Dave Pov ;
Mata bulat Lisa terlihat lucu ketika dia kesal.
Aku menatapnya lembut, menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinganya. Aroma cherry masih tercium di bibirku.
Dia diam, tidak lagi memberontak.
Aku melihat ke sekeliling. Para pegawai yang memperhatikan kami menunduk saat aku menatap mereka tajam. Satu persatu kembali bekerja.
Aku menggenggam tangan Lisa, memaksanya mengikutiku. Para pegawai yang akan menggunakan lift menatap kami berdua yang berada di luar pintu. Mereka hendak keluar, tapi Lisa menyuruh mereka untuk naik.
"Tidak perlu, kalian naiklah." Mereka menatapku meminta persetujuan. Aku mengangguk, pintu lift tertutup, menyisakan aku dan Lisa disana.
Lisa tidak bertanya aku akan membawanya kemana, dia hanya diam sepanjang jalan hingga kami sampai di depan kantorku.
"Jangan biarkan siapapun masuk." Aku memberi pesan kepada Brenda yang berada di mejanya, meja sekretaris.
Lisa melihat Brenda sekilas, alisnya berkerut, bingung. Aku tersenyum kecil melihatnya.
Aku meminta Lisa duduk di sofa selagi Brenda membuatkan teh untuknya. Tangannya sudah kulepaskan sejak di depan kantor.
Aku melepas jas hitamku. Kulihat mata Lisa yang tidak berhenti memperhatikan sekitar ruangan.
Rak buku di pojok ruangan menarik perhatiannya. Kakinya berjinjit mengambil sebuah buku di rak ketiga, aku tertawa kecil.
Dia melihat sampul buku berwarna hijau tua dengan gambar itu, kemudian melihatku heran.
"Aku tidak tau tertarik membaca buku "Harry Potter", ini buku anak-anak."
Dia kemudian mengembalikan buku itu lagi, tentu saja dengan berjinjit. Tapi itu tidak semudah saat mengambilnya.
Aku mendekatinya, membantunya menaruh buku itu dengan rapi.
Dia membalikkan badannya, posisi kami kini berhadapan. Aku menunduk saat melihatnya.
Dia menatapku penuh selidik, apa yang sedang dia lakukan?
"Oh, jadi begini rasanya saat seorang pria tampan membantumu melakukan sesuatu saat tinggi badanmu tidak mencapainya? Hmm, not bad." Dia menunduk melewati tanganku, kemudian mengambil posisi duduk di tengah sofa.
"Apa kau baru saja mengakui aku tampan, Lily?" Aku duduk di sampingnya, memutar tubuhnya agar menghadapku.
Dia memutar kembali tubuhnya lurus ke depan, "Lumayan."
Aku kembali memutar tubuhnya agar menghadapku.
Dia menatapku jengkel,
"Jadi, apa pria yang lumayan tampan ini sudah membuatmu tertarik, sampai mencariku ke tempat kerja, Lily?"
Aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya, hidung kami hampir bersentuhan. Dia tidak menghindar, justru tersenyum kecil.
"Jelaskan padaku tentang semua perbuatan licikmu, Dave William!"
Lisa mendorong tubuhku ke belakang hingga aku berada dalam posisi tidur.
Dia naik di atasku, mengunciku dengan kakinya. Kedua tangannya menahan badannya agar tidak terjatuh. Wajahnya tepat berada di atas wajahku, aku bisa mencium aroma cherry dari bibirnya.
Aku tersenyum kecil.
Sebenarnya aku bisa saja membalik posisi kami dengan mudah, tapi tak kulakukan. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukannya lagi dengan tubuh kecilnya itu.
Dia menatapku kesal, menunggu jawaban. "Jawab aku Dave!" nadanya memaksa.
Aku balas menatap mata coklatnya.
"Bukankah sangat jelas? Aku sedang memaksamu menikah denganku dengan caraku, Lili."
Dia mendengus kesal.
"Bagaimana bisa kau menikah dengan cara seperti itu tuan William, kau hanya membuatku semakin membencimu."
Dia menatapku tajam.
Dia bangun dari posisinya, pindah ke sofa d isamping. Aku bangun dari posisiku, membenarkan posisi duduk.
"Jika kau sangat menyukai pekerjaanmu itu, aku bisa dengan mudah membuatmu bekerja sepanjang hidupmu disana."
Lisa terlihat kesal, tapi dia menatapku saat aku berkata seperti itu.
"Tentu saja kau bisa, kau adalah pemiliknya," dia berkata kesal, mengalihkan pandangannya.
"Aku bisa membayar lebih kepada semua platform tidak akan yang menerimamu. Juga kepada semua agen real estate agar tidak memberimu rumah untuk ditempati. Itu juga mudah." Aku bersandar di sofa.
Lisa menatapku tidak percaya, kedua tangannya tergenggam erat.
Itu benar! Aku yang melakukan semuanya.
Membeli perusahaan tempat Lisa bekerja, membeli apartemennya, memabayar semua platform tempatnya mengajukan kontrak kerja agar menolaknya, dan terakhir tidak akan ada agen real estate yang akan memberinya rumah untuk disewakan.
Aku memang sedang memaksa Lisa untuk menikahiku, bagaimanapun caranya.
"Kau bajingan gila Dave." Nada bicaranya ketus. Aku mengingat nada itu, persis seperti pertemuan pertama kami.
Aku tertarik kepadanya karena nada bicaranya yang seperti itu.
