Langit terdengar bergemuruh, awan hitam siap menumpahkan isinya.
Lisa menatap keluar jendela apartemennya, jalanan sepi, tidak ada seorangpun yang dengan senang hati menanti hujan di bawah sana.
Kilat petir terlihat dari kejauhan. Pagi yang mendung, seperti suasana hatinya.
Sejak agen real estate yang dua hari lalu memintanya untuk segera berkemas meninggalkan apartemen, suasana hatinya tidak kunjung membaik.
Lisa melihat tumpukan kotak berisi barang-barangnya yang separuhnya telah dikemas. Hidupnya tidak buruk, juga tidak membuatnya bahagia, dia hanya menjalaninya, batinnya.
Laptop diatas meja menampilkan video grup idol favoritnya. Lisa tersenyum kecil melihatnya.
Sejauh ini selain hari gajian, menjalani hari sebagai fans idol, dan menghabiskan malam dengan menonton drama-drama Korea, menurutnya memberikan rasa senang tersendiri kepadanya.
Mereka semua berasal dari Negara Ginseng yang jauh disana, kebahagiaan kecilnya.
Amerika Serikat yang begitu maju menjadi negara impian bagi banyak orang di luar sana, sama seperti mereka, impian kecil Lisa juga ingin menginjakkan kaki di negeri impiannya.
Lisa mengusap wajahnya, kali ini sepertinya impiannya harus sedikit ditunda dulu. Dia harus mencari rumah dan pekerjaan kembali.
Lisa mengambil tempat duduk di depan laptopnya, duduk bersila diatas lantai, di antara sofa dan meja. Tangannya cekatan mengetik diatas keyboard laptop.
Matanya menatap tajam layar laptop.
Satu menit berlalu.
Tangannya berhenti mengetik, Lisa terdiam. Layar laptop menampilkan laman email, pesan masuk. Tujuh pesan masuk. Pemberitahuan dari platform tempatnya mengajukan kontrak beberapa hari lalu, semuanya menolak.
Lisa meremas jarinya, sedikit kesal. Dia mengingat kembali, dia semalaman menghubungi agen real estate mencari rumah kosong juga tidak ada satupun.
TING !
Satu pesan masuk dari Navile. Lisa membukanya.
"Pemilik perusahaan baru adalah Dave William dari WJ Group. Kudengar dia adalah seorang pengusaha hebat. Sepertinya dia berniat mengepakkan sayap dibidang kita juga. Sekedar informasi untukmu Lisa." Lisa membaca ulang pesan Navile, berharap tidak salah membacanya.
Lisa sudah bekerjasama dengannya setiap buku yang ditulisnya, pesan-pesan yang tidak menyangkut pekerjaan biasanya akan dikirim melalui pesan pribadi, bukan email, seperti sekarang.
Navile adalah orang yang tidak pernah berbohong, tapi kali ini Lisa sedikit meragukannya.
Dave William? Entah hanya perasaan atau memang kebetulan yang disengaja, Dari sekian banyak pengusaha, haruskah dia yang membeli perusahaan, persisnya tempat Lisa bekerja?
Lisa berpikir sebentar. Kemudian mengingat sesuatu, mencari nomor telepon seseorang. Nada panggilan tersambung.
"Hallo." Suara seorang pria menjawab riang di seberang panggilan. Itu adalah suara Max, agen real estate apartment, Lisa sengaja menghubunginya,ingin memastikan sesuatu.
"Aku ingin bertanya, nama pemilik apartemen yang baru, apakah Dave William?" Lisa bertanya penasaran.
"Bagaimana kau tahu Nona Lisa? Apakah dia temanmu?" Max menjawab riang di seberang sana.
Lisa mematikan sambungan panggilan dengan kesal. Dia sudah berpikir bagaimana bisa pekerjaan dan rumahnya menginginkannya meninggalkan mereka di waktu yang bersamaan adalah karena memang sebuah kesialan semata.
