan urusan dia dan Jaya. "Oke Kak, kita bisa pakai rencana itu."
"Alasan kamu enggak mau bilang kalau kamu hamil karena kamu mau menjaga nama baik keluarga aku. Sampai akhirnya, kita ketemu lagi tadi malam. Kita gunakan kejadian soal kamu minta bantuan ke Jemmi buat antar Emily ke rumah sakit. Jadi tadi malam aku baru tau soal semuanya."
"Apa cerita itu bakalan berhasil?" tanya Karina ragu. "Semuanya terdengar seperti drama yang penuh kebetulan."
"Tinggal bilang, kalau kamu selama ini sudah berusaha menghindar dari aku. Kamu tau aku Kakak dari Jemmi, itu kenapa kamu enggak mau ngasih tau soal Emily ke aku. Selanjutnya, kamu bisa ceritakan sesuai dengan kenyataannya."
Karin hanya menatap nanar ke arah Emily. Akan sejauh apa lagi dia melakukan kebohongan untuk bisa melindungi anak ini? Namun sekarang sudah terlambat untuk dia mundur. Karin sudah terperosok sangat dalam di dunia kebohongan ini. Entah bagaimana dia akan berakhir nantinya,
"Apa kamu bisa?" tanya Jaya memastikan bahwa Karin yakin. "Kalau kamu masih ragu, kita bisa atur ulang pertemuan ini."
"Aku bisa Kak," jawab Karin.