Lisa Pov ;
Aku mematut diriku di depan cermin, tersenyum kecil.
Aku merasa seperti menjadi orang yang berbeda dalam balutan gaun putih yang menempel di tubuhku. Gaun itu tidak terlalu berat, juga tidak ringan. Bagian depannya hingga lutut, sedangkan bagian belakangnya yang memanjang menyapu lantai.
Bahuku yang terbuka terasa sedikit dingin terkena pendingin udara, gaunnya tanpa lengan yang menutupi.
"Nyonya William sangat cantik dengan gaun ini." Salah satu pegawai wanita yang sejak tadi membantuku memakai gaun menatapku antusias.
Aku menatapnya, "Benarkah?"
Pegawai yang lain mengangguk, mengiyakan. Aku sebenarnya menyukai gaun itu, tetapi entahlah dengan Dave. Terakhir kali saat melihatku mengenakan gaun tanpa lengan, dia terlihat tidak menyukainya.
Tirai yang menghalangi ruang sebelumnya dengan ruangan ini di singkap. Dave terlihat tengah membaca sesuatu di seberang sana. Dia baru mengangkat kepalanya saat pegawai memberitahukan bahwa aku telah siap. Dia menatapku.
Aku tidak mengerti maksud dari ekspresi di wajahnya. Pertama, dia tersenyum cerah, tetapi kemudian terlihat kesal, kemudian terlihat bingung. Jika dalam suasana yang berbeda, aku mungkin akan tertawa, dia terlihat seperti bocah kecil polos yang lucu.
Dave berjalan ke hadapanku. Dia tersenyum kecil, menatapku.
Dia berdiri di depanku, tangannya menyentuh rambutku, kemudian mengangkat mereka ke atas. Dave terdiam, kemudian menggeleng keras.
"Aku tidak akan membiarkan pria lain melihat bahumu dengan jelas seperti ini Lily. Ganti!" Dave berbisik disamping telingaku, namun suaranya tidak pelan, sengaja agar para pegawai bisa mendengarnya.
Aku berdiri mematung, tidak bergerak. Dave melepas rambutku, merapikannya kembali. Dia tersenyum kecil. Tangannya bergerak menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Kemudian berjalan kembali, ke posisi duduknya. Tirai kembali ditarik.
Aku menghembuskan napas keras. Sementara para pegawai wanita yang membantuku memilih dan memakai gaun tertawa kecil, senang mendapat tontonan.
Satu jam berlalu.
Dave akhirnya memilih gaun yang terakhir aku coba, tentunya setelah banyak pertimbangan. Aku bahkan sudah lelah berdiri, berganti gaun yang tidak semuanya ringan, beberapa dari mereka terasa berat.
Dave akan mengomentari setiap gaun dengan banyak alasan. Gaunnya transparan, kakiku akan terlihat. Gaunnya terlalu menempel, bentuk tubuhku akan terekspos. Gaunnya terlalu terbuka, gaunnya terlalu tertutup, gaunnya terlalu pendek atau panjang, dan berbagai komentar lainnya.
Dia seharusnya mencari tempat yang sesuai untuk memintaku berganti gaun banyak kali. Aku akan memakluminya jika kami sedang mencoba gaun pesta atau pakaian biasa lainnya, tetapi dalam hal ini adalah gaun pengantin, aku kewalahan.
Tetapi bagi para pegawai wanita ini, sama seperti Dave, terlihat menikmati tontonan mereka.
Aku menghempaskan tubuhku kasar, duduk dengan kesal. Saat ini giliran Dave yang mencoba. Lihat saja nanti ! Aku akan membalasnya. Aku bertekad dalam hati.
Lima menit kemudian, tirai didepanku terbuka. Tanganku yang memegang buku, secara refleks turun, menatap ke depan. Aku terdiam, lebih tepatnya aku tidak berkedip juga menahan napas.
Itu terlihat seperti kemeja dan jas yang Dave kenakan tiap harinya, sungguh. Dan seperti biasanya, dia sungguh tampan dengan setelan itu. Bahu lebarnya semakin terlihat jelas, membuatnya semakin memesona. Jangan tanya tentang wajahnya, apapun yang ia kenakan dengan wajahnya itu akan menyempurnakan segalanya.
"Lili?" Aku tertegun. Dave tersenyum manis didepan sana, menatapku penuh tanya, meminta respon.
"Ganti !" aku menjawab sedikit terbata, mengambil kembali buku di atas meja dengan gerakan canggung. Dave terlihat bingung, tapi kemudian menurut, tirai kembali ditutup.
Aku mengipas wajahku dengan tangan. Astaga Lisa, kau hampir gila. Jangan terpesona, jangan.
Lima menit lagi berlalu. Tirai kembali dibuka. Wajah tampan Dave kembali terlihat di depan sana. Oh tuhan, dia terlalu tampan.
Aku hendak melambaikan tanganku, memintanya berganti. Tetapi Dave kemudian melangkah ke arahku, tatapannya tidak lepas dari mataku.