Dia tidak berpikir sedikitpun hal ini berhubungan dengan Dave. Tapi, lihatlah! Dia memang satu-satunya sumber masalah bagi Lisa, batinnya.
Lisa membuka pesan yang Dave kirim kepadanya kemarin. Menekan tanda panggilan dengan kesal.
Tiga menit berlalu, tiga panggilannya tidak tersambung. Nomornya tidak lagi aktif.
Lisa menghembuskan napas kesal. Baiklah, dia akan mendatanginya. Lisa bertekad akan mengakhiri hubungan ini selamanya. Eh? Mereka tidak memiliki hubungan apapun sebenarnya. Itu hanya sejenis hubungan-bukan apa-apa.
Lisa melempar ponselnya kesal ke atas kasur, mengutuk pria gila itu di dalam hati.
....
Lisa berdiri canggung di depan gedung perusahaan WJ Group. Pegawai dengan seragam formal berlalu lalang keluar masuk pintu utama.
Dia mendongak, ada banyak lantai di gedung ini, tidak tahu dilantai berapa tepatnya kantor Dave berada.
Bagaimana jika sedang berada di luar kantor?
Lisa melipat kedua tangannya di depan dada, bersedekap. Membenarkan posisi tas kecilnya. Tidak apa jika tidak berada di kantor, dia akan mencarinya ke rumahnya sekalipun!
Dia telah meneguhkan tekad, melangkah masuk dengan mantap.
Lisa terus berjalan lurus di lobi, sambil sesekali memperhatikan sekitar. Satu dua pegawai wanita melihatnya heran, seperti melihat mahluk asing yang berbeda dunia dengan mereka.
Mereka memperhatikannya dari atas sampai bawah, terlihat menilai. Lisa balas menatap mereka tajam. Apa yang salah dengan penampilannya?
Langkahnya terhenti di depan dua petugas keamanan yang bertubuh besar. Mereka memperhatikan Lisa dari ujung kepala sampai ujung kaki, sangat terlihat jelas bukan pegawai perusahaan.
Mata menyelidik mereka membuat Lisa mundur beberapa langkah
"Nona." Seorang pegawai dari balik meja resepsionis memanggil.
Lisa sedikit berlari ke arahnya. "Aku mencari Dave William." Dia menjawab mantap.
"Mohon maaf Nona, Tuan Dave sedang sibuk sekarang. Jika ingin bertemu dengannya harus membuat reservasi terlebih dahulu." Pegawai resepsionis itu menjawab sopan. Lisa mengangguk pelan, pura-pura mengerti.
Saat Lisa masih memikirkan agar bisa ke kantor Dave, matanya menangkap sosok Dave keluar dari lift menuju ke arahnya. Pegawai resepsionis itu benar, dia nampak sibuk.
Dia terlihat fokus mendengarkan sesuatu yang sedang dijelaskan oleh pria di sampingnya. Seorang wanita cantik berjalan di sampingnya, empat pegawai lain mengikuti di belakang.
Lisa hendak menyapanya, tapi dia tidak mengalihkan perhatian sedikitpun dari dokumen di tangannya, sambil terus berjalan melewatinya.
Lisa berlari kecil, berhenti di depannya. Sepatu mereka bersentuhan saat Dave berhenti melangkah.
Lisa mengangkat kepalanya sombong, tangannya dalam posisi bersedekap. Wanita disamping Dave menatapnya heran.
Dave mengangkat kepalanya, menatap Lisa sekilas, kemudian lanjut membaca dokumen di tangannya. Eh? Lisa menatapnya kesal. Apa Dave sedang mengabaikannya?
"Dave, apa kau tidak merasa perlu menjelaskan sesuatu padaku?" Lisa sedikit terbata.
"Nona ada urusan apa? Anda bisa berbicara dengan saya?" Wanita disampingnya yang menjawab sopan.
Lisa menatapnya sekilas.