"Kau benar Lisa, aku adalah pria gila," aku mengunci tubuhnya seperti yang dia lakukan kepadaku beberapa menit lalu.
Nafasnya menderu, membuat rasa dingin di kulit wajahku. Tanganya tidak bisa memberontak, aku telah mengunci kedua tangannya dengan tanganku.
"Kaulah wanita yang membuatku gila." Aku berbisik di samping telinganya, sengaja meniupnya sedikit.
Aku tau Lisa sangat sensitif dengan sentuhan di telinganya. Aku melihat sedikit ujung bibirnya yang terangkat, geli, tapi dia menahannya.
Aku memberi kecupan lembut di bibirnya. Matanya membulat, tapi dia tidak bisa melawan.
Aku menatap mata coklatnya dalam, jantungku berdetak lebih cepat,
"Menikahlah denganku, Lily." Aku menciumnya lagi, kemudian menatapnya lagi.
Dia menatapku, terlihat bingung.
"Aku akan menikah dengan pria yang kucintai ,Tuan William."
Lisa kembali mencoba memberontak, tapi tentu saja aku tidak akan membiarkannya lepas. Dia harus menerimaku, tidak ada penolakan.
Aku menatapnya dalam, dia masih mencoba memberontak.
"Kau tidak diizinkan mencintai pria lain, selain aku, Lily." Kali ini aku memberi kecupan kecil di lehernya. Dia tertawa kecil, geli.
Aku memberinya dua tiga kecupan lagi di lehernya, itu tidak membekas.
Dia memberontak, lebih tepatnya karena rasa geli.
"Lepaskan, Dave.\!" dia berkata sambil tertawa kecil, aku terus memberikan kecupan kecil di lehernya.
"Aku mohon." Kali ini aku kembali berbisik di telinganya, bagian sensitifnya yang lain. Aku bersumpah, aku tidak pernah memohon kepada siapapun sebelumnya.
Aku terbiasa dimanjakan oleh Mom dan Dad. Mereka akan memberikanku apapun yang kuinginkan selama itu masih hal baik untukku. Aku tidak pernah memohon.
Lisa berhenti memberontak, dia menatapku serius.
TOK!
TOK!
TOK!
"Teh anda, Tuan Dave." Itu suara Brenda yang berada di luar pintu.
Aku melihat kearah pintu sekilas, tapi tidak membalasnya. Aku menatap Lisa kembali, menunggu jawaban.
Matanya melihat ke arah pintu yang kembali diketuk oleh Brenda.
"Pegawaimu akan masuk Dave, lepaskan!" dia menatapku kesal. Matanya awas menatap pintu yang kapan saja bisa terbuka.
Aku tersenyum nakal, "Brenda adalah Sekretarisku, aku tidak keberatan melakukan hal yang lebih jauh kepadamu di depannya." Lisa menatapku tidak percaya, tidak terima.
"Lepaskan, Dave." Lisa berdecak kesal, kesabarannya hampir habis. Matanya terus mengawasi pintu.
"Beri aku jawabanmu!"
Aku mendesaknya, Lisa masih sibuk melihat kearah pintu.
"Tidak." Dia menatapku kesal.
Aku terdiam, menatapnya tajam. Tidak akan kubiarkan dia menolakku.
"Masuklah, Brenda." Aku mengunci tubuh dan tangan Lisa lebih erat. Dia tidak bisa bergerak sedikitpun. Aku mencium lehernya, kali ini bukan kecupan lagi.
Brenda meletakkan gelas teh di atas meja, aku bisa mendengar suara gelas dan meja yang bersentuhan walau tidak melihatnya langsung.
Lisa memberontak kecil. Brenda hendak melangkah keluar tapi aku menahannya,
"Tetap disana Brenda." Brenda menurut, berdiri di samping sofa, menghadap kami.
Aku berbisik di telinga Lisa, "Aku sungguh akan melakukan hal yang lebih jauh jika kau masih memberikan jawaban tidak kepadaku, Lily."
Lisa tidak bisa membantah.
Aku mencium bibirnya lembut, namun dalam. Mencium leher putihnya lagi, menenggelamkan wajahku disana.
"Baiklah, i'll do it." Lisa menyerah, dia berkata pelan saat aku mulai mencium setiap inci wajahnya.
Wajahnya memerah, nafasnya menderu.
Aku berhenti menciumnya, kemudian menatap matanya dalam, memastikan.
Dia menganggukkan kepalanya pasrah. Aku tertawa kecil, kemudian mengubah posisi kami menjadi posisi duduk yang lebih baik. Aku memeluknya, dia sedikit kaget, tapi tidak memberontak.
"Thank you Lily." Aku menatapnya senang.
Lisa melihat ke arah Brenda, memberiku isyarat. Aku melihat ke arah Brenda, dia masih berdiri disana, dia juga ikut tersenyum.
"Kau bisa keluar sekarang Brenda." Brenda mengangguk, berjalan keluar.
Lisa menatapku jengkel, "Kau sangat tahu cara memaksa Dave, kau bajingan nakal."
Bibirnya mengerucut lucu, dia kesal.
Aku tertawa melihatnya. Aku, Dave William, akan mendapatkan semua yang kuinginkan. Tak terkecuali Lisa.
Saat ini perasaan diantara kami berdua memang belum menyatu, tapi aku bisa membuatnya menyatu segera.
Kisah kami masih panjang, kebahagian dan rintangan yang kami hadapi juga masih panjang. Tapi kami akan mengatasinya.