Dave Pov ;
Aku melihat jam tanganku, pukul empat sore. Masih dua jam lagi sebelum jam kantor selesai. Sementara rapat baru berjalan lima menit.
Percayalah, aku, Davier William, sangat menyukai bekerja. Tidak membuat kesalahan sekecil apapun adalah visiku. Bukan hanya dalam bekerja, tetapi dalam setiap aspek kehidupanku.
Di saat semua pegawai dan karyawan pulang pukul enam sore, aku akan berada di ruanganku hingga pukul delapan malam. Bukan karena tugas pimpinan perusahaan yang lebih banyak dari pegawai yang lain, aku hanya menyukai bekerja.
Aku menyukai diriku yang berada dalam keadaan fokus. Walaupun tentu saja, aku juga menyukai waktu bersenang-senang.
Itu adalah diriku beberapa bulan lalu, sebelum statusku berubah, sebelum mengenal Lisa.
Faktanya sekarang.
Aku berangkat ke perusahaan lebih terlambat karena ingin lebih lama menatap wajah istriku. Menyukai jam makan siang karena bekal yang diantar langsung dari rumah. Dan tidak sabaran menunggu waktu pulang kerja. Semua karena Lisa.
Ponsel yang sangat jarang aku sentuh, kini aku pantau setiap menit. Walaupun mengetahui fakta lain bahwa Lisa juga tidak sering bermain ponsel, tetapi mungkin ada sedikit keajaiban jikalau Lisa mengirim pesan.
Selain tentang Lisa, aku masihlah Dave yang sama. Bersikap dingin kepada para pegawai dan orang yang tidak ku kenal. Pepatah yang mengatakan bahwa wanita adalah manusia paling menakutkan, ternyata benar adanya. Setinggi apapun derajat seorang pria, sedingin apapun sikapnya, atau seegois bagaimanapun dirinya, dia akan tunduk kepada wanita yang dicintainya.
TOK!
TOK!
TOK!
Pintu ruang rapat di dorong dari luar. Semua orang menatap kagum melihat Emma yang tengah melangkah menuju meja rapat. Dia duduk di kursi paling ujung, terpisah lima orang dariku.
Aku hanya menatapnya sekilas, bukan pemandangan yang menyenangkan.
Berbeda dengan pegawai lain yang tidak hentinya mencuri pandang kepadanya. Fakta bahwa seorang model cantic terkenal berada dalam satu ruangan bersama mereka membuat mereka bersemangat.
Emma menyapa para pegawai lain, membuat mereka tersipu. Hingga dia bersiap menyapaku, aku berkata dengan nada dingin, "Terlambat di hari pertamamu, diamlah, jangan membuat keributan."
Emma bungkam, begitu juga dengan semua anggota rapat.
Rapat kali ini membahas tentang kerjasama dengan perusahaan L, agensi yang menaungi Emma. Acara kolaborasi yang akan dilaksanakan secara besar-besaran. Rapat kembali dilanjutkan.
Satu jam kemudian.
Aku memakai jas hitamku, bersiap hendak pulang. Masih satu jam lagi hingga jam pulang kantor, tetapi aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Hanya agar pulang lebih cepat.
Mom, di rumah sudah menungguku untuk makan malam. Yeah, aku tidak ingin membuatnya menungguku bukan? Itulah yang aku katakan kepada Gerry beberapa menit lalu, agar dia bersiap menungguku di bawah.
Walaupun aku tahu pasti alasan sebenarnya.
Saat aku melangkah keluar dari ruang kantorku, Emma telah berdiri bersandarkan meja kerja sekretaris milik Brenda di depan sana. Dia tersenyum cerah ketika melihatku.
"Dave."
Aku menatapnya dengan tatapan datar, tanpa ekspresi. Seolah tidak ada dirinya yang berdiri di sana, aku berkata singkat kepada Brenda, "Bereskan mejaku."
Kemudian melangkah meninggalkannya.
"Dave, aku memanggilmu," Emma berteriak dengan kesal, ikut mengejarku dari belakang.
Dia menjajarkan langkah kakinya dengan langkahku yang cepat, membuatnya berlari kecil. Para pegawai mencuri-curi pandang kepada kami.
Aku melangkah cepat ke dalam lift, bertingkah seolah Emma tidak berada di sampingku saat ini. Aku terlalu malas menanggapinya.
"Dave, makan malam bersamaku, oke?" Emma kali ini menarik lenganku dengan keras, memaksa agar meresponnya.
