Chereads / Mr.Punishment / Chapter 35 - Like Lovers Do

Chapter 35 - Like Lovers Do

Lisa Pov ;

Matahari mulai tenggelam di ujung barat sana, langit mulai menggelap. Jalanan mulai ramai, toko-toko yang berjejer di samping jalan mulai menyalakan lampu masing-masing. Seluruh kota mulai dipenuhi cahaya warna-warni dari segala arah.

Aku tersenyum kecil.

Aku masih memiliki ingatan tentang suasana ini, beberapa tahun lalu, aku yang dahulu. Suasana malam yang tiada ujungnya, dipenuhi tawa dan suasana bahagia di sekelilingku.

Dave disampingku tidak bersuara, matanya terpejam. Entah dia tertidur atau tidak. Semenjak keluar dari café beberapa saat lalu, dia hanya terdiam. Begitu pula setelah sampai di rumah tiga puluh kemudian. Dia memegang tanganku begitu turun dari mobil, tanpa suara. Terus berjalan menaiki tangga menuju kamar.

Dia membuatku duduk disisi tempat tidur, sementara dia tengah melepas dasinya. Mulutnya masih bungkam, terkunci rapat. Ekspresinya? Entahlah. Itu bukan ekspresi marah atau senang, malah lebih terlihat seperti, merajuk?

Aku hanya menatapnya dalam diam. Tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak ingin penyakit memaksa Dave kambuh jika aku mengatakan sesuatu yang tidak dia ingin dengar. Bukan karena takut, tetapi aku menyadari aku salah. Walaupun termasuk privasiku untuk berteman dengan siapa saja, tetapi bagi Dave hal seperti pertemuan antara pria dan wanita seperti ini tentu saja akan membuatnya cemburu.

Dave berjalan ke arahku. Dia mengambil tempat duduk di sampingku, kemudian merubah posisinya menjadi berbaring, meluruskan kakinya, dan kemudian menjadikan pahaku sebagai bantalan kepalanya.

Aku terdiam, kaget. Awalnya aku mengira Dave akan mencium atau menggodaku, membalas kemarahannya, tapi ini diluar perkiraanku.

Dave merubah posisinya yang sebelumnya menyamping kini menghadap ke atas. Dia menutup matanya, tetap diam.

Aku mematung. Aku kembali merasakannya, detak jantungku yang mulai tidak beraturan.

Aku mengatur nafasku, berharap Dave tidak dapat mendengar suara detak jantungku.

Lima menit berlalu. Kami masih dalam posisi yang sama. Dan aku, masih mengamati wajah tampan Dave sejak tiga menit yang lalu. Jika wajah Roy adalah wajah seorang Idol K-pop, maka wajah Dave adalah seorang aktor tampan yang dengan wajahnya akan memikat seluruh wanita meluluh, yang dengan tubuhnya dia akan terlihat seperti seorang bos mafia tak terkalahkan.

Andaikan ada sebuah sumur di sana, aku pasti telah tenggelam di dalamnya..

Dada Dave naik turun, dia bernafas dengan tenang, entah sudah terlelap tidur atau hanya memejamkan matanya.

Lima belas menit lagi berlalu.

Seharusnya aku mengomeli Dave karena telah membuat kakiku terasa kram saat ini. Seharusnya aku menolak sejak pertama kali Dave dengan tanpa alasan dan tanpa izin sesuai kesepakatan kami, jika ingin melakukan sesuatu kepadaku. Begitu seharusnya, tetapi hingga saat ini aku masih diam.

Melihat Dave yang terlihat tertidur pulas, membuatku mengurung niatku.

Rambut hitamnya yang tebal tidak lagi serapi saat dia berangkat pagi tadi. Beberapa helai berjatuhan ke atas dahinya saat dia mengubah posisinya menjadi menyamping beberapa saat lalu. Inilah penyebabku tidak bisa bergerak, wajahnya menghadap ke perutku, nyaris mencium perutku.

Tanganku bergerak merapikan rambutnya. Awalnya hanya merapikan rambutnya yang jatuh ke dahinya, hingga kemudian menjadi membelainya, seolah tengah sengaja membuatnya tertidur. Jantungku juga mulai tenang, tidak lagi menggila. Ini harusnya ku sebut di luar kendaliku, tetapi aku sungguh dalam keadaan sadar, dan aku masih terus melakukannya.

Hingga Claire membuka pintu kamar, hendak memanggil kami untuk makan malam.

"Dave, Lisa bersiap ma-" kalimat Claire terhenti saat melihat kami.

Aku yang masih membelai rambut Dave sedikit terkejut mendengar suara Claire.

