Dave Pov ;
Aku tersenyum kecil saat Lisa memejamkan matanya ketika aku bergerak mendekat.
Aku sebenarnya merasakannya, Lisa yang menatapku sejak tadi. Dia bahkan tidak sadar saat remote televisi jatuh dari genggamannya. Aku membiarkannya, sengaja mengeringkan rambutku di hadapannya.
Aku berkali-kali mencoba menahan tawaku setiap dia mencoba menyembunyikan wajah memerahnya. Dengan kulit putih bersihnya, tidaklah mudah menyembunyikan sebenarnya, Lisa mungkin tidak menyadarinya.
Aku mengambil tas belanjaan di belakangnya dengan gerakan dramatis. Lisa menutup matanya saat kami berjarak sangat dekat, dan aku sungguh tertawa, tidak tertahan lagi.
Saat dia membuka matanya, kemudian menatapku dengan mata coklatnya, dia mungkin tidak menyadari betapa menggemaskannya dirinya. Aku sungguh akan menciumnya jika saja sebuah pesan tidak masuk ke ponselnya.
Lisa sedikit terkejut, kemudian langsung berdiri.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dengan gerakan canggung. Aku berdiri diam saat Lisa melangkah ke arah dapur, aku yakin dia sedang mencoba bersembunyi dengan wajahnya yang telah memerah sejak tadi.
Tunggu. sepertinya ada sesuatu yang salah disini. Mengapa aku harus merasa canggung? Bahkan jika aku menciumnya, dia adalah istriku bukan? Lisa bisa saja menolak karena harga dirinya, tetapi mengapa aku harus merasa canggung?
Aku melangkah ke kamar, berganti pakaian.
Lima menit kemudian saat aku keluar, Lisa telah kembali duduk di sofa.
Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya.
"Ini sudah pukul sepuluh, mau tidur?" Aku bertanya pelan.
Lisa menatapku canggung, "Ti-tidur?" Dia kembali bertanya, sedikit terbata.
"Aaa...., maksudku, kau tidur di kamar dan aku akan tidur di sofa, jika kau merasa tidak nyaman." Aku menjawabnya.
Lisa mengangguk. "Mau minum bersama dulu? Sebelum tidur?"
Aku menatap Lisa, tersenyum kecil. "Kau sungguh ingin minum bersamaku?"
Aku sengaja mendekat. Lisa menatapku canggung.
"Ya, maksudku mungkin ini bisa mengurangi rasa lelah karena acara seharian."
Dia melangkah ke dapur, mengambil dua buah gelas.
Aku mengambil gelas tersebut dari tangan Lisa sebelum dia mulai menuang anggur dari botolnya. Dia menatapku heran.
"Apa kau sudah lupa perbuatanmu ketika kau mabuk beberapa minggu lalu? Dan apakah kau tidak takut tentang apa yang akan terjadi pada pria dan wanita yang mabuk dan berada di ruang hotel yang sama?" Aku berbisik di samping telinganya.
Dia terdiam beberapa detik, kemudian tertawa kaku.
"Baiklah, kalau begitu aku akan tidur. Selamat malam." Lisa berdiri, kemudian melangkah kaku setelah mengambil ponselnya di atas meja.
Aku menghembuskan napas lega. Aku berusaha menahan diri sejak tadi. Aku sedikit berharap Lisa benar-benar akan minum bersamaku, tetapi juga tidak ingin kami berada di situasi yang lebih dalam, sementara Lisa belum menerimaku sepenuhnya. Aku harus bersabar.
Saat orang-orang berkata "Wanita adalah makhluk yang berbahaya", itu semua benar. Aku mengenal diriku sendiri lebih dari siapapun. Emosiku bisa memuncak kapan saja, juga sifat egoisku. Tetapi aku seolah dibuat tunduk di hadapan Lisa. Dipaksa menahan diri dan bersikap sabar dalam banyak hal.
....
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Mom membuka pintu utama saat kami bersiap turun dari mobil.
Aku memegang tangan Lisa.
Lisa menatapku, hendak protes. Aku melirik ke arah Mom, memberi isyarat. Meskipun Lisa mengaku belum menerima perasaanku, namun selain kami berdua, yang lain mengira kami adalah pasangan yang saling mencintai. Lisa tersenyum memaksa, sedikit meremas tanganku.
Mom menghampiri kami, tepatnya menjemput Lisa, "Aduh, sayang, mengapa begitu cepat pulang." Dia menarik tangan Lisa dariku.
Dad menepuk bahuku, dia tersenyum aneh, kemudian berbisik pelan, "Jadi, bagaimana malam kalian? Apa kami sudah bisa berharap akan segera mendapat cucu?"
Aku tertawa kecil, tidak menjawab.
"Naiklah ke kamar lebih dulu sayang, aku akan membawakan beberapa buah untuk menunggu waktu malam." Mom berkata riang kepada Lisa.
