Lisa Pov ;
Mobil berhenti tepat di depan rumah dengan arsitektur kuno yang beberapa hari lalu aku kunjungi.
Aku hanya datang bersama Jane dan Andrea, sedangkan Jessy dan Dalen tidak bisa ikut karena harus menghadiri acara lain.
Sebelum kami membuka pintu mobil, Claire, Daniel dan Dave telah berdiri dengan senyum ramah mereka menghampiri kami. Claire dan Jane saling berpelukan, saling menyapa hangat. Mereka berempat masuk terlebih dahulu, aku masih belum keluar dari dalam mobil.
Dave, dengan kemeja hitam, setengah lengan panjangnya digulung, berdiri di tangga kecil di depan pintu, terlihat sangat tampan. Aku hampir tidak berkedip sejak tadi, mengapa dia terlihat semakin tampan setiap kami bertemu?
Aku memegang pipiku yang terasa hangat. Menenangkan detak jantungku yang juga mulai tidak biasa. Ingat Lisa, kau bukan wanita biasa, jangan cepat terlena hanya karena dia tampan ! Aku berkata mantap di dalam hati.
Aku menundukkan kepalaku saat berjalan ke arah Dave. Seharusnya aku hanya perlu berjalan lurus ke dalam rumah, tapi aku tahu pasti Dave akan menahanku disana dahulu.
Sepatu sneakers putihku berhenti di depan sepatu hitam mengkilap Dave. Aku masih menunduk, tidak berniat menatap wajahnya. Aku tidak ingin memperlihatkan wajahku yang memerah di hadapannya.
Aku menyadarinya sejak bertemu Dave emosiku tidak lagi mudah dikendalikan.
Dave sedikit membungkuk, menjajarkan wajah kami, dia menatapku lamat, kemudian tertawa kecil. Aku memegang wajahku, apakah ada yang salah? Apakah make up ku berlebihan? Aku harusnya menolak saat Jessy mendadaniku sebelum berangkat tadi.
Apa terlihat aneh?
Aku memberanikan diri mengangkat wajahku, menatap Dave.
Dia tersenyum manis disana. Astaga dia tampan sekali ! Aku kembali menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku. Dia seharusnya tidak menyadarinya bukan?
Saat aku sibuk berpikir, Dave memakaikan sebuah kalung dengan mata bintang kecil di leherku. Aku hampir terperanjat kaget karena rasa dinginnya.
Dave memeriksa kalung itu terpasang dengan cantik sekali lagi setelah memasangnya, kemudian tersenyum lagi. Gawat ! kondisi jantungku semakin tidak baik.
"Ayo." Dave memegang tanganku lembut, menariknya pelan ke dalam rumah.
Ini adalah kedua kalinya aku ke kediaman keluarga William, namun aku masih sama takjub saat pertama kali datang.
Melewati ruang utama yang megah, ruang keluarga yang menyenangkan dan tentu saja kembali melihat meja panjang yang dipenuhi makanan. Aku sungguh pecinta makanan.
Aku memang terlahir dari keluarga yang biasa saja, tidak pernah menghadiri pesta dansa dengan mengenakan gaun-gaun cantik, tidak sering ke restoran mewah, juga tidak sering melihat meja penuh makanan di rumah sendiri, dan di kediaman William aku mendapatkan semuanya sekaligus.
Sesungguhnya aku merasa kecil, merasa tidak pantas duduk di meja makan yang sama sekelas keluarga William. Aku juga tidak mengerti mengapa Dave bisa memaksa seseorang sepertiku untuk menikah dengannya.
Meski dia berkata sungguh menyukaiku, tapi aku bukanlah seseorang yang mudah mempercai seseorang.
Apapun alasannya, aku tidak boleh menuruti semua keinginannya dan harus lebih menghargai diri sendiri. Meskipun ini bukanlah pernikahan yang kuimpikan, tapi aku masih harus bertahan hidup, aku membutuhkan pekerjaanku kembali. Dave? Aku akan mengurusnya nanti. Sudah cukup bermainnya.
....
Acara malam itu berjalan lancar-seharusnya termasuk lancar seperti pasangan lain umumnya.
Menetapkan hari pernikahan pada awal bulan depan, menentukan lokasi pernikahan, dan sebagainya. Kesepakatan telah diambil. Mereka-para orangtua, sempat bertanya bagaimana kami saling mengenal dan saling menyukai,
Dave menjawabnya dengan lancar dan mantap, cerita yang disiapkannya terdengar romantis dan meyakinkan, sementara aku lebih banyak diam hanya hanya mengangguk tersenyum.
Pukul sembilan malam, semua yang perlu dibahas telah selesai dibahas.
Dave memegang tanganku, mengajak ku keluar ruangan. Jane dan Andrea masih terlihat santai mengobrol dengan Claire dan Daniel saat aku melihat mereka, aku menatap Dave, mengikuti langkahnya meninggalkan ruang keluarga.
