Lisa Pov ;
Aku masih menatap punggung Dave yang membelakangiku, dia masih menelpon.
Dua cangkir teh yang diletakkan di meja bundar sepertinya mulai dingin, uapnya tidak lagi tampak mengepul.
Aku menatapnya dengan bosan.
Jika bukan karena keperluan pekerjaanku, aku tidak akan melakukan hal ini.
Mengenakan gaun menempel yang jauh dari kebiasaanku. Jessy mengatakannya berkali-kali padaku saat aku bercerita tentang lusinan gaun yang berjejer di lemari, Dave yang menyiapkannya.
Jessy tidak hentinya mengingatkanku bahwa aku harus menjaga citra keluara Wilson yang dikenal elegan nan mewah. Sebagai menantu dari pendiri perusahaan elit itu, sudah menjadi kewajibanku.
Aku dengan berat hati tersenyum senang saat Claire juga menambahkan bahwa dia yang merekomendasikan semua gaun itu kepada putranya.
Aku sempat takut Claire juga akan memintaku memakai sepatu dengan hak tinggi yang tidak kusukai, namun ternyata tidak. Dave memberitahunya bahwa aku tidak terbiasa mengenakannya.
Jadi begitulah, lusinan sepatu kets dan sneaker putih dengan berbagai motif dan gaya berjejer rapi di ruang pakaian kami.
Aku dengan senang hati akan memakai semua sepatu itu sebenarnya. Walau sedikit berlebihan, tapi demi menjaga citra keluarga seperti kata Jessy, aku akan memakainya.
"Ekhem." Aku berdehem, sengaja mencuri perhatian Dave.
Sebagai balasan, dia mengatakan "tunggu sebentar" dengan satu tangannya yang tidak memegang ponsel, hanya tangannya, tubuhnya masih membelakangiku.
Dia tampaknya sedang dalam obrolan yang serius.
Aku akhirnya menunggu lagi.
Ingatanku kembali mengingat pose yang kulihat di video ponsel beberapa waktu lalu. Aku mencoba memperagakannya. Lengan kiriku naik, menyentuh pintu kaca. Tubuhku bagian sampingku disandarkan di pintu kaca, rambutku, tubuhku dan juga kakiku menyelaraskan, lebih tepatnya mencoba terlihat seksi. Poin pentingnya adalah, resleting gaunku di bagian punggung sengaja tidak kukaitkan.
Ini adalah teknik dasar saat menggoda suami, itulah video pendek yang tengah kuikuti.
Entah karena posisiku yang terlihat aneh atau rencanaku berhasil, namun Dave kini mematung menatapku. Tangannya masih memegang ponsel di samping telinganya, dia hanya membalik posisi tubuhnya menghadap ku.
Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, matanya tidak berkedip walau sedetik. Seolah waktu berhenti di sekitarnya, dia tidak lagi bergerak.
Aku mencoba menganalisa keadaan dengan cepat.
Apakah rencanaku berhasil? Tapi apa maksud dari posisi diamnya? Haruskah aku melanjutkan ke teknik berikutnya?
"Bisakah kau membantuku mengaitkan gaunku?" Aku akhirnya memilih melanjutkan rencana awal.
Aku mulai maju satu langkah ke hadapan Dave.
Dia masih tidak bergerak, hanya bola matanya yang bergerak mengikuti tubuhku.
Aku kembali memastikan keadaan. Aku sedikit bingung sebenarnya, pria di hadapanku ini tengah terkesan atau bagaimana?
Jika memang dia tengah terperangah seperti yang kuharapkan, maka itu lebih bagus. Baiklah, aku akan melanjutkannya, hanya tersisa beberapa adegan yang kubutuhkan.
Aku memutar tubuhku, membelakangi Dave. Resleting gaun ini cukup panjang, membuat punggungku terasa dingin saat angin bertiup kecil. Tidak nyaman sebenarnya, aku tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya.
Lima detik, enam detik, tujuh detik, delapan detik, hingga satu menit kemudian tidak ada tanggapan.
Sebelum aku berbalik hendak protes, suara langkah kaki terdengar lebih dahulu. Awalnya suaranya terdengar mendekat, jantungku mulai berdebar gugup. Tetapi kemudian langkahnya terdengar lebih cepat dan kemudian menghilang.
Dave menjauh, kembali membelakangiku. Dia berdiri di ujung pagar balkon, kembali menelpon.
Aku menatapnya tidak percaya, juga merasa sedikit kesal.
Apa karena aku tidak terlihat seperti tengah menggodanya atau dia memang tidak tertarik? Tapi aku merasa melakukannya dengan benar sesuai dengan video itu. Seharusnya semua lelaki juga menyukainya bukan?
Setelah berpikir dua selama dua menit atas kegagalan rencana, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Gaunku juga sudah ku kaitkan dengan rapi.
Tanganku meraih ponsel, tubuhku sedikit masuk ke dalam sofa bundar yang kenyal dan lembut.
...