Dia membungkuk, mendekatkan tubuhnya ke arahku. Aku bergerak mundur hingga menyandar di sandaran sofa. Dave mendekatkan wajah kami. Aroma strawberry dan coklat memenuhi sekitarku. Aku menahan napas.
Dave menatap mataku dalam, satu tangannya disamping bahuku, menopang tubuhnya.
"Kau tidak sedang balas dendam kan, Lily?" Dave bertanya pelan, suaranya terdengar dalam. Para pegawai disekitar yang menyaksikan berseru tertahan, seolah sedang menyaksikan bagian romantis dari film favorit mereka. Aku menelan ludah, mengerjapkan mataku, kemudian menggeleng pelan.
"Lalu, berikan aku alasan," Dave tidak bergerak seincipun walau aku mencoba mendorongnya sejak tadi. Bola mata hitamnya berkilau terkena cahaya lampu. Aku bergerak turun, mencoba agar sedikit menjauh. Namun Dave seperti biasa, tidak akan melepaskanku dengan mudah.
Saat aku hampir sampai dalam posisi tidur di atas sofa, hendak berguling ke bawah agar bisa menjauh, Dave kembali mengunciku. Kedua tangannya mengunci tubuhku, tidak ada celah lagi untuk bergerak.
Aku bisa mendengar tawa kecil dari para pegawai di sekitar kami.
"O-oke, yang itu saja. Ambil yang itu." Aku memalingkan wajahku ke samping, berusaha menyembunyikan wajahku yang mulai memerah. Dave tersenyum kecil, aku mendengarnya. Dia kemudian berdiri lagi, menatapku puas, lalu melangkah ke ruang ganti.
Aku beranjak duduk, menghembuskan nafas kasar. Sial.
....
Pukul dua siang. Matahari bersinar terik di atas sana.
Kami tidak langsung pulang, Dave berkata akan mengajakku ke suatu tempat. Aku tidak banyak bertanya, mengangguk mengikuti. Jalanan tidak sepi, namun masih terhitung lancar.
Sekitar dua puluh menit kemudian, kami sampai di tempat tujuan.
Itu adalah sebuah restoran mewah di tengah kota. Orang yang datang kesini biasanya adalah orang penting dan terpandang di kota.
Dave berdiri disampingku, kemudian memegang tanganku. Dia sedikit menarik pinggangku, membuat tubuh kami menjadi lebih dekat. Dua orang pegawai membukakan pintu utama restoran saat kami bergerak masuk, tersenyum ramah menyambut tamu.
Restoran itu terlihat lebih luas lagi dari dalam. Puluhan kursi dan meja berbentuk bundar ditata rapi. Aku mengira akan ada banyak pelanggan saat kami masuk, tetapi ternyata sepi. Bukankah ini adalah jam makan siang, mengapa sepi?
Aku hendak bertanya kepada Dave, namun dia tetap fokus berjalan. Aku mengurung niatku.
Aku melihat ke arah meja di samping jendela di depan sana, beberapa meter di depan kami. Ternyata ada pelanggan lain. Beberapa pria yang tengah mengobrol asyik. Mereka tidak menyadari keberadaan kami, hingga Dave berhenti melangkah dibelakang mereka.
Aku hendak bertanya kepada Dave, tapi kemudian urung lagi, karena Dave lebih dulu menyapa mereka dengan ramah.
"Yo, pengantin baru kita sudah datang." Salah satu dari mereka merangkul bahu Dave dengan akrab. Yang lain kemudian bertepuk tangan, tertawa akrab. Aku menatap wajah mereka ragu-ragu.
Setelah memperhatikan dengan seksama, aku tertegun, aku mengingat mereka. Empat pria lain yang kutemui bersama Dave di dalam lift hotel dahulu, sahabat-sahabat dekatnya.
"Hai, Nyonya William." Salah satu dari mereka menyapa riang. Aku menatapnya, tersenyum kecil. Jessy tidak bergurau saat mengatakan Dave dan empat sahabatnya memiliki wajah-wajah seorang pangeran. Mereka semua tampan, tanpa terkecuali.
Dave memperkenalkan mereka kepadaku satu persatu. walau tidak langsung mengingat nama mereka, tetapi wajah mereka bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan.
Setelah beberapa waktu kedepan, makan bersama mereka, aku mulai merasa sedikit nyaman. Mereka menyenangkan, tidak terlalu membosankan. Aku paling menyukai Jack, usia kami hanya terpaut satu tahun. Dia terlihat ceria dan menyenangkan.
Walaupun aku tidak pernah banyak mengobrol dengan seorang teman sebelumnya, menganggap semua orang membosankan, tetapi Jack menyenangkan. Dia banyak berbicara tentang Dave yang menyebalkan, bertanya apakah aku sudah melihat tato di bagian perut Dave, dan lainnya. Aku banyak tertawa berkatnya.
Aku menangkap satu dua kali Dave yang menatapku dengan tajam, tapi aku kembali mengabaikannya.
Aku menyadarinya. Aku tengah maju satu langkah, menuju dunia Dave.