Aku segera menurunkan tanganku, kemudian tersenyum kecil kepada Claire. Seolah tersadar dari hipnotis, aku menatap Dave yang kini telah membuka matanya dan melihat ke arah Claire di ambang pintu.

"Apa sudah waktunya makan malam, Mom?" Dave bertanya pelan, bangun dari posisi tidurnya.

Claire tertawa kecil, "Iya, ganti pakaian kalian, lalu turun." Claire mengedipkan sebelah matanya ke arah Dave, kemudian menutup pintu kembali.

Dave duduk bersila di atas kasur, menatapku dengan senyuman di wajahnya.

Aku tidak berani menatapnya, terasa canggung. Tapi seharusnya dia tidak menyadarinya bukan? Saat aku memainkan bulu mata, alis, bibir, dan rambutnya. Seharusnya tidak, dia tertidur pulas.

Aku menatap sepatu sneakers putihku yang belum kulepas sejak tadi. Saat aku bersiap untuk berdiri, Dave menarik lenganku, membuatku kembali terduduk. Dia menarik tubuhku mendekat ke arahnya.

"Kau sungguh membuatku tertidur Lili, awalnya aku hanya berniat sedikit menghukummu, siapa tahu kau akan mulai memainkan rambutku. Kau tahu pasti itu akan membuat siapapun tertidur." Dave berbisik pelan.

Wajahku mulai terasa panas, memerah karena malu.

Aku mendorong tubuh Dave, berdiri menjauh darinya.

"Kau membuat kakiku pegal!" aku berkata kesal, lantas membuka pintu ruang wall in closet, meninggalkan Dave di belakang. Dia seharusnya tidak melihat wajah memerah ku bukan? Bagus, Lisa! Kau melakukannya dengan baik.

Aku membuka tali sepatuku, sambil mengontrol emosi yang mulai tidak terkendali jika berhadapan dengan Dave.

Pukul sembilan malam.

Aku telah selesai berganti pakaian menjadi pakaian tidur. Sedangkan Dave masih di bawah bersama Claire dan Daniel.

Setelah makan malam, kami berempat berkumpul di ruang keluarga. Claire menunjukkanku album foto masa kecil Dave, bercerita tentang bagaimana sifat dingin Dave sudah ada sejak dia kecil, tentu saja kecuali kepada Claire dan Daniel. Dia bercerita berbagai hal, hingga bertanya tentang orang tuaku saat masih hidup dahulu. Dia menangis terharu mendengar kisah ibuku yang meninggalkan aku dan Jessy yang masih kecil, yang disusul kemudian keberadaan ayah kami yang menghilang.

Aku tidak berniat membuatnya sedih, itu juga bukan cerita sedih lagi sebenarnya menurutku. Aku sudah terbiasa.

Sementara Dave dan Daniel tengah serius berbicara tentang perusahaan. Percakapan mereka terlihat serius.

Suara pintu terbuka, Dave muncul disana.

Dia berjalan ke arah baju tidurnya yang berbaris rapi, ada puluhan disana. Tangannya sibuk memilah.

Sementara aku, bersandar di salah satu lemari, mengamatinya. Aku mengamatinya dengan tidak percaya, dia terlihat sangat teliti, entah apa yang diperhatikannya.

Setelah lima menit pun dia masih berkutat memilah baju tidurnya. Aku akhirnya menghampirinya, gemas.

"Kau sedang memilih apa?" Aku bersedekap.

Dia tetap fokus, terlihat sangat serius. "Baju tidur, Lili."

Aku memutar bola mataku, "Apa yang perlu kau pilih? Mereka semua terlihat sama. Apa kau memiliki masalah penglihatan?"

Dave menatapku, "Aku hanya sedang berusaha memilih yang mana yang cocok dengan hariku." Dia berkata dengan mantap, meyakinkan.

"Tetapi mereka semua berwarna hitam, setiap harimu selalu gelap? Kau aneh sekali."

"Tidak, Lili. Mereka berbeda, kain dan merek mereka berbeda," setelah kembali memilih, dia akhirnya menemukan pilihannya.

Astaga! Dia memang benar-benar dimanjakan sejak kecil. Aku baru kali ini bertemu seseorang yang memilih baju tidur hampir setengah jam.

Saat aku hendak berjalan keluar, Dave menarik tanganku, kemudian berbisik pelan, "Aku juga harus terlihat tampan dengan balutan baju tidur saat kamu diam-diam mengamatiku dalam tidur lagi." Dave tertawa, kemudian berlari keluar ruangan.

Aku menutup wajahku yang sempurna memerah.

Sialan, Dave!