Aku tidak banyak bertanya saat Dave terus memimpin jalan didepanku. Kami menaiki anak tangga menuju lantai dua. Ada banyak ruangan juga di lantai dua, termasuk kamar Dave. Aku sempat ragu saat Dave memintaku masuk, namun aku sedikit berpikir aku bisa berbicara dengan Dave tentang kami sekarang.
Ruangan yang didominasi warna abu muda itu terlihat rapi dan minimalis. Tidak banyak barang disana. Karpet permadani lembut menutupi sebagian lantai ruangan, kasur di tengah ruangan, sofa berukuran sedang di samping jendela, dan meja di sudut ruangan.
Ada tiga dua pintu lain dari sana, satu kamar mandi dan satu lagi adalah ruang pakaia, sepatu dan aksesoris lainnya.
Dave menarikku duduk di kasurnya. Tangannya memeluk pinggangku dengan kuat, bersiap menciumku-seperti biasa. Jika sebelum-sebelumnya aku akan patuh dan tidak memberontak, maka kali ini aku tidak. Aku mendorong tubuh Dave kuat, beranjak berdiri.
Dia hendak menarik tanganku lagi, tapi aku kembali mundur.
"Aku tidak tahu alasan sebenarnya kamu ingin menikahiku, aku tidak akan peduli. Aku menerima juga karena ingin pekerjaanku kembali, kau memaksaku tentunya. Meskipun ini bukan pernikahan impianku, tapi aku menerimanya. Aku tahu aku tidak akan bisa lari darimu, kau tetap akan memaksaku bagaimanapun caranya.Tapi aku berharap kau menghormati keinginanku juga."
"Jangan mencium dan memelukku sembarangan, juga memegang tangan dan hal lainnya. Jika kau tidak puas kau bisa mencari gadis-gadis cantik diluar sana, aku tidak akan keberatan. Itu saja, aku harap kau menghargaiku." Aku menyampaikannya dengan mantap.
Kata-kata itu aku susun sejak sehari yang lalu, berharap mengatakannya tanpa gugup. Aku duduk di sofa di samping jendela.
Dave menatapku memastikan.
Dia terdiam, satu alisnya sedikit terangkat, terlihat seperti sedang berpikir. Dia berjalan kearahku.
Aku mendongak menatapnya yang berdiri di hadapanku. Dia menunduk, menghilangkan jarak antara wajahku dengan wajahnya. Bola mata hitamnya menatapku dalam. Aku meremas jariku, berusaha menahan ekspresiku agar tetap tenang.
"Apa aku berbuat salah Lily?" Dave berkata pelan, suaranya dalam.
Aku memalingkan wajahku sebelum dibuat memerah kembali jika Dave terus berada sedekat itu denganku.
Aku beranjak, berjalan asal.
"Aku tidak tahu. Aku bukan sedang mengatakan sebuah kesalahan. Aku hanya menyampaikan pendapatku. Kau mungkin menyukaiku, entah itu nyata atau pura-pura, tapi aku belum menyuaimu. Itu wajar jika aku menolak kau menciumku paksa bukan?" Aku menatap keluar jendela.
"Belum menyukaiku? Berarti kau akan?" Dave berdiri di belakangku, berbisik pelan. Dia sengaja meniup napasnya pelan, berusaha membuatku geli.
Aku meremas bajuku, berusaha tetap tenang. Aku berbalik, menatap Dave, berusaha tersenyum manis.
"Aku akan melihat sikapmu." Aku menjawabnya tenang, lalu kembali berjalan ke arah pintu, bersandar disana.
Dave terdiam, melihatku dari tempat ku berdiri sebelumnya. Dia menatapku, kemudian tersenyum dan berjalan ke arahku.
"Baiklah. Aku akan menghormati keinginanmu. Tapi kau sungguh harus mengetahui satu hal yang pasti Lily, aku menyukaimu, sejak pertemuan pertama kita." Dave berkata pelan.
Aku menatapnya, berusaha tersenyum.
Tanganku meraih gagang pintu, dan berjalan keluar tepat sebelum Dave hendak menciumku.
Aku menghembuskan napas keras. Aku seperti menahan napas sejak tadi, Dave sungguh membahayakan kesehatan jantungku. Beruntung aku bisa tetap tenang di dalam sana. Aku harus lebih mengendalikan emosi dan jantungku.
Aku tahu, aku tengah menyembunyikan perasaanku yang mulai tumbuh. Aku pernah merasakan rasa sakit dari jatuh cinta, aku tidak boleh terlalu mudah kembali terjerumus kedalamnya. Aku berkata mantap di dalam hati.
Aku menuruni tangga perlahan, meninggalkan Dave di belakang.