Dave Pov;
Rapat baru berjalan 10 menit saat Brenda berbisik di telingaku bahwa Lisa baru saja tiba di ruang kantorku. Aku tersenyum kecil, balas berbisik kepada Brenda. Brenda mengangguk mengiyakan, kemudian berjalan keluar ruangan.
"Baiklah, aku ingin dalam dua puluh rapat selesai." Aku berkata tegas, menatap para anggota rapat. Mereka mengangguk setuju.
Dua puluh menit kemudian.
Seperti biasa, Lisa tengah duduk di sofa panjang, sibuk dengan ponselnya. Dia tidak menyadari ketika aku melangkah masuk dan kini berjalan ke belakangnya. Aku memperhatikan apa yang membuatnya begitu fokus sejak tadi. Aku menggeleng pelan, itu adalah vidio boy band Korea kesukannya.
Aku berbisik pelan di samping telinga Lisa, "Apa kau sangat menyukai mereka? Matamu tidak berkedip sejak tadi."
Lisa tersentak kaget, tangannya reflek memegang dadanya. Kepalanya berbalik, menatapku kesal. Dia akhirnya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas kecilnya. Aku mengambil tempat duduk disampingnya.
"Apa kau sedang menjalankan tugas penelitianmu, Nona Penulis?" Aku bertanya pelan, menatap Lisa yang kini bersedekap kesal.
Dia menggeleng kecil, tapi kemudian mengangguk lagi. Jadi maksudanya iya atau tidak? Aku menatapnya heran. Dia mengambil kotak bekal di atas meja yang tidak terlalu kuperhatikan sejak tadi. Tangannya lincah mulai menata isi bekal dengan rapi.
"Claire memintaku mengantarkan ini padamu, aku menarimanya dengan paksa. Aku tidak mengerti, mengapa harus repot-repot mengantarkan bekal saat kau memiliki uang yang bisa membeli restoran sekalipun." Lisa berkata kesal, tangannya sibuk.
Aku tertawa kecil.
"Kenapa kau tertawa? Makanan-makanan ini lucu?" Dia kembali bertanya kesal. Kali ini aku sungguh tertawa. Lisa menatapku galak.
"Kamu hampir seperti Mom, dengan kata-kata panjang dan tangan yang sibuk menyiapkan makanan." Aku berkata pelan, setelah tawaku reda. Lisa tidak menanggapi, dia memberikan sendok dan garpu untukku. Tugasnya telah selesai, dia kembali mengambil ponsel di dalam tas kecilnya, lanjut menonton vidio.
Aku menyuapinya dengan buah-buahan, dia menerimanya tampa berkata apapun. Aku tersenyum kecil, itu merupakan kemajuan besar. Kami menghabiskan makan siang tanpa berbicara.
"Dave." Suara panggilan dari ambang pintu membuat kami menoleh. Emma berdiri disana, dengan senyum mengembang. Dia berjalan ke arahku. Lisa di sampingku tidak berkata apapun, dia hanya menatap Emma beberapa detik, kemudian duduk lagi, memainkan ponselnya.
"Apa yang kau lakukan di kantorku?" Aku berkata dingin, menatap Emma tajam.
Dia tidak membalas, kemudian mengambil posisi duduk di sofa di seberang meja depan kami. Matanya melihat ke arah Lisa yang tengah fokus menatap ponselnya, suara dari vidio yang dia putar mengisi jeda hening.
"Bukankah kau harus menyapa tamumu Nyoya William?" Emma bertanya kepada Lisa.
Sebagaimana sifatnya, Lisa mengabaikan pertanyaan Emma. Dia justru kini tengah tertawa karena vidio di ponselnya. Dia sama sekali tidak tertarik saat Emma datang sejak tadi. Tangannya menepuk-nepuk kursi, masih tertawa.
"Sepertinya Nyoya William kita tidak memiliki sopan santun. Bagaimana bisa kau menikahi gadis seperti ini Dave? Memalukan." Emma tidak menyerah, dia kembali berkata sinis.
Aku hendak menjawab Emma sebenarnya, tetapi Lisa lebih dahulu menarikku mendekat ke arahnya. Dia memperlihatkan vidio di dalam ponselnya kepadaku, kemudian dia kembali tertawa. Aku tidak melihat sesuatu yang lucu, itu hanya vidio para pria di atas panggung yang tengah menari dengan jutaan penonton memenuhi kursi. Lisa menyenggol perutku dengan lengannya. Aku tidak mengerti, tetapi akhirnya hanya ikut tertawa.
Lisa mengubah posisinya. Kini dia menidurkan kepalanya di atas pahaku, tubuhnya berbaring lurus di atas sofa. Dia kembali menunjukkan vidio lain kepadaku.
"Bukankah mereka sangat menggemaskan? Kau ingin bayi laki-laki atau perempuan?" Kali ini vidio bayi kembar menggemaskan. Aku tertawa kecil, mereka memang menggemaskan. Aku mengerti, Lisa sengaja mengabaikan Emma dan sedang berusaha membuatnya marah.
Sesuai dugaan, Emma memang marah di kursinya. Wajahnya memerah karena kesal.
"Haruskah kita memiliki Dave kecil dahulu, sayang?" Aku berbisik di samping telingan Lisa. Tidak berbisik sebenarnya, suaraku dipastikan bisa didengar oleh Emma juga.
