Dave Pov ;
Pukul sepuluh malam.
Aku menggoyangkan bahu Lisa pelan, mencoba membangunkannya. Tubuhnya bersandar di punggung kursi.
Jack yang duduk di kursi sebelahnya juga dalam kondisi yang sama. Sejak kedatanganku dan Lisa, Jack lah yang paling bersemangat. Pertemuan ini tentu saja juga merupakan usulannya. Dia tidak hentinya mendesak ingin bertemu Lisa sejak pertemuan keluarga beberapa hari lalu.
Usia mereka hanya terpaut satu tahun, dan Jack, tentu saja dengan semangat berceloteh banyak hal kepada teman barunya. Dia terus membual bahwa Lisa harus memanggilnya kakak, dikarenakan usianya lebih tua walau satu tahun. Meja kami dipenuhi tawa dengan tingkah mereka.
Suasana menjadi lebih baik. Tidak secanggung saat aku dan Lisa hanya berdua. Aku sempat mengira Lisa juga akan merasa canggung saat bertemu Jack, Harry, Tommy dan Brian. Tetapi, siapa sangka, suasananya menjadi lebih baik dari yang kupikirkan. Terutama Lisa dan Jack, mereka memang masih seperti anak kecil diantara kami.
Dua gelas anggur sudah membuat mereka berbicara meracau dan banyak bertingkah, terutama Jack. Dia naik di atas kursinya, bertepuk tangan riang, kemudian bernyanyi senggang. Beruntung aku menyewa seluruh restoran, tidak akan ada orang lain yang menyaksikan sikap memalukannya.
Lisa tertawa kecil dari tempat duduknya, kemudian mulai meracau bersama lagi setelah Jack kembali duduk di kursinya.
Dan sekarang, mereka berdua bersandar lesu, lelah bermain. Aku merasa seolah membawa dua adik kecilku keluar bermain, sungguh.
Lisa membuka matanya, dia menatapku sekilas, kemudian kembali tertidur. Aku mengangkat tubuhnya pelan, melangkah keluar restoran.
Aku menutup pintu mobil pelan setelah membuat Lisa duduk manis di kursi belakang.
Lisa bergumam pelan saat aku menutup pelan pintu mobil, bersiap hendak mengambil tas Lisa yang tertinggal di restoran.
Aku menatapnya, tidak mendengar perkataannya dengan jelas.
Lisa bangkit dari posisi duduknya, kemudian menjulurkan kepala dan setengah badannya keluar dari jendela mobil.
"Dimana mie pedasku?" Bibir kecilnya mengecap.
Aku mendekatkan wajahku, "Kau ingin mie-" Cup.
Lisa menarik dasiku keras, kemudian menciumku, beberapa detik.
Aku terdiam, Gerry berseru tertahan dari kursi depan, aku yakin dia melakukannya.
Lisa melepas ciumannya dariku, kemudian mengecap bibirnya, "Ah, kenapa tidak pedas?"
Matanya tetap menutup, raut wajah dan nada suaranya kesal. Dia kembali lagi ke posisi duduknya seperti sebelumnya, kemudian terlelap.
"Wow, foto yang sempurna bukan?"
Saat aku sibuk menganalisis kejadian Lisa menciumku barusan, suara Tomy muncul dari belakang. Mereka berempat, dengan Jack yang di papah Tomy, telah berdiri dengan senyum aneh mereka di depan pintu restoran, menonton kejadian barusan dari awal hingga akhir, tanpa aku sadari.
Harry menunjukkan hasil jepretannya kepadaku, kemudian tertawa, bangga dengan karyanya.
"Jaga calon Nyonya William kita dengan aman," Brian melempar tas kecil Lisa, tertawa nakal. Aku mengangguk, melangkah ke dalam mobil.
Mobil melaju pelan, meninggalkan restoran.
Setengah jam berlalu, mobil memasuki kediaman Wilson.
Aku membuka pintu mobil, bersiap mengangkat tubuh Lisa. Lisa menggeliat kecil saat aku hendak mengangkat tubuhnya, membuka matanya sedikit.
Wajahnya yang memerah menatapku heran.
"William?" Dia bertanya samar, lebih terdengar seperti gumaman.
Aku balas menatapnya.
Lihatlah dirinya, beberapa waktu lalu saat aku melarangnya meminum anggur, dia menolak dengan kesal, berkata bahwa tubuhnya tahan terhadap alkohol. Sedangkan di gelas pertamanya saja, dia sudah mulai meracau tidak jelas bersama teman barunya, Jack.
Tangan kanan Lisa bergerak. Dia mengusap hidungku pelan, kemudian mata, wajah, hingga bibirku dengan gerakan lembut.
"Ada apa dengan wajah ini? Mengapa sangat tampan? Apa kau seorang malaikat?" Walaupun suaranya bergumam, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Aku menatap Lisa, tersenyum kecil.
"Kau ! Jangan sering tersenyum seperti itu. Wanita-wanita itu melihatmu." Lisa menutup bibirku dengan kedua telapak tangannya.