Tentu saja, sekeras apapun dia mencoba menarikku, tidak akan membuatnya berhasil. Aku menatapnya dengan tajam, mengungkapkan rasa tidak sukaku.
"Diam."
Emma melangkah mundur, sebenarnya karena aku melepaskan pegangan tangannya yang sejak tadi berusaha menarikku.
Dia menghentakkan kakinya dengan kesal, "Kau tidak bisa melakukan ini kepadaku, Dave. Aku akan membuktikannya bahwa satu-satunya perempuan yang bisa berada di sampingmu hanyalah diriku."
TING!
Aku melangkah keluar begitu pintu lift terbuka, meninggalkan Emma dengan wajah merahnya yang menahan kesal di belakang.
Saat ini, aku belum mengetahuinya. Karena rasa kesalnya yang terus menumpuk, Emma akan melakukan hal-hal di luar dugaanku.
Garry membukakan pintu mobil begitu aku tiba di pintu utama perusahaan.
Drrtt
Sebuah pesan masuk. Aku mengambil ponselku dari dalam saku jas hitamku dengan semangat, berharap pengirimnya adalah Lisa.
Tetapi, bukan dari Lisa. Hanya saja, isi pesan tersebut adalah potret Lisa bersama seorang pria yang ku kenal. Terlihat jelas gambar itu diambil dari jarak yang cukup jauh dan dalam posisi bersembunyi. Dari nomor tidak dikenal.
Aku memang merasa sedikit kesal melihat gambar tersebut, tetapi hal lainnya lebih mengusikku.
Seseorang sedang mengikuti Lisa. Entah dengan tujuan untuk merusak hubungan kami atau berniat hal tidak diinginkan kepada Lisa.
Aku segera menghubungi seseorang, memintanya memeriksa sesuatu.
"Pergi ke tempat Lisa berada !" aku berkata tegas kepada Gerry. Dia mengangguk patuh.
Mobil mulai meninggalkan perusahaan, menuju ke tempat Lisa.
Sekitar tiga puluh menit lebih kemudian.
Aku meminta Gerry berhenti tepat di belakang mobil hitam yang dipakai oleh Lisa. Beberapa pengawal terlihat berdiri di luar pintu, menjaga dan mengawasi keamanan Lisa dari luar kafe.
Drrtt
Satu pesan masuk lagi.
Sebuah video yang memperlihatkan rekaman CCTV dari seseorang yang mengambil gambar dan mengirimkannya kepadaku. Pria dengan tinggi badan sekitar 176 cm dengan pakaian serba hitam terlihat memasuki sebuah cafe yang kini berada tepat di seberang jalan ini.
Sedangkan nomor telepon yang di pakainya terdaftar sebagai milik dari seorang pria yang telah meninggal dunia satu tahun lalu. Alamat ponsel pengirim juga tidak berada di negara ini.
Siapa yang mengirimkan pesan ini? Dan apa maksudnya?
Jika memiliki motif karena ingin merusak hubunganku dengan Lisa, satu-satunya orang yang terlintas di dalam pikiranku hanyalah orang itu. Tetapi berpikir sesederhana itu juga bukan hal yang bagus.
Drrtt
Satu pesan lain.
"Sayangku, cintaku, hanya milikku."
Aku menatap ponsel di tanganku dengan heran, jadi pesan ini untukku atau untuk Lisa? Tidak ada tanda wanita atau pria dari si pengirim.
Aku melihat ke arah Lisa di dalam Kafe. Dia terlihat tengah sibuk membaca buku di tangannya. Sedangkan pria yang duduk di depannya terlihat tengah sibuk di kelilingi wanita-wanita yang tampaknya mengganggunya. Lisa hanya tertawa sesekali melihatnya.
"Bos, tidak ingin masuk ke dalam?" Garry bertanya.
Aku terdiam beberapa saat, hingga kemudian akhirnya mengangguk.
Aku membuka pintu mobil, mulai berjalan ke arah Cafe. Para pengawal yang tengah menjaga Lisa dari kejauhan mengangguk hormat ketika aku melewati mereka.
Karena posisi Lisa yang membelakangi pintu masuk, dia tidak menyadarinya ketika aku berdiri di belakangnya. Dia tetap fokus dengan bukunya. Sementara pria yang bersamanya telah melihatku sejak aku berjalan dengan wajah ke arah meja mereka.
Seruan tertahan pelanggan lain terdengar kecil. Dua pria tampan yang kini saling menatap tanpa ekspresi.
Lisa menyadarinya beberapa saat kemudian. Ekpresi terkejutnya tidak bisa dia sembunyikan dariku.