Lisa Pov ;
Aku membalik halaman buku di tanganku, membaca dengan seksama. Sebenarnya aku tahu cerita selanjutnya, juga ending ceritanya. Itu adalah novel serial "Harry Potter", karya J.K Rowling.
Aku sudah menonton delapan series film-nya, favoritku. Karena sudah menontonnya aku kira membaca novelnya akan tidak menegangkan lagi. Tapi ternyata cerita di dalam novel lebih menegangkan lagi, ceritanya lebih mendetail.
Buku novel yang hampir setebal batu bata ini berjejer rapi semua series di lemari kantor Dave.
Ini sudah hampir tiga puluh menit sejak Dave memaksaku menikahinya di depan Brenda, sekertarisnya.
Aku mungkin sudah gila saat itu, menerimanya hanya karena rasa maluku. Dave-pria gila itu menciumku dengan ganas di depan orang lain. Aku tahu dia serius dengan kata-katanya bahwa dia akan melakukan hal yang jauh jika aku tidak menerimanya beberapa menit lalu.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Ini tidak masuk akal untukku. Kami hanya bertemu tiga kali, tidak pernah berbicara, tidak ada kata-kata penuh perasaan, dan tiba-tiba....di pertemuan keempat dia memaksaku menikahinya.
Aku tidak berharap akan menikah dengan seorang pria romantis yang akan membawakan seikat bunga di setiap pertemuan kami, atau dengan seorang yang akan menyewa seluruh taman bermain hanya agar aku bisa melihat kembang api yang indah hanya berdua.
Mereka tidak harus seperti pria idaman di film romantis kebanyakan, setidaknya mereka adalah seseorang yang kucintai dan ingin kunikahi. Tapi hari ini? Aku dipaksa menikahi pria yang hanya dipenuhi aura menakutkan dan senyum nakal.
Oh, aku merindukan hidup tenangku.
Dua puluh menit yang lalu, setelah Brenda keluar,
Dave kembali memaksaku duduk nyaman di sofa panjangnya.
Aku menolak, aku ingin pulang. Tapi tentu saja, dia akan memaksaku lagi dengan trik andalannya. Aku mengalah.
Dia mengatakan akan mengurus sesuatu sebentar, memintaku menunggunya. Dan disinilah aku, membaca buku serial "Harry Potter" dengan patuh.
Sepuluh menit berlalu, aku melepas buku novel di tanganku. Langit di luar hampir gelap, matahari hampir tenggelam sepenuhnya. Pintu kantor didorong dari luar. Dave masuk dengan senyum menyebalkannya.
Aku masih dalam posisi duduk bersandar di punggung sofa, dengan buku di tanganku. Dave berjalan ke arahku, merentangkan kedua tangannya.
Aku menatapnya heran. Apalagi yang diinginkannya?
"Aku merindukanmu setelah satu menit aku meninggalkan ruang kantor Lily." Dave memelukku, tangannya mengusap-usap bahuku.
Aroma coklat dari rambutnya tercium jelas saat kepalanya bergerak-gerak di bahuku, seperti anak kucing.
Aku berusaha melepaskan tubuhku, tapi dia memelukku lebih erat.
"Apa yang kau lakukan?" Aku mencoba mendorong tubuhnya dengan keras.
"Memelukmu." Dave menjawabku singkat, dia tetap di posisinya, tidak berniat bergerak. Oh Tuhan! Jika ini adalah drama romantis, aku tidak berharap para penonton akan menyukainya. Setiap episode-nya selalu dipenuhi adegan tokoh utama pria dan tokoh wanita utamanya berciuman. Penonton akan bosan dengan plot twist seperti ini, bukan?
"Kau bisa memeluk ibumu jika sangat ingin memeluk seseorang!" kali ini aku mendorong tubuhnya dengan keras. Entah aku yang semakin kuat atau Dave yang sengaja mengalah, pelukannya terlepas.