Dia menengok ke kanan dan kiri, seolah memastikan tidak ada orang lain disekitar. Aku tertawa kecil. Lisa ikut tertawa, kemudian menarik kedua tangannya yang merasa geli. Dia kemudian melingkarkan kedua tangannya ke leherku, memelukku erat.
Aku terdiam, lebih tepatnya terkejut. Lisa kembali bergumam pelan, aku mengangkat tubuhnya, membawanya ke dalam rumah.
....
Tiga hari sebelum hari pernikahan.
Berbagai hal untuk hari pernikahan telah siap.
Di rumah, Mom juga sibuk dengan berbagai pilihan gaun mana yang akan dikenakan. Setiap hari bertanya segala hal, bagaimana perkembangan hubunganku dan Lisa, bagaimana dengan tempat honeymoon, dan lainnya. Urusan perusahaan juga sudah ku urus, segala hal yang memerlukan tanda tangan dan persetujuanku, sisanya Brenda akan mengurusnya.
Aku menuruni anak tangga, menuju ruang makan. Mom dan Dad hampir menghabiskan sarapannya saat aku sampai disana.
"Kau akan bertemu Lisa hari ini, Dave?" Mom bertanya. Aku menatap Mom sekilas, kemudian tersenyum kecil.
"Ada apa dengan senyum itu?" Mom kembali bertanya, menatapku heran. Aku menatap Mom lagi, kemudian menggeleng kecil.
Aku sebenarnya sudah tidak menemui Lisa belakangan ini, tepatnya Lisa menolak aku menemuinya.
Terakhir, saat pertemuan kami minggu lalu, saat aku mengajak Lisa makan siang di luar. Dia bertanya bagaimana dia pulang dari restoran saat makan malam bersama empat sahabatku. Dia tidak mengingatnya.
Aku memberinya tatapan nakal sebagai jawaban. Dia berusaha mengingatnya, namun tidak ada ingatan sama sekali. Hingga aku menunjukkan foto yang Harry kirimkan. Lisa kaget, kemudian terlihat sadar, sepertinya ingatannya kembali. Wajahnya memerah. Lantas mengajakku untuk segera pulang.
Sejak saat itu Lisa menolak saat aku memintanya untuk makan bersama, dia hanya mengirim beberapa pesan, dengan berbagai alasan bahwa malam itu dia hanya bercanda dengan semua ucapannya, memintaku untuk melupakannya.
"Dave?" Suara panggilan Mom membuyarkan ingatanku.
Aku menatap Mom dan Dave yang tengah menatapku heran, sejak tadi mereka terus bertanya, dan aku sibuk melamun dengan senyum konyol di wajahku.
Aku tertawa kecil, "Kau tenang saja Mom, Lili tidak akan kabur walau aku tidak menemuinya sehari." Aku beranjak berdiri, meninggalkan Mom dan Dad yang masih menatapku tidak percaya.
"Tuan Dave, ada tamu yang mencari tuan." Casey, salah satu pegawai rumahku memberitahu saat aku bersiap menyalakan televisi di ruang keluarga.
Aku menatapnya heran, "Siapa?"
Aku tidak memiliki janji temu dengan siapapun hari ini. Casey menggeleng sebagai jawaban. Aku melangkah ragu menuju pintu.
"Dave." Saat aku membuka pintu, Emma langsung melompat memelukku.
Aku masih terdiam, kaget.
"Siapa disana Dave?" Suara Mom terdengar mendekat. Aku berusaha melepas pelukan tangan Emma yang kuat melingkari leherku. Dia memberontak lebih keras, tidak ingin melepasnya.
"Berani sekali kamu menyentuh putraku, lepaskan sekarang juga." Mom telah berdiri di belakang kami.
Dia menatap Emma dengan wajah merah padam. Emma melepas pelukannya. Mom melangkah ke depanku, menjauhkan aku dengan Emma. Emma terlihat kesal.
"Aku kembali Nyonya William, aku merindukan Dave." Emma berkata pelan, menatap Mom.
"Dia telah memiliki seseorang yang dia cintai, dan mereka akan segera menikah. Jangan pernah berharap kau bisa mendekati putraku lagi." Mom membalas, suaranya masih terdengar marah, wajahnya memerah. Aku memegang tangan Mom, berusaha menenangkannya.
"Dave mencintaiku. Aku tau dia pasti terpaksa menikahi gadis murahan itu." Emma menjawab, suaranya sedikit kesal.
"Jangan berani menyebut Lisa murahan dengan mulut kotormu itu. Dia akan menjadi satu-satunya istri putraku. Sekarang tinggalkan rumahku, jangan sampai aku melihatmu lagi."
Mom menarik tanganku kembali ke ruang keluarga, mengabaikan teriakan Emma yang tengah protes karena satpam yang menariknya paksa keluar rumah.
"Sudahlah." Dad memberikan segelas air putih kepada Mom, duduk disampingnya.
Aku menatap Mom yang tengah menghembuskan nafasnya keras. Aku tahu Mom tidak menyukai Emma, dan juga alasan pastinya.