Lisa tertawa kecil. Pertama karena telinganya merasa geli, kedua karena kata-kata tadi dia pahami bahwa aku sedang menggodanya. Dia mendongak, menatap mataku. "Dave kecil? Aku suka itu. Dia pasti akan sangat tampan." Lisa berkata riang. Kakinya bergerak-gerak, pertanda dia senang. Harus kuakui, dia bisa menjadi seorang aktor atau seorang aktris dengan kemampuan aktingnya.
"Benarkah?"
"Iya, dengan dua pria tampan yang mengeliliku, tentu saja aku senang."
Aku diam sebentar, tertagun. Walaupun Lisa hanya sedang ber-ankting, tetapi aku bersungguh-sungguh dengan kata-kata juga responku.
"Tidak. Aku tidak lagi menginginkan Dave kecil, aku menginginkan Lili kecil saja." Aku berkata senang. Lisa mendongak lagi, menatapku bingung. "Kenapa?"
"Aku tidak ingin ada pria lain yang membuatmu mengalihkan perhatian dariku. Entah itu Dave kecil atau yang lainnya." Aku berkata dengan tidak semangat.
Lisa menatapku tidak percaya. Aku tahu dia tengah menyumpahiku habis-habisan di dalam kepalanya. Hanya karena dia tengah ber-akting di hadapan Emma dia menahan dirinya.
Lisa tertawa kecil. Dia menatapku. Tangan kanannya memegang pipiku dengan lembut. "Baiklah baiklah baiklah, tidak ada Dave kecil. Mengapa kau begitu menggemaskan, saying." Lisa mencubit pipiku, dalam artian dia benar-benar mencubitnya.
Aku memegang tangannya, membuat gerakannya terhenti. Aku menatap matanya dalam, kemudian memberi kecupan di bibir kecilnya. Lisa sedikit terkejut, tidak mengira aku akan melakukan hal tersebut. Teteapi kesadarannya kembali beberapa detik kemudian, Emma masih di sana, menonton dengan tangan terkepal kesal. Lisa memaksa senyum kecil di bibirnya.
Dia akhirnya bangun dari posisinya, kembali duduk. Dia menatap Emma, kemudian berpura-pura kaget. "Astaga, kita kedatangan tamu. Kenapa kau tidak memberitahuku, sayang. Aku sangat malu jika dia menonton kita dari tadi." Lisa berkata pelan, merasa menyesal. Bertingkah menyesal, tepatnya.
"Aku juga tidak tahu ada seorang tamu yang sangat ingin mengetahui keadaan rumah tanggaku." Aku berkata dingin, menatap Emma datar.
Aku melihat wajah Emma sekilas beberapa saat lalu, dia terlihat sangat kesal. Namun saat ini, dia terlihat lebih tenang. "Aku tadinya hendak bertamu, tetapi tidak lagi." Dia tersenyum menatap layar ponselnya.
Tepat setelah itu, Brenda datang. Dia berbisik di telingaku. Beberapa saat lalu agensi/perusahaan yang menaungi Emma mengirim surat kerjasama. Perusahaan yang menaunginya adalah perusahaan besar yang juga merupakan target kerjasamaku yang selanjutnya. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku abaikan. Aku mungkin memang tidak menyukai Emma secara pribadi, tetapi sebagai pebisnis aku tidak boleh melewatinya.
Emma menatapku, tersenyum. Aku hanya menatapnya datar.
Lisa memegang tanganku. Aku menatapnya, matanya memberi isyarat agar aku memberitahunya juga. Aku berbisik di telinganya, memberitahunya tentang kerjasama juga sekalian menggodanya. Dia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, menahan tawanya.
"Apa yang kau tertawakan? Juga mengapa kalian sangat suka berbisik-bisik?" Emma bertanya kesal.
Lisa menurunkan tangannya yang menutupi mulutnya, sisa tawanya terlihat di ujung bibirnya.
"Tentu saja karena tidak ingin orang luar mendengarnya. Dan, ternyata kau lebih menyedihkan dari yang aku kira." Lisa berkata tegas, dia menatap Emma dengan dingin.
"Menyedihkan?" Emma mengepalkan tangannya, emosinya kembali terpancing keluar.
Lisa mengangguk, "Benar, kau sangat menyedihkan. Tetapi maaf, walaupun kau mengejar suamiku dengan cara apapun, dia tidak akan pernah menyukaimu." Lisa berkata ketus sebelum melanjutkan kalimatnya. "Ssstt ini sebenarnya rahasia kami berdua, dia seperti anjing penurut di siang hari tetapi dia adalah anjing yang sangat ganas di malam hari." Kali ini dia berbica seperti berbisik dengan suara yang dapat kami semua dengar, termasuk Brenda. Brenda tentu saja diam, walaupun mungkin tengah tertawa kecil di dalam hatinya. Bagaimana bisa istriku ini mendeskripsikan suaminya seperti seekor anjing.
Emma hendak membalas perkataan Lisa, tetapi Lisa lebih dahulu membuatnya bungkam.
Istri kecilku itu menatapku, kemudian menarik dasiku paksa, membuatku menunduk. Dia mencium bibirku tidak kurang dari satu menit. Aroma cerry yang familiar memenuhi bibirku.
Emma menghentakkan kakinya, berjalan keluar ruangan dengan kesal. Lisa telah berhasil mengusir musuhnya, setidaknya untuk hari ini.