Dave tidak berjalan lagi karena Lisa masih berdiri bersedekap di depannya, pegawai di belakangnya mengikuti. Dia kembali sibuk mendengarkan penjelasan pegawai pria di sampingnya, mengabaikan Lisa.
Lisa semakin kesal.
"Tuan William yang hebat, jelaskan padaku mengapa kau membeli perusahaan tempatku bekerja dan membuatku berhenti bekerja disana? Kemudian apartementku juga untuk apa kau membelinya dan memaksaku keluar dan tidak punya tempat tinggal, hah?"
Lisa menatap Dave tajam, walaupun tentu saja, Dave masih tidak menghiraukannya.
Nafas Lisa menderu, kesal. Untuk pertama kalinya dia berbicara sebanyak ini sejak dua tahun terakhir, dan sekarang dia menyesal karena terlihat seperti wanita cerewet dan pemarah.
Gerakan tangan Dave berhenti sebentar, dia menatap Lisa. Tersenyum kecil beberapa saat, kemudian bertingkah mengabaikan Lisa lagi.
Lisa meremas jarinya.
"Kemarin kau masih mencium dan memelukku dengan paksa bertingkah seolah itu sangat manis! Membuatku ditemani reporter-reporter sialan itu selama satu minggu. Dan seka-" cup!
Mata Lisa membulat, kaget sepenuhnya.
Dave membungkamnya dengan ciumannya seperti halnya yang selalu Dave lakukan.
Lisa menatapnya marah.
"Kau-" cup! Dave menciumnya lagi, tidak membiarkannya meneruskan perkataannya.
Dave memberikan berkas di tangannya kepada pegawai pria di sampingnya. Satu tangannya menarik pinggang Lisa menempel dengan tubuhnya. Satu tangannya lagi memegang dagu Lisa, membuatnya sedikit mendongan menatapnya.
Lisa tidak bergerak, juga tidak protes.
Dave tersenyum, mendapatkan persetujuan Lisa. Satu hal yang Dave sepakati untuk dirinya sendiri, jika Lisa diam, itu adalah tanda setuju.
Para pegawai yang berlalu lalang mulai berkerumun saat melihat atasan mereka mencium seorang gadis di depan umum. Itu bukanlah pemandangan biasa.
Seorang Dave dikenal sebagai pemimpin yang selalu menatap tajam, tidak menerima kesalahan dan selalu mengingatkan tentang disiplin bekerja bagi pegawainya. Tidak pernah tersenyum dan sangat dingin. Hanya ada hawa suram di sekitarnya, tanpa tanda kedamaian atau kebahagiaan.
Lisa meremas ujung jas hitam Dave dengan tangan kanannya. Dia hendak melepaskan ciuman itu, tapi Dave kini menahan bagian belakang kepalanya dan mengunci pinggangnya dengan erat.
Dia tidak bisa bergerak.
Lisa bisa merasakan ada banyak pasang mata yang sedang menatap mereka. Suara-suara kamera handphone terdengar, mengambil gambar.
Lisa mengeluh dalam hati. Apakah Dave akan membuatnya terus diikuti oleh para reporter yang haus berita itu lagi?
Dave melepaskan ciumannya dari Lisa. Kedua tangannya memeluk pinggang Lisa erat. Walaupun Lisa berusaha melepasnya, dia jelas kalah kuat dibandingkan dengan Dave.
Dave tersenyum nakal, "Jika kamu tidak ingin aku berbuat lebih kepadamu maka menurutlah, Lili." Dave berbisik di telinga Lisa, sengaja meniup telinganya.
Lisa tertawa kecil, geli.
Lisa diam, tidak memberontak.Dia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi bahan tontonan lebih lama lagi.
Lisa menyadarinya, jantungnya yang berdebar. Entah karena dia sedang merasa terancam atau karena perasaan sukanya yang dia sembunyikan jauh di dalam hati kecilnya.