Dia terdiam, kemudian melihat jam tangannya.
Seolah baru saja mendapatkan ilahi, Dave tersenyum cemerlang kepadaku. Itu sungguh sebuah senyuman, tapi mengapa aku merasa itu adalah sesuatu yang menakutkan?
"Malam ini kita makan malam ketempat spesial." Dave menatapku penuh harap. Senyum di wajahnya tidak kendur walau satu senti.
"Makan malam? Kita?" Aku menatap Dave. Dia mengangguk semangat sebagai jawaban.
"Dimana?" Aku bertanya lagi.
Tapi Dave tidak menjawab, sebaliknya, dia bangun dari duduknya, kemudian memasang jas hitamnya yang sebelumnya disampirkan di kursi kerjanya. Gerakannya terlihat bersemangat.
Dia menatapku sesekali sambil merapikan kemejanya.
Aku hanya menatapnya heran, aku mempunyai firasat yang tidak baik tentang ini.
Dave telah rapi, dia melangkah ke arahku dengan senyum menyebalkannya.
"Ayo!" Dave menarik tanganku, menaruh buku novel yang kutaruh di atas meja ketempat semula dengan satu tangannya yang lain.
"Aku belum mengatakan akan makan malam denganmu atau tidak, Dave."
Kami berjalan di koridor. Aku melihat Brenda sekilas saat keluar dari kantor Dave tadi, dia terlihat sedang bersiap untuk pulang.
Dave berjalan berjalan sedikit di depanku, langkahnya tidak cepat, dia mengikuti ritme jalanku.
Pintu lift terbuka begitu kami tiba di depannya. Kami masuk kedalamnya, pintu lift menutup, lift bergerak turun.
Aku hendak melepaskan tanganku yang masih digenggam Dave. Kami berada di dalam lift, aku tidak akan kemana-mana, dia tidak harus terus memegangku bukan?
Dave melihat tanganku yang mencoba lepas dari tangannya, aku khawatir dia akan menatapku dengan marah lagi, tapi dia hanya melihatnya sekilas, kemudian mengeratkan genggamannya.
Aku mulai sedikit kesal, kembali mencoba menarik tanganku yang mulai berkeringat. Dave menatapku, kemudian berdecak, sedikit kesal.
"Kenapa kau berdecak?" Aku bertanya, balas menatapnya kesal.
Dave memalingkan wajahnya,
"Menunjukkan perasaan kecewa."
Aku hampir saja tertawa melihat raut wajahnya yang terlihat seperti anak kucing yang sedang merajuk. Aku tidak tahu dia memiliki raut wajah itu.
Aku menahan senyumku, "Kenapa kau yang kecewa? Aku yang sedang kesal karena kau tidak kunjung menjawab pertanyaanku. Lalu ada apa dengan tanganmu, kau memasang lem? Kenapa itu tidak bisa lepas?"
Oh, aku bisa merasakan perkembangan kemampuan berbicara ku semakin meningkat sekarang, aku merasa hampir mirip seperti Jessy yang cerewet.
TING!
Pintu lift terbuka. Kami turun di lantai satu.
Dave kembali menarik tanganku. Aku menunduk melihat sekitar.
Jam pulang kerja, para pegawai terlihat ramai di lobi, menuju pintu utama. Mereka sedikit membungkuk ketika Dave lewat, memberi hormat. Satu dua memberi salam, menyapa, sisanya tentu saja tertarik melihat wanita mana yang tengah berjalan di samping bos mereka dengan tangan yang saling bertaut.
Dave berjalan lurus di depanku, tidak memperdulikan sekitar. Jika bukan di depan umum, aku sangat ingin menendang Dave karena membuatku menjadi pusat perhatian lagi di depan pegawainya, dan tentu saja, dia tidak peduli.
"Masuk ke dalam mobil Lily." Pintu mobil hitam itu sudah terbuka sejak tadi, Dave hanya sedang menungguku yang sejak tadi melangkah ragu-ragu.