Lisa mengangguk, mengiyakan.
"Disini, Lily."
Lisa mengikuti langkahku dari belakang, mulai menaiki anak tangga. Aku sudah memberitahu Lisa sebelumnya, aku membeli sebuah rumah untuk kami berdua. Namun Mom dan Dad memaksa agar kami tinggal di kediaman William untuk beberapa hari. Juga akan ada pertemuan keluarga lagi nantinya.
Aku membuka pintu kamar, Lisa masuk setelahku.
Itu bukan kamarku, itu kamar lain yang telah Mom siapkan. Ukuran lebih besar dari kamarku, ada balkon luas dengan meja dan kursi tempat menikmati teh pagi. Mom sengaja memilih kamar ini, lebih romantis, menurutnya.
"Kamar ini jauh lebih terang dibandingkan dengan kamar serba hitammu." Lisa berkata pelan. Dia tengah duduk di sofa bulat di sisi ruangan.
Hei, mengapa dia menyebut seolah kamarku buruk?
Suara ketukan pintu-yang sebenarnya tidak tertutup-, membuatku batal menyergah perkataan Lisa.
Mom dan Dad berdiri disana, dengan wadah penuh buah strawberry di tangannya. Mereka tersenyum aneh.
"Makanlah ini saying, makan malam sebentar lagi." Aku melihat Mom yang mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Ah?
Lisa tertawa kecil, mengambil wadar strawberry di tangan Mom dengan riang, buah favoritnya.
"Makan pelan-pelan, masuklah kembali." Dad menarik lengan Mom agar segera pergi.
Lisa memakan buah strawberrynya dengan lahap. Aku tersenyum kecil melihatnya.
"Kau ingin mencicipinya?" Dia bertanya padaku, tangannya sibuk memilih buah dengan ukuran paling besar.
Saat dia memasukkan strawberry besar itu ke dalam mulutnya, kepala Mom dan Dad mengintip kecil. Aku menarik tubuh Lisa, memutarnya dengan hati-hati, membuatnya tubuhnya bersandar di tembok. Satu tanganku memegang bagian kepalanya, dan satu tanganku yang lain memeluk pinggangnya.
Dia tidak bergerak, matanya menatapku. Buah strawberry yang baru setengah masuk ke dalam mulutnya masih disana. Lisa mengedip, terlihat lucu
"Strawberry ini sepertinya enak. Aku juga ingin mencicipinya." Aku berkata pelan.
Lisa masih menatapku, satu tangannya berusaha meraih buah strawberry di mulutnya. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai bergerak turun, berusaha menjauh. Aku menarik pinggangnya, jarak kami semakin menempel.
Lisa sedikit mendongak, hanya karena dia mengenakan sepatu sneakersnya dia tidak berjinjit.
"Jangan bergerak, Mom dan Dad sedang memperhatikan. Mereka mempercayai kita adalah pengantin baru yang memiliki hubungan seperti lem yang terus menempel." Aku berkata pelan, hampir berbisik.
Mom dan Dad berseru tertahan-aku yakin mereka melakukannya, melihat pemandangan yang mereka harapkan akhirnya terjadi-. Lisa sedikit melirik kearah pintu.
"Mereka, sudah pergi." Dia menunjuk dengan matanya.
Aku terpaksa menghentikan gerakanku, jarak kami sudah sangat dekat. Aku sedikit merasa kecewa.
Lisa tersenyum kecil, "Sepertinya mereka telah mendapatkan keinginan mereka." Tangannya bergerak, memasukkan satu buah strawberry ke dalam mulutku. Aku balas tersenyum menatapnya.
Kami tertawa kecil.
Lisa berjalan perlahan, duduk kembali di sofa bundar. Dengan tubuh kecil, dia hampir tenggelam dengan sofa itu. Kakinya berayun kecil, tidak menyentuh lantai.
"Apa itu manis?" Lisa bertanya, dia terlihat santai. Suasana hatinya sepertinya membaik.
Aku menatapnya, satu alisku terangkat. "Buah Strawberry." Lanjutnya.
Aku mengangguk sebagai jawaban. "Kau begitu menyukainya?" Aku bertanya.
Lihatlah, dia hampir menghabiskannya dalam beberapa detik saja. Aku tahu dia memiliki porsi makan yang tidak sedikit, yeah walaupun dia mencoba menyembunyikannya.
Lisa mengangguk mantap.
Aku berjalan ke arahnya, berbisik pelan di samping telinganya. "Bibirku juga aroma strawberry, kau pasti tahu itu. Jadi, apa kau juga sangat menyukai bibirku?"
Lisa terbatuk kecil, wajahnya memerah. Aku tertawa kecil melihatnya. Ekspresi wajahnya sangatlah mudah dibaca.