Kembali ke kamar rawat VIP 1, Arya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar itu menemui kekasihnya yang sedang berbalik menghadap jendela kamar rumah sakit.
"Ryan ... kamu di mana?" suara Diana begitu lirih.
Arya segera menghampiri Diana dengan tatapan iba dan cinta yang telah terluka.
"Di, kamu sudah sarapan belum?" tanya Arya penuh perhatian.
Kemudian Diana membalikkan badannya ke arah Arya, dia mengira bahwa laki-laki yang ada di dekatnya sekarang adalah Ryan. Pikiran dan hati Diana sudah dipenuhi oleh bayangan wajah Ryan.
"Lho, Arya? Sejak kapan kamu datang? Kenapa mendadak muncul di sini?" Diana terkejut dengan kedatangan Arya di kamarnya.
"Astaga, Di. Saya dari semalam sudah ada di sini, menemani kamu sampai pagi. Kamu tidak ingat?"
"Jadi yang tidur di sofa itu kamu? Saya kira--"
"Kamu kira siapa? Ryan?!"
"Ryan?? Apa maksud kamu? Kenapa kamu sebut nama itu?" tanya Diana.
"Soalnya, waktu subuh tadi kamu terus-terusan memanggil nama itu," ungkap Arya.
"Masa, sih? Mungkin saya mengigau, Arya."
"Ya sudah, tidak masalah. Sekarang kamu sarapan dulu ya, saya suapin," balas Arya lembut.
"Saya belum lapar, kamu saja yang sarapan," sahut Diana tanpa ekspresi.
"Kamu harus sarapan Sayang, biar cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah," bujuk Arya.
"Oke, oke. Mana makanannya?"
"Nah, begitu dong. Arya terkekeh. "Menurut pada perkataan calon suami."
Hah? Calon suami? Kamu jangan mimpi Arya! Diana membatin.
"Sebentar, saya ambilkan dulu makanannya," ujar Arya sambil mencubit pipi Diana.
"Apaan sih, pake cubit-cubit pipi saya segala?"
Arya tidak menanggapi ucapan Diana yang mengomel karena sudah berani mencubit pipinya tadi. Dia bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah meja kecil yang terletak di samping lemari es.
Di meja itu sudah tersedia makanan yang lengkap dan sehat untuk pasien rumah sakit, kemudian Arya mengambilkannnya untuk Diana yang masih memasang tampang judes pada Arya.
"Ayo dimakan, Di," pungkas Arya sambil menaruh sarapan itu di meja makan khusus untuk pasien lalu mendorongnya ke tempat Diana berbaring.
"Ah, saya tuh tidak pernah suka dengan makanan rumah sakit," gerutu Diana.
"Kalau kamu tidak suka, jangan sakit, dong," timpal Arya.
"Makanya jangan membahas soal pernikahan lagi, saya sudah bilang kalau saya belum siap menikah," tukas Diana.
"Sudah, saya sedang tidak mau bertengkar dengan kamu. Yang penting sekarang makan dulu lalu minum obat, supaya dada kamu tidak sakit atau sesak lagi." Arya menasihati Diana.
"Ya, tolong saya mau bangun. Badan saya lemas, Ya."
Arya menarik kursi ke samping tempat tidur pasien lalu membantu Diana bangun agar dia bisa makan dan minum sendiri.
"Mau disuapi, tidak?" tanya Arya.
"Tidak usah, saya bisa makan sendiri," jawab Diana.
"Nanti sehabis sarapan, saya telepon tante Martha untuk menemani kamu di sini," sahut Arya.
"Iya."
Dengan sangat terpaksa Diana memakan masakan rumah sakit yang terasa hambar di lidahnya.
Sementara Arya terus-menerus memandangi perempuan yang sebentar lagi akan dinikahinya, dia begitu mantap ingin menjadikan Diana sebagai istrinya.
Sekitar setengah jam kemudian, Diana sudah selesai sarapan lalu meminum obat yang diberikan oleh dokter. Arya bersiap-siap hendak pulang ke rumahnya karena dia harus pergi ke kantor dan bertemu Ryan di sana.
"Di, saya pulang ya."
"Kamu tetep mau pergi ke kantor?" tanya Diana memastikan.
"Iya Di, hari ini banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Ada meeting juga dengan klien," jelas Arya.
"Sudah telepon mama saya, belum? Sekalian minta tolong dibawakan kue brownies favorit saya," pinta Diana.
"Siap, calon istriku." Arya tersenyum manis pada Diana, saat itu juga dia ingin mencium pipinya yang chubby.
"Tidak ada panggilan lain kah? Selain calon istri? Bosan tahu mendengar panggilan itu," gerutu Diana.
Cupp ... bibir Arya pun langsung mendarat di kening Diana membuat wajah wanita itu terasa panas.
Setelah mengecup kening Diana, Arya pun keluar dari kamar rawat Diana lalu menelepon Martha, mama Diana.
Tuuttt ... tuutt ... tuuttt ... klik.
"Ya, Arya ada apa pagi-pagi begini kamu menelepon Tante?"
"Halo, Tante. Maaf mengganggu sebelumnya, Tante bisa tolong temani Diana di rumah sakit?"
"Tentu bisa, Arya. Ini Tante sedang menuju ke rumah sakit bersama om Andre."
"Maaf ya, karena saya harus ke kantor hari ini, jadi saya tidak bisa menemani Diana sampai sore."
"Tidak apa-apa, Tante yang harusnya minta maaf karena sudah merepotkan kamu semalam."
"Saya tidak merasa direpotkan, Tante. Oya, salam buat untuk om Andre dan titip kue brownies kesukaan Diana juga, bisa Tante?"
"Pasti Diana yang minta, kan? Anak itu memang manja dan banyak maunya."
"He, he, he." Arya terkekeh.
"Arya, teleponnya sudah dulu ya."
"Baik, Tante. Terimakasih karena sudah mau menggantikan saya menemani Diana."
"Sama-sama."
Klik. Martha menutup teleponnya dengan Arya.
******
Sesudah menelepon Martha, Arya kembali masuk ke dalam kamar rawat VIP 1 lalu memberitahukan Diana kalau kedua orangtuanya sedang menuju RS. Dana Mulia.
"Di, mama papa kamu sedang on the way ke sini. Tunggu saja, sebentar lagi mereka juga datang."
"Thanks, Sayang. Kamu itu memang tunangan yang paling baik." Diana mengembangkan senyumnya.
"Sama-sama, Sayang."
"By the way, bagaimana bisnis kamu dengan Ryan Prawira? Lancar, kan?" selidik Diana.
"Lancar, kok. Bahkan kita akan membuka cabang baru di Bandung," balas Arya.
"Bagus deh, rekan kamu itu hebat banget. Saya kagum padanya, Ryan ganteng, keren, rajin lagi." Diana memuji Ryan di depan Arya.
"Lebih ganteng saya daripada Ryan, apalagi saya tunangan kamu," sindir Arya.
"Kamu cemburu?"
"Tidak, biasa saja. Lagipula untuk apa cemburu pada cowok playboy seperti dia," sanggah Arya.
"Nanti kalau kamu bertemu dia lagi titip salam, ya." Diana tidak mampu menahan kerinduannya kepada Ryan.
Kecurigaan Arya semakin kuat kalau laki-laki yang selalu di sebut-sebut Diana waktu subuh tadi adalah Ryan Prawira, rekan bisnisnya. Hari ini juga Arya akan mendesak Ryan agar mengakui hubungannya dengan Diana.
Sementara Diana begitu labil dan mudah terayu, suatu saat nanti dia pasti menyesal karena telah salah memilih calon suami.
******