Adegan ini mungkin saja menjadi impian banyak wanita di luar sana.
Seorang pengusaha muda, kaya dan tampan, Dave William membawa seorang wanita bersamanya kedalam mobilnya yang diparkir di depan perusahaannya dan disaksikan oleh seluruh karyawannya, itu berarti, wanita itu sedang diperkenalkan kepada seluruh dunia sebagai miliknya.
Aku tahu di sekitar Dave selalu ada banyak reporter yang mengikutinya, aku tahu hal ini setelah mencari nama Dave di internet, dan tentu saja langsung muncul ratusan artikel tentangnya.
Dave tersenyum kepadaku, membantuku masuk ke dalam mobilnya. Aku mengeluh dalam hati, masih tidak terbiasa melihat wajahku terpampang di halaman berita utama.
Mobil berjalan pelan, meninggalkan halaman perusahaan.
Lima belas menit berlalu, dan Dave masih belum berniat membuka mulutnya untuk mengatakan alamat tujuan kami.
Aku melihat keluar jendela mobil. Langit sudah gelap, matahari telah sepenuhnya menghilang di ujung barat sana, digantikan dengan bulan dan bintang.
Aku menatap langit, tidak ada cahaya bintang, lebih tepatnya tidak terlihat karena cahaya terang dari lampu jalan dan gedung-gedung bertingkat di sepanjang jalan.
Aku mengalihkan pandangan, ke arah Dave yang bersandar di kursi mobil dengan mata terpejam. Entahlah dia tertidur atau tidak.
Aku menatapnya cukup lama, hingga….
"Kita akan segera sampai, Nona Lisa." Pria yang berada di belakang setir, yang kalau tidak kusalah tebak adalah pengawalnya yang bernama Gerry memberitahuku.
"Sampai dimana, Gerry?" Aku menjawabnya sopan. Dia terlihat ramah, usianya juga tentu pasti jauh lebih tua dariku.
"Rumahku." Dave menjawab. Dia telah bangun dari tidurnya saat Gerry mulai berbicara beberapa saat lalu.
"Rumahmu? Untuk apa kau membawaku ke rumahmu? Kau berkata kita hanya akan makan malam." Aku menatap Dave kesal.
Aku harusnya sadar sejak tadi jika arah kami menuju komplek perumahan elit ini, aku tahu rumah Dave berada di daerah ini.
"Kita memang akan makan malam, di rumahku. Mom dan Dad sedang menunggu kita." Dia tersenyum, tidak terlihat bersalah.
Mom dan Dad?
Dave sialan. Sepertinya ini adalah puncak dari semua krisis ku hari ini, bertemu orangtua Dave.
Aku belum pernah bertemu orangtua kekasihku sebelumnya, aku tidak mempunyai pengalaman sedikitpun. Oh Dave, siang ini dia memaksaku menikah, dan malam ini sudah bertemu keluarga?
Mobil melewati dinding batu tinggi berwarna krem. Memasuki halaman rumah yang super luas, kemudian berhenti di depan pintu masuk rumah Dave. Belasan pengawal dengan setelan jas hitam berjaga di setiap sudut.
Aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin cepat, oh mengapa aku sedikit merasa takut? Dan resah?
Aku berdiri didepan rumah besar yang lebih terlihat seperti kastil itu, menghembuskan napas keras. Aku baru merasakannya, diriku yang mulai terasa kecil disini.
Dave tersenyum lembut padaku, memegang tanganku yang sedikit berkeringat.
"Tidak usah khawatir, kau cantik dengan apapun yang kau pakai Lili, percayalah."
Aku tersenyum, untuk pertama kalinya aku merasa Dave terlihat bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.
Pintu rumah dibuka dari dalam, seorang pria dan wanita berusia sekitar lima puluh tahunan tersenyum lebar menyambut kami, di depan pintu.