Aku berdiri di depan pintu utama, menatap gedung tinggi di hadapanku.
Aku kembali ke tempat ini lagi untuk ketiga kalinya, dengan tujuan yang berbeda-beda. Kali ini dengan alasan paling menyebalkan, Claire memaksaku mengantarkan kotak makan siang untuk putra tercintanya, alias suamiku.
Aku sungguh tidak bisa menolak ketika Claire memintaku melakukan sesuatu, dia adalah seseorang yang kuhormati.
Aku tahu dia tengah membuat kami terlihat seperti pasangan romantis yang diakui banyak orang. Dirumah, kami memang selalu menampilkan sikap romantis di hadapan Claire dan Daniel, dan Claire menyukainya, juga membuatnya ingin memamerkannya kepada dunia.
Aku memeluk bekal makan siang yang Claire siapkan, mulai melangkah masuk.
Para pegawai yang melewatiku mengangguk hormat. Rasa yang berbeda jika mengingat kalo pertama aku kemari, semua mata menatapku dengan aneh kala itu. Dengan pakaian yang berbeda daripada yang lain, terlihat seperti gadis kecil lusuh.
Aku bertemu Brenda di depan pintu lift, dia menyapaku ramah.
Aku menyukai Brenda. Dia memiliki wajah yang cantik dengan aura yang tegas. Dia juga bekerja dengan profesional, selalu melakukan semua pekerjaannya dengan baik. Usianya sepertinya sepantaran dengan Jessy. Kami masuk ke dalam lift yang sama, tujuan kami searah.
Tanganku mengangkat kotak bekal, bercerita singkat dengan tubuhku. Brenda mengangguk, mengerti.
Pintu lift bersiap menutup.
Saat itulah, beberapa detik sebelum pintu tertutup sempurna, sebuah tangan menahannya. Pintu lift kembali terbuka.
Seorang pria dengan tubuh tinggi kokoh dengan setelan jas hitam berdiri di luar pintu lift. Tubuhnya bugar, terlihat kuat. Tatapan matanya tajam, terlihat menakutkan. Aku baru pertama kali melihatnya berada di gedung ini.
Brenda di sampingku juga terlihat bingung, sepertinya dia juga tidak mengenalinya.
Tetapi pria itu bukan satu-satunya di luar sana. Pria besar itu melangkah ke samping, membuat seseorang di belakangnya juga terlihat.
Seorang wanita yang kulihat beberapa hari lalu di depan halaman rumah.
Rambut coklat, tubuh tinggi langsing, dan pakaian mewahnya yang mencolok. Walaupun dia tengah mengenakan kacamata hitam, aku tahu pasti itu adalah dia. Saat dia mengangkat kepalanya, dia sedikit kaget mendapatiku di dalam lift. Gestur tubuhnya memberitahuku, dia tengah menatapku dengan kesal di balik kacamatanya.
Brenda berdiri di depanku, melindungiku. Dia mengenali wanita di depannya, maka dari itu dia bersiap melindungiku.
Aku tahu Brenda juga petarung yang andal, Dave memberitahuku. Melihat pria bertubuh kekar sebagai lawannya tidak membuatnya gentar.
Aku mengeratkan pelukanku pada kotak bekal, juga ponselku.
Wanita berambut pirang itu berjalan pelan, dengan langkah elegan. Pria bertubuh kekar mengikuti di sampingnya.
Tubuh tinggi tepat berhenti melangkah di hadapan Brenda yang berdiri melindungiku dari depan. Dia membuka kacamata hitamnya. Tatapannya lurus menatapku tajam, mencoba bersikap arogan.
"Kau, siapapun kamu, walaupun saat ini kamulah yang berdiri di samping Dave, tetapi itu tidak akan lama. Aku akan merebut kembali semua hal yang seharusnya menjadi milikku, terutama priaku." Dia berkata sinis. Bibir merah menyalanya tidak menampilkan sedikitpun senyuman.
Jika diminta menyebutkan tokoh seperti apa dalam sebuah drama yang paling aku sukai, maka aku dengan pasti akan menjawab "tokoh utama wanita utama dengan karakter tegas tanpa rasa takut". Para pria mungkin menyukai wanita yang lembut juga anggung, membuat mereka sangat ingin melindunginya. Tetapi aku sebagai penikmat drama selama bertahun-tahun, juga sebagai seorang wanita akan bersikap sebaliknya.
Maka, aku menatap wanita berambut pirang itu dengan tatapan datar. Dave selalu tertawa ketika aku menatapnya tajam, tetapi aku tetap melakukannya kali ini.
Aku tersenyum menyeringai, sengaja membuatnya kesal.
Sebagai responnya, wajahnya memerah. Dia kesal.
TING !
Pintu lift terbuka, kami telah sampai di lantai tujuan.
Aku dan Brenda melangkah keluar lift, meninggalkan pria dengan tubuh besar dan wanita bernama Emma, Brenda memberitahuku namanya, tertinggal dengan wajah kesal di belakang.